FAPP: Anies Baswedan Tidak Jujur

oleh -

JAKARTA-Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) menilai penggunaan kata ‘pribumi’ dalam pidato perdana Anies Baswedan saat acara pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 merupakan bentuk ketidakjujuran dan ketidakiklasannya terhadap kelompok masyarakat yang di matanya termasuk kategori nonpribumi.

Pidato politik Anies ini bermakna ingin memposisikan dirinya dan kelompok pendukungnya adalah pribumi yang harus didahulukan atau diutamakan dalam pembangunan dan kelompok lain dinomorduakan.”Kami sangat menyayangkan penggunaan kata pribumi dalam pidato perdana Anies Baswedan terlebih-lebih karena pidato itu disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya,” ujar Ketua Tim Task Force FAPP, Petrus Salestinus di Jakarta, Jumat (20/10).

Dalam isi pidatonya itu Anies Baswedan mengangkat isu perjuangan pribumi melawan kolonialisme, yang menurutnya semua warga pribumi harus mendapatkan kesejahteraan”, bahwa dahulu semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini kita merdeka dan saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Menurut Petrus, kata-kata pidato Anies Baswedan berbau sangat rasis. Hal ini berpotensi memapankan sentimen sara yang selama pilkada DKI Jakarta muncul secara masif dalam berbagai bentuk. Bahkan sempat memakan korban, telah menimbulkan kecurigaan publik bahwa Anies akan mebangun Kota dan Warga Jakrta dalam semangat dan sentiman sara, karena menghadapkan Warga Jakarta dalam perlakuan yang tidak sama yang sesungguhnya dilarang oleh UU.

“Penggunaan kata pribumi dalam konteks Anies sebagai seorang Gubernur di Jakarta dengan warganya yang multi etnis, sangat tidak layak dan dapat dikulaifisir sebagai melanggar hukum karena diucapkan saat mengawali tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang seharusnya menjaga persatuan,” tegasnya.

Petrus menilai, penggunaan kata pribumi dalam pidato Anies bermakna ingin memposisikan dirinya dan kelompok pendukungnya adalah pribumi yang harus didahulukan atau diutamakan dalam pembangunan. Sedangkan kelompok lain sebagai nonpribumi dinomorduakan.

Ini artinya, prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak-hak yang sama bagi semua warga negara akan dikesampingkan demi pribumi yang lebih berhak.

Dengan demikin, meskipun dalam keseluruhan pidato Anies terdapat ajakan untuk bersama-sama bergotong royong membangun Jakarta sebagai milik semua, akan tetapi dengan menggunakan kata pribumi, nampak Anies hendak membangun basis manusia di Jakarta berdasarkan kelas dengan memposisikan dirinya sebagai kelas pribumi yang akan menegakan hak-hak pribumi yang selama 72 tahun merdeka tidak terwujudkan.

“Ini memang sebuah ketidakjujuran dan ketidakiklasan Anies terhadap kelompok masyarakat,” tegasnya.

Padahal dalam pidatonya itu Anies menegaskan bahwa dirinya sudah menjadi Gubernur bagi semua, termasuk mereka yang tidak memilihnya.

Anies lupa bahwa pasal 26 UUD 1945 dan UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis bahkan Inpres No. 26 Tahun 1998 dari Presiden Habibie tanggal 16 September 1998 sesungguhnya telah melarang, menghapus penggunaan nomenklatur pribumi dan nonpribumi yang sangat diskriminatif pada suku, ras dan agama seseorang dalam penyelenggaraan pemerintahan.

“Ini sebuah langkah mundur dan sekaligus sebuah kesombongan atau keangkuhan pribadi yang akan menimbulkan anomali dalam pemerintahan Anies selama 5 tahun berjalan ke depan, karena sebagai Gubernur DKI Jakarta Anies dituntut untuk tidak boleh mengeluarkan kebijakan atas nama apapun yang bersifat diskriminatif,” tuturnya.

“Ini sangat berbahaya karena akan mengancam persatuan bangsa Indonesia,” urainya.

Lebih lanjut, Petrus mengatakan pidato Anies dapat dimaknai sebagai sedang membangkitkan untuk kembali kepada sikap dan perilaku diskriminatif atas dasar ras dan etnis bahwa hanya orang dengan kriteria pribumilah yang berjasa melawan penjajah. Karena itu hanya pribumi pulalah yang layak diprioritaskan mendapatkan hak untuk disejahterakan.

Anies seharusnya mendasarkan pidatonya itu dalam konteks kondisi riil Ibukota Jakarta yang belum tuntas soal radikalisme, soal sara dll. yang selama pilkada muncul tanpa ada yang bisa mengendalikan.

Padahal dengan merujuk pada konsiderans dan isi dari pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan pasal 26 UUD 1945 serta Inpres No. 26 Tahun 1998, mestinya Anies tidak boleh menggunakan istilah pribumi dalah konteks kebijakan untuk memberikan kesejahteraan kepada pribumi untuk menjadi tuan rumah bagi negerinya sendiri.

“Oleh karena itu FAPP mendesak Anies dalam kapasitas sebagai apapun terlebih-lebih sebagai Gubernur DKI Jakarta segera “meminta maaf kepada seluruh warga negara penduduk DKI Jakarta dan mencabut kata-kata atau kalimat dalam pidato perdananya sepanjang menyangkut kata “pribumi”,” tegasnya.

“Dalam konteks pelayanan publik, dimana posisi Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta bagi seluruh warga negara dan penduduk DKI Jakarta dituntut untuk berlaku adil terhadap setiap warga negaranya yang menjadi penduduk DKI Jakarta yang memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali,” pungkasnya.