UU Minerba: Masyarakat Dikriminalisasi, Konflik Pertambangan Semakin Terbuka

oleh -
Lokasi penambangan Semen di Luwuk-Lolok yang ditolak masyarakat. (Foto; Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pengurus Pusat (PP) PMKRI  menyoroti persoalan pengesahan UU Minerba yang akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan publik. PMKRI mengatakan, pengesahan UU Minerba ini merupakan bentuk pembungkaman suara kritis mahasiswa di tengah pandemi Covid-19.

Ketua Presidium PP PMKRI, Benidiktus Papa, mengatakan sangat menyayangkan kinerja DPR RI yang mengesahkan UU Minerba di tengah wabah Covid yang menuai kontrofersi dari mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.

Dia menilai bahwa pengesahan UU Minerba itu syarat kepentingan dan bernuansa politis.

“Kurang lebih 2 bulan RUU Minerba dipaksakan DPR dan Pemerintah untuk disahkan (12/5/2020) terhitung sejak tanggal 17 Februari – Mei 2020. Tidak hanya itu, dalam kurun waktu 2 bulan itu, 2 minggu sebelum pengesahan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Minerba baru diberikan kepada DPR,” ujar Beni melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (16/6) .

Beni menilai, 2 minggu itu bukan waktu yang lama. “Mana mungkin DPR mengesahkan UU dengan waktu yang begitu singkat,” ujar Beni.

Berdasarkan pasal 71 A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan bahwa (carry over) Pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan Pembahasan DIM.

Selain itu, DPR dinilai tidak mematuhi peraturan UU yang bersifat terbuka dan transparan. Pasalnya, seluruh pembahasan RUU Minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR dan pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat Panitia Kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum.

Hal ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Tata tertib DPR yang menyatakan semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, bisa tertutup hanya apabila terkait dengan rahasia negara atau kesusilaan.

UU Minerba juga dinilai melanggar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan azas keterbukaan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

“Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkait,” ujar Beni.

 

Negara di Bawah Daulat Pengusaha Tambang

Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian Energi dan SDA, Alvin Aha, menyoroti beberapa poin bermasalah pada UU Minerba, seperti Izin Eksplorasi yang diperpanjang berkali-kali tanpa batasan, seperti tertuang dalam pasal 42 A.

Dia mengatakan, kemudahan dan kepastian perpanjangan Izin Operasi Produksi seperti tertuang dalam pasal 46 terus berlanjut karena menggunakan diksi “dijamin”. Jadi, pemegang IUP yang telah menyelesaikan kegiatan eksplorasi dapat kembali melakukan kegiatan operasi produksi.

PMKRI menilai korporasi diberi kewenangan seluas-luasnya untuk eksploitasi tambang dan batubara, dengan kemungkinan mendapatkan hasil tambang lain di luar peruntukannya. Ketika dalam IUP ditemukan cadangan lain, maka harus dilaporkan kepada negara. Negara harus minta persetujuan. “Artinya, pemegang izin lebih berdaulat atas negara. Kalau tidak ada pihak lain tidak menemukan cadangan, pemegang usaha wajib mengelola,” ujarnya.

Dia mengatakan, sejatinya, liberalisasi pengelolaan sumber daya alam khususnya tambang yang terdapat dalam UU Pertambangan No. 11 Tahun 1967 tentang politik pintu terbuka terhadap investasi asing sudah dihapuskan. Namun, semangat itu di UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dimunculkan kembali.

Selanjutnya, ketika seluruh perizinan ditarik ke pusat, sebetulnya undang-undang harus memberikan ruang pada provinsi dalam pengawasan, tapi normanya menegasikan lagi. “Kalau ada pengembangan modal asing maka dikembalikan pusat. Jadi seolah-olah memberikan kewenangan, tetapi diambil lagi,” ujar Alvin.

Terkait sanksi, UU tersebut juga mengatur sanksi administrasi dinaikan, tetapi sanksi pidana dilemahkan. Semua sanksi pidana lemah, meski sanksi denda ditingkatkan. Sanksi pidana diturunkan dari 10 tahun menjadi 5 tahun.

UU ini juga mempertahankan pasal kriminalisasi terhadap masyarakat yang menghalang-halangi usaha tambang. Pasal 162 dan 164 di UU Minerba dianggap membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang.

Pasal 162 menyebut bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Terkait Kontrak Karya, mereka yang memegang Izin Pertambangan  mendapatkan perpanjangan otomatis 2 kali 10 Tahun dalam bentuk IUPK tanpa diawali dengan penetapan wilayah pencadangan negara (WPN). Hal itu diatur dalam pasal Pasal 169 A Pasal 1, Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169, yang diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi sebagai Kelanjutan operasi Kontrak/perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan sesuai huruf (a) den (b) tentang masing-masing mendapat jaminan perpanjangan otomatis 2 x 10 tahun baik yang belum mendapat perpanjangan maupun yang sudah mendapat perpanjangan dan tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya sesuai pasal 169 A ayat 2 huruf (b).

Selanjutnya, kata Alvin, terkait lubang tambang, boleh digunakan untuk irigasi dan objek wisata. Hal itu, katanya, berpotensi memperbanyak lubang-lubang tambang serta membuka potensi bertambah banyaknya anak-anak (ataupun dewasa) yang meninggal di lubang tambang, risiko kesehatan dari air lubang tambang, dan celah untuk korupsi. Pasal ini meminimalisir kewajiban perusahaan untuk melakukan rehabilitasi. Perubahan Bagian Penjelasan Ayat 2 Pasal 99

UU Minerba menurut Alvin, memberikan perlindungan resmi terhadap korupsi pejabat negara dalam pemberi ijin usaha. Terdapat penghilangan pasal pidana terhadap pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah dan koruptif.

Pasal 165 yang sebelumnya menyebutkan, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), hilang dalam RUU Minerba tersebut.

Jadi, Alvin menilai, tidak ada kesinambungan antara UU Lingkungan Hidup dan UU Minerba, Undang-undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini yang merupakan perbaikan dari kedua Undang-undang sebelumnya (UU No. 4/1982 dan UU No. 23/1997) memuat prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup, di antaranya: prinsip pembangunan berkelanjutan, prinsip pencegahan prinsip keadilan inter dan antar generasi, prinsip pencemar membayar, dan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability).

Peraturan-peraturan yang mengatur soal lingkungan, katanya, hidup harus mengacu pada UU ini. Tetapi UU Minerba sama sekali mengesampingkan UU Lingkungan hidup.

“Tak ada satu pun prinsip yang diterapkan dalam UU Minerba. Prinsip yang digunakan UU Minerba adalah keruk dan keruk terus, sampai tak ada lagi yang bisa dikeruk. Rakyat sakit, mati, lingkungan rusak, itu bukan urusan mereka. Pada UU lingkungan hidup sudah sangat jelas mengatur soal sanksi, baik sanksi baik sanksi administrasi, sanksi pidana, maupun perdata,” ujar Alvin.

Hal ini, kata Alvin, bisa menambah sebaran titik lubang bekas tambang. Berdasarkan data yang dirililis JATAM per tahun 2018, ada 3.092 titik pertambangan yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Diantaranya, Kalimantan Timur ada 1.735 titik, Kalimantan Selatan 814 titik, Sumatera Selatan 163 titik, Jambi 59 titik, Bengkulu 54 titik, Kalimantan Utara 44 titik, Bengkulu 54 titik, Kalimantan Utara 44 titik, Sumetera Barat 22 titik, Riau 19 titik, Lampung 9 titik, Aceh 6 titik, Sulawesi Selatan 2 titik, Banten 2 titik.

Sementara untuk konflik, sejak tahun 2014 hingga tahun 2019, ada 57 konflik yang muncul karena operasi pertambangan. Di antaranya, Sumatera Utara sebanyak 4 kasus, Bangka Belitung 2 konflik, Kalimantan Selatan 3 Konflik, Kalimantan Timur 12 kasus, Sulawesi Tengah 6 kasus, Sumatera Barat 2 kasus, Bengkulu 1 kasus, Sumatera Selatan 1 kasus, Jawa Timur 3 kasus, Yogyakarta 3 kasus, Jawa Tengah 2 kasus, NTB 2 kasus, NTT 4 kasus, Sulawesi Selatan 2 kasus, Sulawesi Tenggara 2 kasus, Papua 4 kasus, dan Maluku 4 kasus.

“Bukan tidak mungkin konflik pertambangan akan semakin bertambah di tahun-tahun mendatang,” pungkasnya. (Ryman)