Sejenak Bersama Buya Syafii

oleh -

Oleh: Joanes Joko

Orang biasa memanggilnya dengan sebutan Buya. Istilah di Minang, merujuk pada kata dalam bahasa Arab “Abuya”, yang berarti “Ayahku”. Karena proses akulturasi, “Abuya” berubah menjadi “Buya”.

Bersepeda, mencuci pakaian dan membersikan rumah adalah aktivitas olahraga yang masih tetap dilakukannya sendiri. Biar tetap bugar katanya. Memang kebugarannya tampak nyata dari pikiran-pikiran tajam dan bernas yang terus meluncur dari kalimat-kalimat yang diucapkannya.

Walau kadang seringkali pikiran dan sikap jernih dan kritisnya menyikapi permasalahan membuatnya harus menghadapi berbagai tuduhan dan hujatan. Saya mencandainya, “bukankah pohon mangga yang berbuah, yang akan dilempari batu? Kalau pohon tidak berbuah ya tidak akan ada yang melempari.” Ia tertawa lepas… Sebuah filosofi hidup yang saya dapatkan dari seorang guru.

Namun, di usianya yang sudah lebih dari delapan dasawarsa, tepatnya 82 tahun, semangat  tak lekang oleh waktu untuk terus merawat komitmen kebangsaan. Ia adalah sosok sederhana dan bersahaja namun teguh dalam sikap dan tindakan.

Suatu sore H-2 menjelang acara puncak #asianyouthday2017 , kami berkesempatan menemuinya di salah satu mesjid di belakang rumahnya di sudut barat Kota Yogyakarta. Buya duduk bersila hanya ditemani seorang yang usianya jauh lebih muda darinya. Bersahaja dan sederhana, orang tidak mengira dia yang sedang duduk bersila itu adalah tokoh besar dari salah satu ormas Islam terbesar, Muhammadiyah.

Beberapa hari sebelumnya divhadapan 50 lebih Uskup Katolik dari berbagai negara di Asia, Buya menceritakan tentang Islam di Indonesia, membuka “rahasia” mengapa Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tidak mengalami krisis seperti di Timur Tengah. Karena mayoritas Muslim di Indonesia yang multikultural mewujudkan Islam yang bisa hidup berdampingan dengan damai dan toleran.

Merawat Indonesia multikultural yang damai dan toleran seperti saat ini bukanlah hal yang mudah. Butuh usaha keras di tengah perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi yang kadang menyesatkan.

Hanya dengan dialog dari hati ke hati yang terus menerus adalah bentuk usaha merawat komitmen kebangsaan untuk tetap hidup bersama dalam KeIndonesiaan.

 

Penulis adalah Anggota Presidium Pusat ISKA Bidang Organisasi & Hubungan Antarlembaga