Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi

oleh -
Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi
Diskusi buku "Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi"

JAKARTA-Forum Temu Kebangsaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Edukasi Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkolaborasi dalam diskusi dan bedah buku “Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi” di Gedung Lama KPK, Kuningan Jakarta, Sabtu,(4/11/2017 ). Sekitar 130 orang dari berbagai kalangan muda lintas profesi dan organisasi hadir dalam acara ini.

Pembicara dalam diskusi ini adalah Sabir Laluhu (Penulis Buku), Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK), Yunarto Wijaya (Direktur Charta Politika), Emerson Yuntho (Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Inayah Wahid (Seniman), dengan moderator Ita Nurmalita.

Perwakilan Forum Temu Kebangsaan, Marsianus Wawo Daso mengatakan, kegiatan ini adalah salah satu bentuk keterlibatan atau dukungan konkrit kaum muda dalam mengkampanyekan gerakan anti korupsi dalam segala lini. Orang muda ingin melawan segala macam upaya pelemahan terhadap Lembaga Anti Korupsi.

Yang menarik, buku ini secara rinci menggambarkan sandi-sandi korupsi yang digunakan para koruptor dalam komunikasi mereka untuk melakukan tindak pidana, termasuk sekitar 23 kasus korupsi yang sudah inkracht dalam kurun 2007-2016.

“Sandi yang dituturkan dengan bahasa mereka kian berkembang atau bermetamorfosis dalam merujuk makna dan mencapai maksudnya. Mulai dari sandi komunikasi korupsi dari yang paling sederhana, misalnya titipan, barang, uang rokok, uang lelah, bungkusan, oleh-oleh, operasional, dan lain-lain,” kata Sabir Laluhu.

“Kemudian sandi untuk uang tersebut bermetamorfosis atau berubah bentuk menjadi bentuknya yang baru. Sebagai contoh: apel Malang, apel Washington, semangka, pelumas, butir obat, roti, peluru, vitamin, bibit, dll.”

Menurut Sabir Laluhu, penggunaan sandi oleh para koruptor karena kesadaran dan niat mereka disertai kesepakatan dalam pertemuan sebelum sandi diperbincangkan dalam atau dengan saluran komunikasi.

Artinya, ada kesepahaman dan saling pengertian membuat pemaknaan di antara mereka menjadi mudah. Penggunaan sandi tergantung pada konteks seperti tempat, waktu, peristiwa, situasi, lingkungan, hubungan, budaya, dan pelaku. Penggunaan & pemaknaan sandi bergantung juga pada kesamaan makna atau serupa pesan yang diterima komunikan dari komunikator.

Saut Situmorang memaparkan beberapa poin yang diangkat dalam buku ini. Pertama, buku dapat dijadikan sebagai bahan studi yang sangat bagus karena menampilkan kasus-kasus yang sudah inkraf dengan berbagai macam sandi-sandi sebagaimana yang ditampilkan dalam buku ini. Mahasiswa dapat melakukan eksaminasi dan evaluasi terhadap putusan-putusan terhadap para koruptor.

Kedua, buku ini mau menampilkan bahwa KPK tidak seburuk seperti apa yang dipikirkan DPR. Buku ini tidak hanya menampilkan kerja KPK dalam bentuk penindakan tetapi juga pencegahan.

“KPK juga sangat membutuhkan kritik dan masukan dari banyak pihak termasuk kelompk masyarakat sipil. Akan sangat tidak signifikan kalau kerja KPK tidak memberikan efek kepada masyarakat sipil di setiap kalangan,” tegas Saut Situmorang.

Menurut Saut Situmorang, perilaku korupsi sudah menjadi kebiasaan di setiap lingkup kehidupan masyarakat. Korupsi tidak sekedar perilaku elit. Salah satu contoh konkrit adalah praktik suap dalam pembuatan SIM.

Oleh karena itu, perlu integritas diri kita masing-masing dalam segala tingkatan profesi dan tingkatan generasi. Jangan pernah berpikir orang yang berintegritas adalah orang yang tertinggal. Integritas tidak boleh luntur karena waktu.

“Integritas adalah daya saing yang membedakan kamu dari yang lain.”

Sementara menurut, Emerson Yuntho, buku ini mau menunjukan bahwa ada problem serius bahwa ada kasus-kasus yang belum dituntaskan atau diproses KPK.

“Tantangan KPK akan berlanjut di tahun 2018 dan 2019 karena bersamaan dengan moment politik. Bukan rahasia umum bahwa KPK tidak disukai sebagian para politisi karena keberadaan KPK turut membatasi ruang gerak mereka menyonsong tahun politik,” kata Emerson Yuntho.

Ia berpesan agar kita tetap menjaga agar KPK tetap ada. Kekuatan KPK ada di masyarakat sipil. Pencegahan juga menjadi penting dan perlu melibatkan semua kalangan.

Yunarto Wijaya mengistilahkan korupsi dengan pepatah ‘jauh di mata, dekat di hati’ karena korupsi secara sederhana bisa kita lihat dari berbagai aspek. Para pelaku juga terlalu merasa aman atau percaya diri dengan penggunaan sandi-sandi dalam komunikasi.

Selanjutnya, Innayah Wahid menegaskan, kita jangan seperti kodok yang dipanasin pelan-pelan. Korupsi hendaknya dikikis dengan meningkatkan budaya jujur.

“Buku ini juga menjadi pengingat yang sangat bagus bagi masyarakat awam bahwa banyak kasus yang sudah diselesaikan KPK, dan tidak lupa bahwa ada PR besar yang harus dikerjakan lembaga independen ini.”