Usulan Terobosan Dalam Percepatan Energi Terbarukan 23 Persen

oleh -
Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D. adalah Guru Besar Energi Terbarukan dan Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

Atmonobudi Soebagio*)

PENCAPAIAN target penggunaan energi terbarukan sebesar 23% dari total energi pada tahun 2025 sulit diraih.  Kesulitan tersebut diakui oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, yang menangani bidang energi.  Penulis sependapat apabila target tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah saja;  tanpa melibatkan partisipasi masyarakat pelanggan listrik.

Kesulitan tersebut muncul karena dinamika meningkatnya pemintaan daya listrik sebesar 4,19% (Statistik Ketenagalistrikan 2017, ESDM),  harus dipenuhi oleh PT PLN yang kenaikan kapasitas daya terpasangnya hanya 1,9%.  Lagi pula, peningkatan kapasitas daya terpasang dengan membangun PLTU baru,  disamping  memakan waktu tidak kurang dari 5 tahun,  juga akan semakin menambah polusi gas karbon dioksida (CO2)  yang selama ini ditimbulkan oleh PLTU-PLTU Batubara, yang memasok 40,5% dari total daya listrik yang tersedia.

 

Emisi Karbon Dioksida

Pembangkit-pembangkit listrik dengan menggunakan batubara adalah penyebab emisi CO2 terbesar diantara jenis pembangkit-pembangkit fosil lainnya. Produksi listrik PLTU Batubara sebesar 1 MW selama 1 jam akan menyebabkan emisi gas CO2 sebesar 950 kg.  Jika emisi tersebut dihitungkan pada seluruh PLTU batubara yang sebesar 40,5% tadi (sebesar 105.651,39 GWh), maka akan mengemisikan gas CO2 sebesar  100,37 Megaton setiap tahunnya.  Angka besar tersebut belum termasuk emisi karbon yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor, pesawat terbang, dan kapal laut.  Sementara itu, Presiden SB Yudhoyono dalam pidatonya di Konferensi UN FCCC Kopenhagen, tahun 2009, yang menyatakan kesiapan dan tekad Indonesia untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 26% dari proyeksi business as usual, tentunya  menjadi beban target tambahan yang harus dipikul Presiden Joko Widodo dalam program kerjanya.

 

Energi bagi Pembangunan Berkelanjutan

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, (Kompas 1 Des. 2018) mengulas secara jelas tentang Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang kemudian dilanjutkan dengan membahas pembiayaannya (Kompas 20 Des 2018).  Pembangunan Berkelanjutan (PB) dengan 17 targetnya, wajib dimasukkan ke program kerja setiap negara, termasuk Indonesia.

Energi, dalam bentuk energi primer (bahan bakar) serta energi listrik,  merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung PB. Energi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, industri, dan perdagangan. Penggunaan energi yang efisien serta pasokannya yang andal, terjangkau harganya, dan tidak berpolusi merupakan komponen penting; bahkan sangat diperlukan dalam PB (WCED, 1987).  Smil (1994) berpendapat dengan meyakinkan, bahwa ada korelasi langsung antara perubahan dalam penggunaan energi,  baik sebagai sumber maupun pengonversi. Dan kemajuan dalam kesejahteraan manusia adalah salah satu ciri dominan dalam sejarah peradaban manusia.

 

Partisipasi Pelanggan selaku Prosumer

Upaya mencapaian target penggunaan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 hanya dapat  dicapai dengan cara mengajak pelanggan listrik jenis rumah tangga, perkantoran dan  komersial, serta industri,  sebagai partner PLN dalam menghasilkan tambahan daya listrik melalui pemanfaatan energi-energi terbarukan milik pelanggan tersebut. Partisipasi tersebut melahirkan istilah Prosumer, singkatan dari produser sekaligus konsumer. Mereka adalah pelanggan listrik PLN yang memiliki sumber pembangkit sendiri, misalya pembangkit listrik tenaga sel surya. Partisipasi mereka dalam mendukung penyediaan daa listrik perlu difasilitasi PLN melalui penggantian kWh-meter lama mereka dengan kWh-meter dua arah (atau impor-ekspor).  Meter ini mampu menunjukkan besar dan arah aliran energi listrik dari jaringan masuk ke rumah, atau sebaliknya.

Untuk mengakselerasi partisipasi masyarakat pelanggan listrik jenis prosumer  secara signifikan,  sistem jaringan distribusi listrik cerdas (smart grid) perlu diterapkan, agar jaringan tradisional yang sudah ada  menjadi  semakin andal, ulet,  dan efisien.  Sistem jaringan cerdas tersebut mampu melakukan pemantauan saluran dan kontrol secara real-time di semua parameter operasi jaringan yang penting;  dan karakteristik-karakteristik dasarnya adalah informasi jaringan, otomatisasi dan komunikasi.

Teknologi Internet of Things (IoT) adalah metode pemrosesan dan akuisisi informasi baru, termasuk teknologi identifikasi frekuensi radio, teknologi sensor, teknologi cerdas, teknologi nano, dan teknologi lainnya. IoT telah dianggap sebagai gelombang ketiga industri informasi setelah komputer, internet dan jaringan komunikasi seluler.  Sekarang IoT semakin banyak digunakan dalam teknologi transportasi cerdas, pemantauan industri, pemantauan lingkungan, pertahanan dan militer, dan bidang lainnya.  Sistem jaringan distribusi cerdas dapat digabungkan dengan teknologi IoT menjadi satu kesatuan. Kota-kota cerdas (smart cities) adalah sebutan untuk kota-kota yang seluruh pelayanan publiknya telah menggunakan fasilitas tersebut.  Boyd Cohen, pegiat kota cerdas internasional, mengembangkan kriteria penilaian dan pembobotannya yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: lingkungan cerdas, mobilitas, pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup.  Dimensi masyarakat dengan indikator: keterhubungan internet, penetrasi telepon seluler, partisipasi warga, tingkat pendidikan, imigrasi, dan pekerjaan industri kreatif memperoleh pembobotan skor paling tinggi.

 

Rekomendasi Terobosan Pemikiran

Partisipasi pelanggan jenis prosumer, yang didukung lewat konversi jaringan distribusi tradisional menjadi jaringan cerdas yang dilengkapi dengan teknologi IoT, akan meningkat jumlahnya dengan cepat secara non-linier, sehingga pertimbangan membangun pembangkit baru berbasis fosil yang polutif dapat dihindarkan.  Prosumer katagori rumah tangga, komersial, dan industri melalui pembangkit-pembangkit sel surya mereka, akan mendukung program pemerintah dalam pencapaian 23% dari proyeksi energi di tahun 2025 secara  lebih realistis.  Prioritas jaringan distribusi listrik yang akan dikembangkan menjadi jaringan cerdas, diutamakan pada jaringan yang melayani kota-kota Metropolitan di Indonesia, yaitu: Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Tangerang Selatan.  Mengapa?  Karena secara sosiologis, sebutan cerdas  adalah bagi warga kota tersebut dan juga rasa kebersamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan dilakukannya terobosan tersebut, pencapaian target penggunaan energi tergarukan sebesar 23% bahkan dapat tercapai sebelum tahun 2025, dan target penurunan emisi CO2 sebesar 26% dari business as usual dapat dicapai secara simultan.   Semoga.

*)  Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D.  adalah Guru Besar Energi Terbarukan dan Energi Listrik pada   Universitas Kristen Indonesia.