Ambiguitas Yusril Ihza Mahendra Dalam Uji Perppu No 2 Tahun 2017

oleh -
Koordinator TPDI, Petrus Salestinus

Oleh: Petrus Salestinus

Sikap Yusril Ihza Mahendra dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam menghadapi Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas dapat dikategorikan sebagai “sikap ambigu dan inkonsisten”. Pasalnya pada satu sisi Yusril bukan hanya mengajukan permohonan Uji Formil akan tetapi juga pada saat yang sama Yusril mengajukan Uji Materiil terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, yang sudah membuahkan pencabutan status Badan Hukum dan sekaligus pembubaran HTI.

Namun, yang mengherankan adalah ketika Permohonan Uji Formil dan Uji Materiil Perppu No. 2 Tahun 2017,  Yusril bukan saja tidak mewakili HTI sebagai Badan Hukum privat,  akan tetapi HTI sendiri sama sekali tidak mengajukan Permohonan Uji Formil danatau Uji Materil atas Perppu No. 2 Tahun 2017 terhadap UUD 1945.

Yusril, ternyata hanya mewakili Ismail Yusanto dalam kapasitas sebagai jubir HTI mengajukan Permohonan Uji Formil dan Materiil untuk menguji konstitusionalitas Perppu No.,2 Tahun 2017.

Akibatnya, Legal standing Yusril dalam Permohonan Uji Konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017-pun menjadi tidak jelas bahkan sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan hukum pihak HTI, karena HTI sebagai pihak yang paling dirugikan dengan berlakunya Perppu No. 2 Tahun 2017, justru tidak tampil atau menunjuk Kuasa Hukum kepada Yusril untuk tampil membela kepentingannya.

Dengan demikian muncul pertanyaan, siapa sesungguhnya pihak yang dibela Yusril dalam perkara Uji Konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017.

Jika Yusril hanya ingin membela Ismail Yusanto dan HTI, lalu bagaimana dengan posisi kepentingan bangsa dan negara terkait upaya Uji Materiil dan Uji Formil yang hendak diuji oleh Yusril.

Perjuangan Uji Formil dan Uji Materiil terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 yang dilakukan oleh Yusril, nampaknya tidak membawa manfaat bagi kepentingan umum dan tidak untuk kepentingan umum, bahkan kepentingan umum dalam upaya Uji Formil dan Uji Materil yang dilakukan Yusril saat ini justru dikorbankan, karena target Permohonan Uji konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017 yang diharapkan oleh Yusril adalah menghidupkan kembali HTI dan Ormas Radikal lainnya, sehingga jika MK mengabulkan, maka upaya pemerintah untuk secara cepat dan pasti menyelamatkan bangsa ini dari ancaman perpecahan sulit diwujudkan.

Pertanyaan lain yang muncul dari sikap ambigu dan inkonsistensi dari Yusril adalah, ketika Yusril mengajukan permohonan Uji secara Formil dan Materiil secara berbarengan terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 dalam satu Permohonan Uji konstitusionalitas, maka Yusril sesungguhnya pada waktu yang bersamaan mengakui “Proses Pembentukan Perppu No. 2 Tahun 2017” secara Formil sah, karena melakukan Uji Materil atas beberapa pasal dalam Perppu No. 2 Tahun 2017, akan tetapi sekaligus Yusril mengingkari pengakuan atas sikap Uji Materiilnya karena melakukan Uji Formil terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017.

Sikap Yusril mengingkari keyakinannya dengan mengajukan Permohonan Uji Formil terhadap konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017, karena pada saat yang sama Yusril mengakui keberadaan Perppu No. 2 Tahun 2017 sebagai sah dengan mengajukan Permohon Uji Materil atas beberapa pasal di dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Ini akan membingungkan MK, terlebih-lebih untuk mengabulkan Permohonan Uji Konstitusionalitas atas Perppu No. 2 Tahun 2017 versi Yusril Ihza Mahendra yang bersifat ambigu dimaksud.

Sebagai seorang tokoh dengan segala kapasitas yang ada atau yang pernah ada, maka pilihan strategi Yusril patut dipertanyakan, siapakah yang hendak dibela oleh Yusril dari upayanya menguji konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017 dimaksud. Apakah untuk membela kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto. Pertanyaan ini mengemuka karena ternyata legal standing Yusril dalam Permohonan Uji konstitusionalitas Perppu No. 2 Tahun 2017, adalah mewakili kepentingan seorang Ismail Yusanto, sementara HTI sebagai Badan Hukum tidak mengajukan Permohonan Uji Formil dan Materiil.

Selain itu terdapat dalil Yusril yang tidak mengandung kebenaran yaitu bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 telah meniadakan fungsi Badan Peradilan dalam “due process of law” untuk membubarkan Ormas Radikal.

Padahal realitasnya tidaklah demikian. Toh pihak ormas dapat saja menggugat Pemerintah baik melalui PTUN maupun melalui Gugatan PMH ke Badan Peradilan Umum, sementara oknum Ormas yang menyimpang dari larangan pasal 59 Perppu No. 2 Tahun 2017, dapat diproses (due process of law) secara pidana dengan ancaman pidana penjara maksimum 20 tahun, bahkan termasuk upaya Yusril ke MK bagian dari due process of law.

Yusril seharusnya tidak mengkumulasikan Permohonan Uji Formil dan Materiil dalam satu Permohonan Uji Konstitusionalitas atas Perppu No.2 Tahun 2017, karena ketika Yusril mengajukan Permohonan Uji Materiil terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017, maka, Yusril dianggap menerima keabsahan “Proses Pembentukan Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, namun ketika ternyata pada saat yang sama Yusril juga meyakini ketidakabsahan Pembentukan Perppu No. 2 Tahun 2017, dengan mengajukan Uji Formil ke MK, maka bagaimana dengan nasib Uji Materiilnya.

Itulah sikap “ambiguitas” dan “inkonsistensi” Yusril Ihza Mahendra.

 

Penulis adalah Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) di Jakarta