Bijak Membaca Berita

oleh -
Ilustasri

Oleh: Edi Danggur, SH, MM, MH

Menjelang pemilihan gubernur (pilgub) NTT 2018, di media sosial sering ditayang berita berjudul “Untuk Amankan Kasus, BKH Serahkan Rp 3 Milyar ke KPK” (Vide Suara Pembaruan 29 November 2012).

Berita tersebut juga diposting berulang-ulang di media sosial menjelang Pilgub NTT tahun 2013 yang lalu.

Terlepas dari motif dari masing-masing orang yang memposting berita tersebut, kita perlu bijak dalam membaca dan menafsirkan sebuah berita.

Apa arti bersikap bijak dan mengapa kita harus bersikap bijak dalam membaca sebuah berita?

 

Bersikap Bijak

Ketika disuguhi sebuah berita, apalagi berita-berita bernuansa politik, maka berita itu seyogyanya dibaca dan diafsirkan secara bijak. Bijak dalam menafsirkan berita bisa mengangkat kita menjadi orang bijak.

Siapakah orang bijak itu? Filsuf Plautus dan juga filsuf-filsuf Romawi lainnya mendefinisikan begini: “Orang bijak ialah orang yang melihat jauh ke depan, dapat menentukan nasibnya sendiri, dan tidak akan membenarkan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan” (Pius Pandor, 2014:202).

Maka, bersikap bijak dalam membaca dan menafsirkan berita tersebut di atas berarti kita dituntut untuk bisa melihat jauh ke depan, apa yang kira-kira mau dituju dari berita tersebut di masa depan.

Dengan begitu, kita berani memutuskan apakah berita seperti itu perlu diposting lebih lanjut ke media sosial atau tidak, apakah ada manfaatnya bagi kebaikan umum di tengah masyarakat.

Keputusan demikian berangkat dari suatu kesadaran yang tertanam dalam diri kita bahwa tidak patut kita membenarkan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan. Sebab di ruang publik, kita terikat etika dalam berargumentasi: “actori incumbit probatio” – siapa yang mendalilkan, maka ia wajib membuktikan dalilnya itu.

Kemampuan untuk membuktikan dalil itu hanya mungkin terjadi jika dalam mendalilkan soal tersebut, kita mempunyai wawasan yang luas, berkarakter dan tafsiran itu kita lakukan semata-mata demi mengabdi pada kebenaran.

Postingan dan tafsiran itu seyogya untuk pencerahan dalam rangka menjunjung tinggi kebenaran. Tidak boleh dilakukan untuk tujuan lain di luar itu, apalagi kalau tujuannya menyembunyikan atau memanipulasi kebenaran demi tercapainya tujuan pembunuhan karakter seseorang, dalam hal ini Benny K Harman.

Demi Kebenaran

Sebuah berita hendaknya dibaca dalam terang kebenaran. Itu artinya kita harus mencari kesesuaian antara apa yang kita pikirkan dan katakan dengan kenyataan atau hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi.

Bagaimana cara kita menemukan kebenaran dalam berita tersebut? Berikut adalah beberapa hal atau alat ukur untuk menguji validitas berita tersebut:

Pertama, berhubung pernyataan Nazarudin itu disampaikan dalam sidang perkara Angelina Patricia Pingkan Sondakh, maka kita seyogyanya membaca naskah putusan perkara Angelina Sondakh secara utuh dan menyeluruh yang setebal 398 halaman itu.

Tujuannya agar kita bisa menemukan transkrip utuh atau lengkap dari pernyataan Nazarudin itu seperti tertulis pada halaman 212 dari putusan itu.

Menafsirkan keterangan saksi Nazarudin tentu tidak boleh secara parsial atau sepotong-sepotong tetapi harus dalam konteks yang menyeluruh dalam perkara tersebut.

Apa konteks yang menyeluruh itu? Dalam persidangan Angelina Sondakh itu, saksi Nazarudin menjelaskan peran Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengklarifikasi keterlibatan terdakwa Angelina Sondakh dalam dugaan korupsi Wisma Atlet.

Saksi Nazarudin menjelaskan secara garis besar bahwa BKH yang memimpin rapat TPF dan melakukan konferensi pers mengenai hasik klarifikasi TPF terhadap Angelina Sondakh.

Kedua, dalam pemeriksaan terdakwa Angelina Sondakh di persidangan, hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memberikan tanggapan atas keterangan saksi Nazarudin tersebut.

Terbukti terdakwa Angelina Sondakh saat persidangan itu tidak membenarkan adanya pemberian uang Rp 3 Milyar dimaksud ke KPK.

Ketiga, Nazarudin sebagai saksi seharusnya hanya bersaksi tentang hal-hal yang ia lihat sendiri dan yang ia alami sendiri (Vide Pasal 1 angka 27 KUHAP).

Sebaliknya, semua keterangan saksi di luar hal-hal yang ia lihat sendiri dan yang ia alami sendiri tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Itu artinya keterangan Nazarudin, setidak-tidaknya menyangkut BKH, tidak mempunyai nilai pembuktian.

Saksi Nazarudin tidak boleh memberikan keterangan tentang hal-hal yang hanya berdasarkan informasi yang ia dengar dari orang lain.

Sebab keterangan yang demikian dikualifikasi sebagai “testimonium de auditu” yang dalam praktek hukum, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti (Vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 20 PK/Pid/1983 tanggal 15 Maret 1984).

Keempat, saksi Nazarudin sendiri dalam sidang perkara Angelina Sondakh tersebut ketika ditanya hakim: uang itu diserahkan kepada siapa di KPK, saksi Nazarudin menjawab dengan tegas tidak mengetahui.

Itu artinya keterangan saksi Nazarudin itu hanya berdasarkan pendapat, isi pikiran atau rekaannya. Dengan kata lain, saksi Nazarudin tidak benar-benar tahu apakah benar ada penyerahan uang tersebut ke KPK.

Oleh karena itu, secara hukum, berdasarkan KUHAP dan Yurisprudensi MA, hakim biasanya terikat kewajiban untuk mengesampingkan atau mengabaikan keterangan yang hanya berisi pendapat, opini, isi pikiran atau rekaan.

Mengapa? Sebab kalau menyampaikan keterangan hanya berdasarkan yang ia dengar dari orang, maka informasi itu bisa dilebih-lebihkan atau ditambah-tambahkan. Akibatnya, keaslian informasi jadi hilang.

Kata orang bijak, kalau titip uang maka jumlah uang akan berkurang saat sampai di tangan penerima. Sebaliknya kalau titip pesan atau informasi maka pesan atau informasi yang sampai ke penerima akan semakin bertambah banyak bahkan berlebihan.

Contoh konkret, dalam persidangan perkara Angelina Sondakh ini, saksi Nazarudin hanya menyebutkan angka uang Rp 2 Milyar. Bukan Rp 3 Milyar seperti dalam berita-berita di media massa dan medsos itu.

Tambahan Rp 1 Milyar itu berasal dari wartawan yang menulis berita itu. Apakah dengan menambahkan angka uang Rp 1 Milyar itu maka berita menjadi lebih sensasional?

Atau sekedar untuk membenarkan adagium: kalau menitip pesan maka isi pesan semakin bertambah banyak di tangan penerima?

Hindari Virus Gosip

Kaum bijak biasanya sudah memberikan pedoman dalam menyampaikan informasi ke ruang publik, yaitu tidak boleh berbohong dan tidak boleh mendaku kebenaran.

Kebohongan adalah cara memanipulasi kebenaran melalui serangkaian virus gosip yang harus kita lawan bersama agar tidak mengotori ruang publik kita.

Caranya menyaring virus gosip yang perlu diperhatikan adalah: (a) benar: kita harus meneliti apakah gosip itu benar; (b) baik: kita harus meneliti apakah baik kita memposting atau menyebarkan gosip itu; dan (c) perlu: apakah gosif itu perlu disampaikan kepada orang banyak.

Dalam menghadapi gosip, Filsuf Sokrates menasehati: “Jika yang akan kamu katakan itu (baca: gosip) dirasa tidak benar, tidak baik dan tidak perlu, maka buang sajalah (gosip) itu (Pius Pandor, 2014:37).

Di samping itu, hindari pendakuan kebenaran. Menganggap diri bahwa pendiriannya yang paling benar, padahal di balik itu tersembunyi kepentingan (conflict of interest), motivasi opportunistik pragmatis atau bahkan ilusi.

Untuk bisa benar-benar mengabdi pada kebenaran dan akhirnya menjadi bijak dalam menafsirkan berita, maka kita pertama-tama harus mengabaikan kepentingan diri dan kelompok yang opportunistik pragmatis, agar fajar kebenaran terbit di ruang publik. Semoga!

 

Penulis adalah Advokat, Tinggal di Jakarta