Lima Hal yang Perlu Diantisipasi Pasca-Penetapan Parpol Peserta Pemilu

oleh -
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (Foto: Ist)

JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 14 partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019, Sabtu (17/2/2018). Sedangkan 2 partai lainnya, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia (PKPI) dinyatakan tak memenuhi syarat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, penetapan parpol peserta pemilu adalah tahapan penting dalam perjalanan penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

“Dari penetapan inilah arah pencalonan legislatif dan presiden akan ditentukan. Pihak yang tidak lolos sebagai peserta pemilu sudah dipastikan akan menempuh langkah hukum sebagai saluran keberatan atas surat keputusan yang dibuat KPU,” ujarnya melalui siaran pers, Sabtu.

Sesuai ketentuan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, parpol yang tidak lolos bisa menempuh upaya hukum sengketa pemilu ke Bawaslu RI. Bawaslu RI yang akan menyidangkan dan membuat Putusan atas sengketa yang diajukan parpol yang tidak lolos ini.

“Karena itu, adalah keniscayaan bagi KPU untuk mempersiapkan segala bukti, fakta-fakta, kronologis, dan argumentasi hukum yang kuat sebagai upaya untuk meyakinkan bahwa keputusan yang mereka buat adalah benar adanya,” ujarnya.

Menurut Titi, sengketa penetapan parpol peserta pemilu adalah medium paling kongkrit untuk menguji kredibilitas, profesionalisme, dan kemandirian KPU selaku penyelenggara pemilu di dalam menyelenggarakan tahapan pemilu serentak 2019.

Bawaslu juga diharap bersikap dan bertindak profesional dalam menangani sengketa yang masuk kepadanya. Sidang sengketa harus terbuka, transparan, akuntabel, dan tidak boleh ada diskriminasi. Bawaslu harus menjalanan persidangan secara adil dan tidak berat sebelah, tentu dengan tetap menjaga keadilan dan kemandiriannya sebagai pemutus sengketa.

Dia mengatakan, dalam 12 hari setelah perkara diregistrasi, Bawaslu harus sudah membuat Putusan. Apabila setelah Bawaslu mengeluarkan putusan para pihak masih merasa tidak puas, maka mereka bisa menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu sejalan dengan pengaturan Pasal 469 dan Pasal 471 UU 7/2017.

Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, menurut Perludem, setidaknya ada lima hal yang perlu diantisipasi demi pencapaian utuh kesetaraan dan keadilan pemilu.

  1. Transparansi dan akuntabilitas sumbangan dan belanja kampanye. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu meningkatkan batasan sumbangan dana kampanye. Dibanding UU No.8/2012, batasan sumbangan perseorangan diubah dari Rp 1 M menjadi Rp 2,5 M sedangkan batasan sumbangan kelompok/perusahaan diubah dari Rp 7,5 M menjadi Rp 25 M.

Peneliti Pemilu Usep Hasan Sadikin mengatakan, peningkatan batasan itu membuat sumbangan dana kampanye Pemilu 2019 seakan-akan tanpa pembatasan. “Fungsi pembatasan dana kampanye bagi penyumbang adalah untuk menghindari mengumpulnya nilai dana pada beberapa penyumbang. Meningkatkan batasan dari nilai sekian hingga nilai sekian membuat pembatasan tak berfungsi,” ujarnya.

  1. Politik uang.

Segala bentuk politik uang, kata Usep, harus dicegah dan ditindak demi pencapaian utuh pemilu setara dan adil. Selain pemberian uang secara lansung dari peserta/tim sukses pemilu ke pemilih, politik uang yang melibatkan struktur dan pejabat pemerintahan pun harus dilawan.

Partai politik dan politisinya beserta tim sukses amat mungkin memberikan uang kepada pejabat pemerintahan daerah hingga desa. Kewenangan kepala daerah, camat, kepala desa, dan ketua RW/RT mengakses fasilitas pemerintah dan mengerahkan birokrasi serta mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) bisa digunakan partai politik berkampanye.

  1. Kampanye di frekuensi publik.
    Perludem menyatakan, kampanye pemilu yang setara dan adil bisa tak tercapai utuh jika tak mengatur dengan baik kampanye di frekuensi publik. Televisi dan radio menggunakan medium milik publik yang terbatas sehingga berbeda dengan media cetak dan daring yang tak punya batasan ruang dan izin.

Ketidakadilan kampanye di televisi dan radio terjadi dalam berbagai bentuk. Pertama, iklan kampanye parpol yang tak imbang serta melanggar batasan slot dan durasi. Kedua, konten pemberitaan yang mengandung unsur kampanye.

Ketiga, terlalu melebihkan satu parpol peserta pemilu dalam pemberitaan dibanding parpol lain. Keempat, dihadirkannya identitas parpol atau unsur kampanye parpol dalam program media.

  1. Alat peraga kampanye illegal di ruang publik.
    Peneliti Hukum Perludem Fadli Ramadhanil menambahkan, pemasangan alat peraga kampanye illegal di ruang publik setidaknya menghadirkan dua permasalahan. Pertama, praktek pemasangan yang jor-joran tanpa menyertakan transparansi dan akuntabilitas sumbangan dan belanja kampanye lebih menghasilkan ketimpangan kontestasi.

Kedua, ruang publik yang harusnya diperuntukan kepentingan bersama malah dikotori oleh pemasangan alat peraga kampanye sembarang kepentingan parpol tertentu.

“Mencegah dan menindak pelanggaran dalam pemasangan alat peraga kampanye di ruang publik akan menjamin kesetaraan dan keadilan kontestasi pemilu. Penegakan hukum dalam hal ini pun akan menjaga kebersihan sampah reklame politik di ruang publik,” ujarnya.

  1. Penggunaan kekerasan dan ujaran kekerasan.
    Fadli mengatakan, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus menjamin tak adanya penggunaan kekerasan dan ujuaran kekerasan di dalam kampanye peserta Pemilu 2019. Ini berlaku bagi di dunia nyata maupun di dunia maya internet, termasuk media sosial.

Menurutnya, pemilu serentak pemilihan presiden dan partai politik dalam Pemilu 2019, akan meningkatkan sentimen kontestasi antar peserta, tim sukses, pendukung, dan pemilih.

“Satu pemahaman antar pemangku kepentingan dalam pemilu beserta aparat penegak hukum dalam mengartikan serta mengatur bentuk kekerasan dan ujaran kekerasan harus dicapai. Penegakan hukum dari tindaklanjut kesepemahaman tersebut menjadi syarat sukses pemilu yang setara, adil, dan tanpa kekerasan,” pungkasnya.