Pelajar Terlibat Demo Ricuh, Perlunya Reorientasi Pendidikan yang Memerdekakan

oleh -
Demo pelajar ricuh. (Tribunnnews.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Aksi demonstrasi menuntut pencabutan Undang-undang Cipta Kerja pekan lalu berujung ricuh. Aksi anarkis tersebut juga melibatkan sejumlah pelajar.

Kadiv Humas Mabes Polri menyatakan, sebanyak 806 pelajar diamankan terkait demonstrasi itu.

Terkait dengan hal itu, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Stafsus Ketua DP BPIP) Antonius Benny Susetyo menyatakan sangat menyayangkan terjadinya demonstrasi yang mengakibatkan rusaknya banyak fasilitas.

Menurut Benny, keterlibatan para pelajar dalam aksi unjuk rasa yang berujung pada tindakan pengerusakan fasilitas publik adalah buah dari sistem pendidikan yang bermasalah.

“Kita gagal dalam pendidikan kritis untuk membangun karakter pendidikan, sehingga anak-anak akhinya menjadi objek dari eksploitasi. Anak-anak itu sebetulnya kurang memahami masalah dan realita tapi lebih digerakkan oleh emosi dan solidaritas,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (18/10).

Lebih lanjut, Benny menjelaskan, tindakan anarkis adalah pelanggaran terhadap hak publik yang mengakibatkan rasa aman dan damai terancam.

Benny yang juga rohaniwan Katolik itu berpendapat pelajar yang terdidik tak akan mungkin berbuat anarkis. “Jika hal itu ternyata terjadi, maka masalah yang sesungguhnya terjadi ada pada pendidikan yang mereka dapatkan,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menerangkan, anak-anak pelajar sangat mudah terprovokasi hingga melakukan vandalisme ketika sebuah peristiwa besar, seperti demonstrasi yang memancing emosi.

Namun, rohaniwan yang biasa disapa Romo Benny ini menegaskan sekaligus mengingatkan, agar aparat kepolisian tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menindak para pelajar.

Peristiwa vandalisme dari aksi unjuk rasa itu hingga penangkapan sejumlah pelajar STM dan SMK, menurut Benny, menjadi pekerjaan besar bagi Menteri Pendidikan untuk berani mengoreksi sistem pendidikan yang ada saat ini.

“Pendidikan seharusnya menghasilkan transformasi sosial yang dapat memperkuat karakter anak-anak dalam mengenal baik dan buruknya suatu perbuatan. Dampak besar pendidikan juga akan menghasilkan tumbuh kembangnya kesadaran umat dalam suatu bangsa,” ujarnya.

Benny, berpendapat yang terjadi adalah di setiap era para penguasa, pendidikan seperti kehilangan makna hakikinya. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untuk melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Dalam berbagai kebijakan pendidikan itu terselip berbagai macam proyek yang sering hanya berujung pangkal pada uang dan keuntungan penguasa, pemenangan ideologi, dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain.

“Sampai pencampuradukan antara kepentingan pemenangan agama yang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yang dituju,” ungkapnya.

Karena itu, pemerintah harus mencarikan solusi agar anak-anak sekolah mempunyai harapan terhadap masa depannya serta energi mereka diarahkan untuk menambah keterampilan, bukan untuk brutalisme. Kalau anak-anak itu mampu kreatif dan inovatif serta berpikir kritis maka mereka tidak akan mudah terjebak ke dalam vandalisme itu.

Ke depan, kata Benny, mereka yang terlibat dalam tindakan vandalisme harus ditangani dengan terapi khusus dalam pembinaan anak-anak. Salah satu upaya itu, kata Benny, anak-anak pelajar didorong serta diberi peran di publik atas bakat dan minat mereka masing-masing. Seiring dengan itu, bakat dan potensi mereka pun harus tetap dikembangkan.

Sistem pendidikan yang memerdekakan siswa, menurut Benny, adalah mampu menjadikan mereka menjadi diri sendiri dengan bergantung pada potensi yang dimiliki.

“Menggali potensi bakat dan minat yang mereka miliki adalah proses pendidikan yang memerdekakan dengan pengakuan kesuksesan, bukan hanya kemampuan akademis semata. Seseorang memiliki makna hidup ketika ia menjadi dirinya sendiri,” pungkas Benny. (Ryman)