Habib Luthfi: Bentengi Generasi Muda dari Paham Radikalisme dengan Sejarah Kejayaan Bangsa

oleh -
Habib Luthfi bin Yahya dan Kepala BNPT Boy Rafli Amar, saat menjadi narasumber Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan BNPT dengan Forkopimda, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme Provinsi Banten di Pondok Pesantren Nurul Falah, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Senin (7/2/2022). (Foto: Ist)

Lebak, JENDELANASIONAL.ID — Generasi muda, sebagai generasi penerus bangsa, harus dibentengi dari paham yang ingin merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme. Salah satunya dengan membekalinya dengan nasionalisme dan kiprah para pendahulu bangsa baik itu pejuang kemerdekaan, kiprah wali songo, dan juga sejarah kerajaan-kerajaan besar Indonesia sebelumnya.

“Generasi muda harus tahu bagaimana pejuang meraih kemerdekaan, juga kiprah wali songo yang menyebarkan agama Islam dengan penuh toleransi tanpa harus menyakiti agama lain. Juga bagaimana dulu kerajaan-kerajaan besar lewat peninggalan-peninggalannya yang luar biasa,” ujar Habib Luthfi bin Yahya saat menjadi narasumber Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan BNPT dengan Forkopimda, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme Provinsi Banten di Pondok Pesantren Nurul Falah, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Senin (7/2/2022).

Anggota Wantimpres RI ini tidak pernah henti menyuarakan ajakan kepada seluruh pihak untuk membentengi generasi muda dari paham radikal terorisme. Ini penting karena generasi muda adalah pemegang estafet keberlangsungan NKRI.

Menurutnya Indonesia adalah anugerah luar biasa dari yang maha kuasa dengan berbagai kelebihannya. Tidak hanya subur tanahnya dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga memiliki berbagai keragaman yang berhasil dikelola dengan baik sejak dulu kala.

Habib Luthfi mengaku telah mempelajari makna kebhinnekaan dan toleransi di Indonesia. Dari situ ia mengaku kagum dengan para pendahulu bangsa yang mampu menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam bingkai NKRI.

Ia pun berkesimpulan bahwa setelah membolak-balik sejarah, bangsa Indonesia ternyata bukan keturunan bangsa penjajah, tetapi bangsa yang rasional, intelektual. Ini menjadi tantangan bersama agar NKRI tetap jaya di tengah gangguan berbagai paham-paham transnasional.

“Yang jadi pertanyaan, apakah generasi penerus ini sudah dipersiapkan untuk menjawab tantangan tersebut?” tanya Habib Luthfi.

Dalam hal ini, Habib Luthfi mendukung upaya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melindungi generasi muda dari paham radikal terorisme. Menurutnya, kegiatan Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan ini sangat bagus untuk menggugah pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk bersatu memerangi paham kekerasan tersebut, sekaligus memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang pentingnya nasionalisme.

“Generasi muda harus mencontoh bagaimana dulu Kerajaan Majapahit mampu menyatukan Indonesia. Saat itu Raja Hayam Wuruk atau Brawijaya dalam melakukan pendekatan terhadap umat Islam sampai memberikan tanah di Ampel. Pada waktu itu, Menteri Pertanian dan Menteri Ekonomi yang diangkat adalah Maulana Malik Ibrahim, sementara Menkeu Maulana Asmorodono,” cerita Habib Luthfi.

Contoh lainnya, kata Habib Luthfi, di zaman Sunan Kudus ia mampu mencegah pertumpahan darah hanya karena masa itu Kudus dipimpin seorang raja bernama Poncowati yang beragama Hindu. Saat itu hampir terjadi pertumpahan darah hanya gara-gara sapi, karena umat Hindu memang menganggap sapi sebagai hewan yang diagungkan. Sunan Kudus berkeliling sambil menuntun sapi dan menerangkan secara ilmiah agar tidak ada penyembelihan sapi. Alhasil sampai saat ini orang Kudus tidak ada yang memotong sapi.

“Disitulah kita harus terus belajar membangun ukhuwah, persatuan dan kesatuan yang dirintis Sunan Kudus. Dan akhirnya, keraton Poncowati diberikan kepada Sunan Kudus, tapi Sunan Kudus tidak mau karena sudah ada Kerajaan Demak. Sunan Kudus tidak ingin membuat negara dalam negara. Kurang apa sejarah Indonesia ini, kalau mau kita pelajari?” tanya Ketua Forum Ulama Sufi dunia itu.

Tidak hanya itu, lanjutnya, masih banyak contoh lainnya. Seperti bagaimana dulu candi-candi seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut dibangun. Saat itu bangsa Indonesia sudah memiliki teknologi canggih sehingga candi-candi itu sekarang masih berdiri kokoh, meski hampir setiap tahun terkena terdampak erupsi gunung Merapi. Padahal jaman itu tidak dikenal teknologi canggih seperti sekarang.

Lebih luar biasa lagi, sekarang candi-candi itu mampu mendatangkan devisi yang bisa dinikmati oleh tidak satu agama saja, tetapi seluruh umat beragama yang tinggal di sekitarnya.

“Ini PR (pekerjaan rumah) apakah kita mampu melanjutkan amanat para sesepuuh dan pendiri bangsa ini? Atau jadi generasi yang mengecewakan para pendahulu,” tukas Habib Luthfi.

Karena itu, kata Ketua Umum JATMAN ini, semua pihak perlu bersama BNPT bersama-sama menyelematkan generasi akan datang. Ini penting agar generasi muda ikut andil membangun bangsa. Mereka juga bisa ditanamkan rasa cinta tanah air, ‘kami bangga menjadi anak Indonesia, kami bangga menjadi bangsa Indonesia’.

“Silakah hidup di Timur Tengah, hidup di Eropa silakan, tapi itu jangan mengubah sikap ‘i am Indonesia, i love Indonesia, karena kalimant Indonesia tanah air telah melekat tiap generasi, bukan semata-mata dalam lagu Indonesia Raya. Kita harus tanggung jawab menyelamatkan bangsa ini,” tandas Habib Luthfi.

 

Tagline Indonesia Harmoni

Kepala BNPT Komjen Pol. DR. Boy Rafli Amar mengatakan bahwa nasionalisme menjadi sangat penting diberikan kepada generasi muda di tengah ‘serangan’ ideologi radikal terorisme yang mengancam kehidupan harmoni di NKRI.

Karena itu, BNPT menggunakan tagline “Indonesia Harmoni” karena dengan menjaga kerukunan semangat persatuan bisa diwujudkan dan tujuan akhir Indonesia harmoni akan terbentuk.

“Mengapa nasionalisme dan harmoni ini harus dibicarakan di tengah kemajemukan Indonesia? Karena salah satu tantangan bangsa saat ini adalah mengatasi paham radikal terorisme yang berkembang sebagai idelogi berbasis kekerasan,” kata Boy Rafli.

Ia menegaskan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah sebuah hal yang tabu dan dilarang di Indonesia oleh konstitusi NKRI. Karena itu, keseimbangan dan harmoni dalam berbangsa dan bernegara harus terus dijaga untuk mencegah idelogi berbasis kekerasan, intoleran, tidak mengakui negara, menghalalkan kekerasan dalam mencapai tujuan, dan sangat mungkin anti kemanusiaan dan melanggar ajaran agama.

Ia memaparkan bahwa ideologi kekerasan berkembang dalam 20 tahun terakhir. Tidak hanya berdampak di Indonesia, tapi di seluruh negara dunia. Umumnya ideologi terorime berlatar belakang pemaksaan ideologi, memiliki tujuan politik, dan ingin mengganggu ketentraman masyarakat.

Khusus di Banten, Boy Rafli mengungkapkan bahwa provinsi tersebut menyumbang beberapa warga berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS dengan menjual harta benda bersama istri dan anak. Dalam kurun 2011-2015, propaganda ISIS sangat masif. Pasca meninggalnya Osama bin Laden, salah satu petinggi Alqaeda, Abubakar Al-Baghdadi membuat organisasi sendiri bernama ISIS. Ironisnya, Al Baghdadi tewas bunuh diri bersama keluarganya pada 2019. Pun pemimpin setelahnya, juga bunuh diri bersama keluarganya setelah terkepung pasukan koalisi di Suriah pekan lalu.

“Ini fakta ideologi berbasis kekerasan yang dikembangkan ISIS. Mereka rela anak istri diajak bom bunuh diri. Ini kondisi obyektif yang tidak sesuai dengan kepribadian kita. Agama apapun baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, kami yakin tidak ada hal-hal yang mengajarkan seperti itu. Tapi ini berkembang dalam 20 tahun terkahir. Indonesia kalau tidak memiliki ketahanan pada aspek ideologi kita akan mudah terpengaruh. Kalau tidak dilawan, akan banyak anak bangsa yang menjadi korban,” ungkap mantan Kapolda Banten ini.

Kegiatan Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan berlanjut dengan Peringatan Isra’Mi’raj. Selain Habib Luthfi dan Kepala BNPT, hadir juga dalam kegiatan itu tokoh Karismatik Banten, Abuya Muhtadi, Wakil Gubernur Banten Andhika Hazrumy, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar Adde Rosi Khaerunnisa. Dari jajaran pejabat BNPT hadir Sestama BNPT Mayjen Dedi Sambowo, Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan, dan Deradikalisasi Mayjen TNI Nisan Setiadi, dan Deputi Bidang Penindakan dan Penegakkan Hukum Irjen Pol. Ibnu Suhendra. ***