Ungkap Tindak Pidana Asusila Butuh Penegak Hukum Berperspektif Korban

oleh -
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo saat memukul gong dimulainya seminar bertema, “Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia dan Korban”, kerja sama LPSK dan Unika Atma Jaya, Selasa (19/11-2019). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Tindak pidana asusila memiliki kesulitan tersendiri dalam pengungkapannya. Ini disebabkan tindak pidana asusila biasa terjadi di ruang tertutup dan tidak ada saksi. Butuh keseriusan dan kegigihan penegak hukum yang berperspektif korban untuk mengungkapnya.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo saat menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertema, “Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia dan Korban”, kerja sama LPSK dan Unika Atma Jaya, Selasa (19/11-2019).

Selain Antonius PS Wibowo, seminar yang digelar di ruang Yustinus Kampus A Unika Atma Jaya itu juga menghadirkan Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar, Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati dan Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska.

Menurut Antonius, pemicu kesusilaan antara lain kemiskinan, situs porno, relasi kekuasaan, pedofil, keretakan rumah tangga dan penyimpangan seksual. Karena itu, katanya, dibutuhkan UU khusus tindak pidana kesusilaan.

“Ini penting karena terbatasnya ruang lingkup tindak pidana kesusilaan dalam hukum positif, serta untuk kepentingan mempermudah pembuktian,” ujarnya.

Tak hanya mahasiswa FH Unika Atma Jaya, seminar juga dihadiri sejumlah perwakilan mahasiswa fakultas hukum Universitas Trisakti, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Yarsi. Hadir pada saat pembukaan, Rektor Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menjelaskan, penundaan pengesahaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih dikarenakan rujukannya yaitu RKUHP juga tertunda. Penundaan tidak lepas dari permintaan sejumlah elemen masyarakat. “Inilah saat yang tepat untuk mensosialisasikannya dan DPR terbuka menerima masukan dari masyarakat,” ujarnya.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengungkapkan, dari banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, hanya sekitar 10 persen saja yang maju ke proses hukum. “Dari 10 persen itu, berapa banyak yang korbannya mendapatkan pemulihan. Hasil penelusuran Komnas Perempuan, tak banyak korban yang bisa dipulihkan meski kasusnya diproses dan pelakunya dihukum,” ujarnya.

Dekan FH Atma Jaya Asmin Fransiska menambahakan, hukum Indonesia masih fokus pada pelaku, bukan korban.

“Terdapat kesilauan atas pasal asusila. Itu terlihat dari upaya mempersempit ruang kekerasan terhadap korban dan perempuan; fokus pada penilaian norma di masyarakat dan diskriminatif terhadap perempuan; pertimbangan kesusilaan melanggar norma di masyarakat; pengabaian nilai kekerasan yang dialami perempuan; serta permisifnya masyarakat atas kasus kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” pungkasnya. (Ryman)