Stanislaus Riyanta: Dinamika Politik Indonesia Celah Masuknya Teroris Bahrun Naim

oleh -
Stanislaus Riyanta pengamat terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

JAKARTAPolri kembali melakukan penangkapan terhadap 9 terduga anggota kelompok teroris secara serentak di berbagai wilayah di Indonesia, Selasa, (24/10/2017) kemarin.

Pengamat terorisme alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengatakan, penangkapan yang dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Riau tersebut menunjukkan bahwa sel-sel kelompok radikal masih kuat dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia.

Fakta menarik dalam kasus tersebut, kata Stanislaus, yaitu orang-orang yang ditangkap tersebut mempunyai hubungan kuat dengan Bahrun Naim, yang dibuktikan dengan adanya percakapan di grup media sosial yang sama dengan Bahrun Naim.

“Fakta ini menjadi penting mengingat Bahrun Naim yang berasal dari Indonesia ini merupakan salah satu orang yang berpengaruh di organsasi ISIS di Timur Tengah. Dengan kemampuan dan jaringan yang dimilik serta fakta bahwa ISIS sudah kalah di Timur Tengah dan Filipina, maka sangat kuat kemungkinan Bahrun Naim justru akan lebih fokus di Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (25/10/2017).

Mahasiswa doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi UI ini mengatakan, eksistensi kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak sudah menuju penghabisan. Gempuran pasukan multinasional berhasil membuat ISIS semakin tercerai berai bahkan diprediksi tinggal menunggu waktu yang tidak lama untuk menuju titik penghabisan.

Di Filipina, kelompok ISIS yang berhasil menguasai kota Marawi, mengalami nasib yang sama. Otoritas pemerintah Filipina telah mengumumkan bahwa  Kedua pimpinan ISIS di Marawi, Isnilon Hapilon dan Omarkhayam Maute tewas tertembak pasukan Filipina. Menyusul kabar bahwa tokoh ISIS dari Malaysia, Mahmud Ahmad, diberitakan tewas oleh militer Filipina.

“Meskipun kekuatan ISIS di Timur Tengah dan Asia Tenggara diketahui mulai melemah dan dikalahkan, hal ini bukan menjadi jaminan bahwa Indonesia akan bebas dari pengaruh dan aksi terorisme kelompok ISIS,” ujar Stanislaus.

Data yang dikeluarkan Mabes Polri (19/10/2017) menyebutkan bahwa sampai tahun 2017, ada 671 warga negara Indonesia (WNI) terlibat dengan kelompok teroris al-Dawla al-Islamiya al-Iraq wa al-Sham (Daesh) di Irak dan Suriah. Jumlah itu terdiri dari 524 orang laki-laki dan 147 orang perempuan. WNI simpatisan ISIS ini tergabung sebagai foreign terrorist fighters, atau FTF.

Data dari Mabes Polri menyebutkan bahwa umlah FTF yang masih hidup dan pernah terlibat dengan Daesh di Irak dan Suriah, sebanyak 343 orang serta anak-anak berjumlah 99 orang. Jumlah yang diketahui telah tewas di Irak dan Suriah sebanyak 97 orang. Mabes Polri juga menyebutkan bahwa FTF Indonesia yang belum diketahui identitasnya ada 132 orang, termasuk dua diantaranya adalah anak-anak.

Stanislaus mengatakan, fakta tersebut di atas patut menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Ratusan orang yang berada di Timur Tengah, terlepas hanya sebagai simpatisan atau FTF, harus diperhitungkan karena besar kemungkinan akan kembali ke Indonesia.

Filipina yang biasa menjadi tempat transit bagi simpatisan Indonesia yang pergi atau kembali dari Suriah, sudah melancarkan serangan secara gencar. Bahkan tokoh pemimpin ISIS yang berada di Marawi Filipina telah tewas oleh pasukan militer Filipina. Tidak menutup kemungkinan ada WNI yang ikut melakukan aksi di Marawi terdesak dan kembali ke Indonesia.

“Kekalahan ISIS di Timur Tengah memicu arus balik WNI simpatisan ISIS ke Indonesia. Meskipun tidak semua WNI simpatisan ISIS di Timur Tengah menjadi kombatan, namun tetap saja berbahaya karena idologi radikal mereka semakin kuat,” ujarnya.

Karena itu, Indonesia harus lebih waspada dengan kelompok radikal yang berafiliasi dengan Banrun Naim.

Berbagai dinamika politik yang akan dihadapi Indonesia ke depan, menurut Stanislaus, justru akan memperlebar celah-celah kerawanan sehingga menjadi pintu masuk bagi kelompok radikal untuk lebih mudah beraksi.

Isu-isu berbasiskan agama yang diusung kelompok konservatif berpotensi menjadi kendaraan bagi kelompok radikal untuk lebih eksis. Aktivitas politik yanng terpolarisasi oleh identitas agama juga menjadi momentum bagi kelompok radikal untuk beraksi lebih mudah.

Karena itu, masyarakat diminta untuk lebih waspada dan peka terhadap potensi ancaman dari kelompok radikal. Meskipun kelompok radikal menggunakan isu ideologi atau agama sebagai daya tarik, masyarakat harus tetap berhati-hati. “Dukungan terhadap aparat keamanan, penegak hukum, dan intelijen perlu diberikan agar ruang gerak kelompok radikal semakin habis dan Indonesia bisa bebas dari aksi terorisme. Tanpa kerja sama yang kuat antara masyarakat dan pemerintah usaha melawan radikalisme dan terorisme akan sulit dilakukan,” pungkasnya. (Very)