Ketika Duduk Bersebelahan di TransJakarta Pun Harus Seagama

oleh -
Seorang pengguna media sosial membagikan kisahnya ditolak saat menawarkan kursi di bus TransJakarta dengan alasan dianggap beragama Kristen. (Foto: ilustrasi BBCIndonesia)

JAKARTA-Ciutan seorang pengguna media sosial yang mempersilakan seorang ibu berhijab untuk duduk di sebelahnya namun kemudian ditolak karena dianggap bahwa si pemberi kursi tersebut beragama Kristen, menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Pengamat menilai bahwa peristiwa ini adalah “suatu pertanda membahayakan untuk kebhinnekaan”.

Seperti dikutip dari BBCIndonesia, cuitan dari @cho_ro itu disampaikan dalam rangkaian yang masing-masing sudah dibagikan lebih dari 1.000 dan lebih dari 2.600 kali dan disukai lebih dari 300 dan 500 kali.

“Saya harus bereaksi apa nih? Logika apa yang bisa membuatmu menolak (tawaran kursi dari) orang dengan kalimat ‘saya Muslim’? Kalau dia bilang, ‘oh, (tujuan) saya dekat’, ‘oh, saya sakit punggung’, saya masih bisa jawab. Itu rasanya shock,” kata pemilik akun @cho_ro, yang ingin disebut dengan nama akunnya saja kepada BBC Indonesia, Senin (05/02).

Setelah cuitannya banyak dibagikan, @cho_ro mengatakan bahwa dia menerima komentar bukan hanya dari orang-orang yang membagikan pengalaman serupa, namun juga dari mereka yang meminta agar dia tidak menceritakan pengalamannya itu.

“Jangan diceritakan karena nanti memancing perseteruan. Posisinya adalah, saya tuh mayoritas lho, saya Muslim nih, saya bukan yang beneran Kristen, atau chinese. Saya aja yang mayoritas dibilang, ‘oh nggak usah cerita’, bayangin kalau saya benar minoritas,” katanya.

Salah satu pengguna media sosial yang membagikan pengalaman yang kurang lebih serupa adalah Etna Fastiana. Melalui akun @etnafst dia mengatakan bahwa pernah ditolak untuk naik Uber karena disangka Kristen dan cina.

Namun @cho_ro tak terlalu setuju jika insiden ini disebut sebagai ekses pilkada DKI.

 

Disuburkan Oleh Pilkada DKI Jakarta

“Saya percaya ini oknum. Saya tidak percaya ini Indonesia kini, ini Indonesia dulu kayaknya, karena cerita-cerita (seperti ini) pernah baca, selentingan ada, tapi tidak pernah ketemu, ngalamin itu nggak pernah. Sekarang jadi terbuka karena ada media sosial,” ujarnya.

Pengamat Islam dan pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, Budhy Munawar Rahman mengatakan bahwa kondisi eksklusivisme dan puritanisme sudah ada sebelumnya di masyarakat Indonesia.

Namun kemudian elemen-elemen itu “disuburkan oleh pilkada DKI yang memang membawa isu SARA, agama, untuk politik”.

“Sekarang ini ada kecenderungan yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa intoleransi itu ada di hal-hal yang kecil-kecil, sehari-hari, yang dulu tidak terpikirkan,” kata Budhy.

Istilah toleransi dan intoleransi, menurut Budhy, biasanya akan merujuk pada hubungan antar-agama di tingkat isu nasional dan kontroversial, namun kini perkembangannya jadi masuk ke isu yang kecil dan sehari-hari.

Menurutnya, hal ini terjadi karena selama ini toleransi lebih sering diwacanakan di tingkat elite, namun tidak dikembangkan di tingkat masyarakat, dalam hal yang sejauh mungkin pada perjumpaan atau interaksi sosial.

“Contoh tadi itu kan perjumpaan, sekarang perjumpaan ini dalam hal yang sederhana sudah mulai menjadi masalah. Kita tidak bisa mengatakan di Indonesia sudah buruk sekali, tapi fenomena satu, dua seperti ini, ini memberi warning pada kita bahwa kondisi intoleransi sudah turun pada level masyarakat yang luas,” kata Budhy.

“Kalau sudah sampai level duduk bersebelahan antar-agama saja sudah menjadi masalah, itu sudah menjadi pertanda yang membahayakan sekali,” pungkasnya.