Cacat Hukum, Penyidikan Kasus Helikopter AW-101 Wajib Dihentikan

oleh -
Ilustrasi Helikopter AW-101

JAKARTA-Proses penyidikan kasus pembelian helikopter AW-101 oleh TNI AU  terus menuai polemik, salah satunya terkait kedudukan hukum kasus ini yang tidak jelas atau cacat hukum. Pasalnya, dalam kasus ini belum ada pernyataan resmi BPK sebagai lembaga resmi audit negara terkait adanya kerugian negara.

“Dasar hukumnya jelas yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk menyatakan kerugian negara adalah BPK. Kenapa Surat Edaran MA ini menjadi acuan, supaya seragam untuk menentukan kerugian negara. Jangan lupa, karena perkara korupsi adalah extra ordinary crime maka yang dikedapankan adalah aspek kerugian negaranya,” kata kuasa hukum Marsekal Pertama Fachry Adamy, Santrawan T. Paparang dan Haposan Paulus Batubara dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum PAPARANG – BATUBARA & Partners saat memberi keterangan di Jakarta, Selasa (15/8).

“Sekarang, ketika belum ada audit dari BPK, lantas bagaimana kita menentukan bahwa ada tindak korupsi di sana? Dan lagi, dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi kerugian negara wajib sudah ada terlebih dahulu. Ini makanya kami sebutkan laporan Panglima TNI ke KPK cacat adalah hukum,” tegasnya.

Marsekal Pertama Fachry Adami adalah salah satu tersangka yang ditetapkan dalam penyidikan kasus ini.

Keduanya menambahkan, cacat hukumnya laporan tersebut merembet pada hal-hal yang lain yaitu penentuan tersangka dan berita acara pemeriksaan saksi serta berita acara penyidikkan sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum.

“Sehingga patut diduga bahwa pelaporan ini adalah sesuatu yang tergesa-gesa, terkesan sudah dikondisikan dan terlalu dipaksakan. Pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pelaporan Panglima TNI ini? Ini menjadi pertanyaan serius kami,” tegas keduanya.

Dengan kondisi seperti ini, Paparang dan Haposan menilai apa yang dilakukan Panglima TNI dan KPK adalah pelanggaran HAM berat terhadap nama-nama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

“Suatu proses hukum yang ternyata cacat hukum pantas kita sebut sebagai pelanggaran HAM berat. Kenapa? Karena asas kepastian hukum di sini tidak ada. Kalau demikian, apakah bisa kita menilai ini adalah tindakan sewenang-wenang KPK dan Panglima TNI? Makanya kita akan menguji ini dengan melapor ke Komnas HAM RI,” kata Paparang dan Haposan.

Unsur pelanggaran HAM jelas Paparang dan Haposan setidaknya terlihat dari pelaporan kasus ini ke KPK tanpa didukung fakta hukum yang sah dan mengikat berupa audit investigatif dari BPK yang menerangkan adanya kerugian negara.

“Bagi kami, dengan fakta-fakta seperti ini Panglima TNI telah melakukan pembunuhan karakter dan stigma negatif terhadap insitusi TNI AU dan para perwiranya, baik perwira tinggi maupun menengah di lingkungan TNI AU,” tukas keduanya.

Karena itu pula, keduanya menganggap penting permintaan keterangan kepada Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang pertama kali mendeklarasikan ke publik adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian helikopter tersebut berupa adanya kerugian negara.

Dalam pernyataanya di Gedung KPK pada Jumat (26/5) lalu, Gatot mengatakan indikasi kerugian negara dalam kasus  ini mencapai Rp 220 Miliar.

“Bahwa berdasarkan azas Hukum ‘Actori Incumbit Probatio’ maka Panglima TNI pada saat membuat Laporan Pidana di KPK dan Pom TNI wajib terlebih dahulu membuktikan kerugian negara berdasarkan dokumen audit investigatif dari BPK RI. Maka itu kami mendesak agar panglima TNI harus dimintai keterangannya karena beliaulah yang pertama kali menyampaikan ke publik adanya kerugian negara dalam kasus ini,” kata Paparang dan Haposan.

Menurut mereka, jika pada saat laporan dibuat oleh Panglima TNI  dan yang bersangkutan belum memiliki bukti hukum yang sah, maka laporan tersebut cacat hukum dan sangat prematur.

“Maka itu kami tegaskan, karena kasus ini unsur dan elemen tindak pidana korupsinya tidak ada, sudah selayaknya penyidikan perkara ini oleh KPK dan POM TNI wajib demi hukum segera dihentikan,” pungkasnya.