SKB 11 Instansi Justru Dorong Kreativitas dan Daya Kritis ASN

oleh -
Emrus Sihombing

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikal – menurut hemat Emrus Sihombing bukan radikalisme-  ASN yang dikeluarkan oleh 11 instansi negara dengan 11 butir larangan, menuai pro dan kontra.

Direktur Eksekutif Lembaga EmruCorner Emrus Sihombing mengatakan,  bahwa sikap pro dan kontra itu adalah hal yang biasa. Terlepas dari yang pro, katanya, yang menarik dari aspek komunikasi yaitu mengapa muncul pandangan yang kontra.

“Sebab, sebelum dikeluarkan, sejatinya 11 instansi melakukan kajian bersama tentang pentingnya SKB berbasis pada data eperikal yang valid disertai dengan analisis mendalam dan holistik tentang kondisi objektif perilaku ASN terkait dengan kemungkinan dugaan perilaku komunikasi radikal,” ujarnya di Jakarta, Jumat (6/12).

Dia mengatakan, hasil kajian tersebut sebaiknya juga diwacanakan ke ruang publik lebih dahulu sebelum SKB dikeluarkan, sehingga masyarakat, utamanya PNS, turut  memberi pandangan, penilaian, tanggapan dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat sudah mempunyai pemahaman dan sikap terhadap 11 larangan sebelum diterbitkan SKB itu.

“Dengan memperbincangkan lebih dahulu di ruang publik, maka SKB ini benar-benar menjadi ‘produk’ dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan terutama bersama-sama masyarakat. Dengan demikian, sebagian aktor sosial yang berpotensi menjadi kontra bisa menyadari betapa urgennya SKB tersebut diterbitkan,” ujarnya.

Bisa saja memang selalu ada aktor sosial memposisikan diri atau organisasinya tetap memposisikan dirinya sepakat tidak sepakat apapun program atau keputusan pemerintah sekalipun itu untuk kesejahteraan masyarakat luas. Namun dengan terlebih dahulu mewacanakan ke ruang publik, maka terbentuk “imuninasi komunikasi” dari “virus komunikasi” yang dilontarkan oleh aktor sosial yang bersangkutan.

Namun menurut Emrus, pesan dan atau informasi tentang kebijakan serta program pemerintah yang disampaikan terkesan tiba-tiba hampir dipastikan berpotensi menimbulkan pemahaman dan sikap yang sangat “berwarna-warni” serta bisa jadi menimbulkan penolakan dengan berbagai lontaran kemasan pesan. Terhadap SKB ini, misalnya,  bisa saja aktor sosial tertentu, karena kepentingan politik tertentu, menilai sebagai penghambat kreativitas dan menjadi legalisasi menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal.

Padahal menurutnya, bila didalami makna yang tertera pada 11 poin yang ada di dalam SKB tersebut sangat bagus dan produktif. “Dari segi isi, saya belum menemukan narasi yang membatasi kreativitas ASN dalam melaksanakan tugasnya  serta tidak ada satu kata atau kalimat yang bisa menjadi legalisasi menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal. Artinya, dengan SKB ini, kreatifitas dan daya kritis dari seorang ASN yang terkait dengan tugas-tugasnya dipastikan tidak terhalang oleh SKB ini,” ujar dosen Universitas Pelita Harapan ini.

Contoh kreativitas ASN dalam melakasanakan tugasnya, sekalipun SKB ini diterbitkan, baru-baru ini Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah meluncurkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM), bahwa masyarakat bisa cetak sendiri KTP, KK, hingga Akta Kelahiran. Dengan hasil kreativitas ini, bisa menekan sekecil mungkin atau dapat meniadakan pungutan liar (pungli) yang terkait dengan pelayanan identitas kewarganegaan bagi seluruh anggota masyarakat yang datang ke ADM tersebut. “Inilah contoh kreativitas ASN yang profesional dan sekaligus melakukan fungsi pendidikan bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya,” ujarnya.

Dari sudut kritis, misalnya, dengan SKB ini justru setiap ASN dalam suatu instansi pemerintah menjadi lebih kritis. Menurut Emrus, misalnya, sesama anggota ASN dapat menilai secara kritis perilaku ASN yang lain membentuk kelompok eksklusif. Mereka yang homogen dari sudut kepercayaan tertentu yang militan membentuk in-group tersendiri. Sementara ASN yang lain, sebagai out-group mereka. Padahal, salah satu fungsi sosial ASN adalah perekat bangsa, menjungjung tinggi keberagaman, perilaku pluralis, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam bangunan rumah bersama bernama NKRI.

Bila terjadi in-group – out-group, dipastikan menimbulkan polarisasi di instansi pemerintah yang bersangkutan. Efek lanjutannya, jika suatu in-group yang “menguasai medan” kementerian, misalnya, anggota dari in-group itulah yang ditempatkan di posisi strategis dan jabatan “basah”. ASN yang lain tinggal gigit jari, hanya bisa pasrah melihat perilaku eksklusivitas dari sekelompok ASN tersebut.

Secara “hipotesis”, menurut Emrus, bisa saja perilaku eksklusivitas ini sedang terjadi di instansi pemerintah. Bisa juga belum atau tidak ada sama sekali. Atau, dengan SKB ini, boleh jadi kelompok eksklusif miltan sedang “mengistirahatkan” atau “membaurkan” diri kepada sosok pemimpin atau kelompok inklusif yang ada di kementerian untuk mengaburkan perilaku komunikasi radikal selama ini. Sebagai data awal, bisa saja dengan melihat jejak digital yang dimiliki selama ini. Tentu, ini baru “hipotesis”.

“Untuk itu, saya menyarankan kepada kementerian, misalnya Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan salah satu perguruan tinggi melakukan penelitian di Kementerian Dalam Negeri sendiri, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi untuk menguji ‘hipotesis’ tersebut,” pungkasnya. (Ryman)