Fajar Riza Ul Haq: “Membela Islam, Membela Kemanusiaan”

oleh -
Fajar Riza Ul Haq (Kanan)

OLEH BENNY SABDO

“Ex pluribus unum” (berbeda-beda tetapi satu). Pepatah Latin dalam karya sastra Cicero ini menekankan adanya pengakuan terhadap realitas perbedaan dalam sebuah masyarakat. Hal ini diamini oleh Fajar Riza Ul Haq.

“Ex pluribus unum” (berbeda-beda tetapi satu). Pepatah Latin dalam karya sastra Cicero ini menekankan adanya pengakuan terhadap realitas perbedaan dalam sebuah masyarakat. Hal ini diamini oleh Fajar Riza Ul Haq.

Penulis buku bertajuk “Membela Islam, Membela Kemanusiaan” Fajar Riza mengungkapkan penerbitan bukunya tersebut berangkat dari keprihatinan istilah “Aksi Bela Islam” yang mendadak populer di panggung politik dan gerakan keagamaan kontemporer.

Istilah tersebut, kata Fajar, menjadi mantra ampuh untuk memobilisasi dukungan umat Islam dalam merespons isu-isu sosial dan politik aktual yang dianggap berkaitan dengan nasib dan kepentingan umat Islam. Padahal, menurut Fajar, pembelaan terhadap Islam hendaknya selaras dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang universal.

“Pembelaan terhadap agama Islam hendaklah berpijak pada kepentingan menjaga hak-hak umat Islam yang selaras dengan bangunan politik kebangsaan yang inklusif dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal,” ujarnya.

Fajar menuturkan, saat ini masyarakat tengah terseret oleh arus polarisasi yang tajam sehingga memerlukan kearifan semua pihak agar integrasi bangsa tidak tergerus. Dia berharap para elite politik dan tokoh agama tidak melontarkan pernyataan yang memicu sentimen sektarian maupun rasial.

“Semangat membela Islam di Republik ini menjadi bagian dari ruh membela Tanah Air, perekat solidaritas kebangsaan,” tuturnya.

Mempertentangkan komitmen keislaman dengan solidaritas kebangsaan bahkan kemanusiaan bukanlah jalan luhur yang telah disepakati para pendiri bangsa.

Buku karya Fajar ini telah dibedah di Auditorium Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta Pusat. Turut hadir Buya Syafii Maarif, Romo Franz Magnis-Suseno SJ, Pendeta Gomar Gultom, pengusaha, politisi, aktivis hingga tokoh lintas agama. Selain itu, juga dibedah di Omah Petroek Yogyakarta.

Omah Petroek merupakan rumah budaya yang menjadi tempat terbuka lintas seni, budaya, dan pikiran-pikiran baru. Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Romo Sindhunata SJ, Garin Nugroho, Sukardi Rinakit, Yudi Latief, Radhar Panca Dahana, dan puluhan budayawan.

Fajar adalah mantan Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture dan Humanity, sebuah lembaga yang ingin memperjuangkan dan melembagakan nilai-nilai Buya Syafii Maarif.

“Lembaga ini ingin menjadi kaki pemikiran Buya, khususnya tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Kami mengambil filosofi garam, bukan gincu. Islam yang kultural bukan Islam negara,” tegasnya.

Membela Kemanusiaan

Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah ini menuturkan tulisan-tulisan dalam buku tersebut memotret pergulatan masyarakat Muslim dengan isu-isu keagamaan, sosial, dan politik dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.

Tulisan-tulisan tersebut dibagi berdasarkan tujuh tema yang merupakan benang merah setiap tulisan, yaitu Api Islam: Pembebasan dan Kemanusiaan, Islam Sebagai Kritik Sosial, Tantangan Intoleransi dan Kekerasan, Melawan Sektarianisme dan Takfirisme, Ancaman Radikalisme dan Terorisme, Menjadi Islam Indonesia, dan Wajah Janus Globalisasi.

Ada kesatuan pesan yang mengikat makna buku ini yang merupakan pandangan fundamental, yaitu pembelaan seorang Muslim terhadap agamanya mutlak berorientasi pada pembelaan terhadap keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Prinsip dasarnya, demikian Fajar, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin (memancarkan rahmat bagi semesta). Perilaku pemeluknya seyogyanya mencerminkan sikap welas asih, memuliakan martabat manusia, tidak memaksakan kehendak, dan berjiwa besar menghargai perbedaan pandangan dan pilihan politik.

Dengan demikian, komitmen membela Islam akan sukar diterima jika sikapnya justru mengancam nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan.

“Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah menyebutkan hidup manusia harus berdasarkan tauhid, taat kepada Allah, dan bermasyarakat. Menegakkan dan menjungjung tinggi Islam dalam masyarakat merupakan kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan,” tukasnya.

Fajar menyampaikan klaim pembelaan terhadap Islam hendaklah berpijak pada kepentingan menjaga martabat dan hak-hak umat Islam yang selaras dengan dimensi kebangsaan inklusif sehingga bermuara pada sikap-sikap penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.

Nalar membela Islam adalah taat kepada Allah, memuliakan sesama, dan ihsan terhadap kemanusiaan, termasuk memerangi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang makin menggerus cita-cita pemuliaan manusia di abad ke-21 ini.

Ia mengkritik slogan “Aksi Membela Islam” bukanlah stempel apalagi monopoli kelompok tertentu. Semangat membela Islam akan kehilangan esensinya apabila mengarah pada takfirisme politik (menuduh kafir pihak yang berbeda pilihah politiknya) dan otoritarianisme keagamaan (mengklaim pemahaman keagamaan kelompoknyalah yang paling benar/otoritatif).

“Dari sejarah kita bercermin, persekutuan otoritarianisme pemahaman keagamaan dan takfirisme politik selalu melahirkan arus pendholiman, permusuhan, dan tindakan inkuisisi (mihnah) terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak sejalan,” tandasnya.

Dari Solo ke Jakarta

Pria kelahiran Sukabumi, 1 Februari 1979 ini mengaku bahwa latar belakang keluarganya adalah keluarga tradisional, lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika kecil, Fajar tidak mengenal NU maupun Muhammadiyah.

Tapi, ia pernah belajar di Pesantren Salafi milik NU di Sukabumi. Lalu, ia menempuh pendidikan dasar di SDN Cibunar 1 Kadudampit. Ia melanjutkan di MTs YASTI 1 Cisaat, dan MAKN Darussalam, Ciamis. Studi sarjananya ia sudahi di Fakultas Syariah, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 2002, serta Pondok Hajjah Nuriyah Shabran.

Alasan Fajar melanjutkan kuliah di UMS, karena tidak memiliki biaya. Ia tahu bahwa di UMS ada program beasiswa, maka ia mendaftar. “Jadi, alasannya sangat pragmatis, ingin kuliah dengan biaya murah,” timpalnya sambil tertawa.

Tatkala menjalani pendidikan di UMS, ia menjadi aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ia pernah menjadi Ketua IMM Cabang Solo. Setelah lulus dari UMS, ia bekerja di Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS. Sembari bekerja, pada 2004 ia melanjutkan studi di Program Pascasarjana Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Saat itu, ia harus berangkat pukul lima pagi dari Solo menuju Yogyakarta. Ia mengikuti kuliah dari pagi sampai pukul 15.00. Setelah itu, ia pulang ke Solo untuk bekerja hingga pukul 22.00. Aktivitas seperti ini, ia jalani selama Senin-Jumat.

“Meski capek, saya tetap senang,” ungkapnya. Dan, akhirnya ia dapat menyelesaikan masternya pada 2006, dengan tesis “Agama dan Lintas Budaya”.

Pada 2006 Fajar mendapat tawaran kerja di MAARIF Institute. Ia tertarik dengan tawaran ini. Namun, sang istri tidak setuju dengan pilihannya. Lebih lagi, kalau ia membawa istrinya ke Jakarta, maka tidak cukup secara ekonomi.

“Jujur saja, gaji yang saya terima di Solo jauh lebih memadai daripada di Jakarta. Tapi hidup ini butuh lompatan, orang harus sakit dulu kalau mau melakukan lompatan hidup,” tegasnya. Saat itu, ia berpikir kalau tidak mengambil kesempatan ini, maka itu akan lewat dan mungkin tak terulang lagi.

“Saya percaya ini adalah bagian dari awal untuk melompat,” katanya.Setelah bernegosiasi dengan sang istri, akhirnya sang istri mendukung. Tapi dengan syarat, ia harus pulang ke Solo dua minggu sekali. “Padahal, saat itu saya baru nikah dua bulan.

Akhirnya, pada Februari 2006, saya secara resmi bergabung dengan MAARIF Institute sebagai Direktur Program,” katanya. Dan, pada Desember 2010, Fajar didaulat sebagai Direktur Eksekutif MAARIF Institute.

Tokoh Muda Pluralis

Selama kepemimpinannya di MAARIF Institute, Fajar melawan radikalisme dan kekerasan di kalangan generasi muda. Ia bersama tim membuat modul tentang toleransi, inklusivitas, dan anti kekerasan. Tujuannya supaya terjadi perubahan paradigma pada guru agama dan pendidikan kewarganegaraan.

Hal ini sudah disosialisasikan di seluruh SMAN di empat kota, yaitu Yogyakarta, Solo, Cianjur, dan Pandeglang. Ia juga melakukan kerjasama lintas agama. Misalnya, dengan Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Hal ini sudah dimulai sejak 2007. Kerjasama ini meliputi bidang keadilan ekonomi, politik, dan advokasi publik. Dan, MAARIF Institute menjadi sekretariat pengaduan nasional bagi gerakan ini. Bagi Fajar, agama harus menjadi inspirasi bagi manusia.

“Ini bukan gerakan politik partisan, tapi politik nilai. Ini adalah suara kenabian yang harus disuarakan. Nabi rakyat bukan nabi istana. Kami menyuarakan nurani rakyat,” tegasnya.

Pada 2011 ia juga melakukan kampanye dengan film. Ia menjadi produser film “Mata Tertutup” untuk kampanye anti kekerasan di kalangan generasi muda Indonesia.

Film yang disutradarai Garin Nugroho ini mengangkat pentingnya nilai-nilai toleransi. Mengapa harus film? Menurut Fajar, generasi muda lebih dekat dengan media audio visual. Salah satu program MAARIF Institute, yaitu MAARIF Award.

Menurut Fajar, MAARIF Award memiliki misi untuk mengangkat model kepemimpinan lokal yang luput dari media. Sasarannya adalah tokoh-tokoh lokal yang menerjemahkan toleransi, demokrasi, pluralisme dalam kehidupan berbangsa.

Fajar mengungkapkan bahwa penghargaan ini kalau dilihat secara finansial tidak banyak, tetapi yang mau diangkat adalah nilainya. Pemimpin harus memberi manfaat bagi komunitasnya dengan nilai-nilai pluralisme.

Semakin ia diterima banyak kalangan, semakin diakui kredibilitasnya. Ia harus berani meninggalkan embel-embel jabatannya. MAARIF Award dimulai sejak 2007. Tapi, pada 2009 dibatalkan, karena tidak ada calon yang layak.

“Kami tidak mau penghargaan ini jadi ritual. Kalau memang tidak ada ya tidak usah dipaksakan,” katanya. Sejak 2010 disepakati bahwa penghargaan ini diadakan dua tahun sekali supaya ada cukup waktu untuk mengamati secara lebih luas.

Terobosan Fajar mengkritik, Muhammadiyah saat ini masih konservatif dan anti perubahan. Maka MAARIF Institute ingin mendobrak hal ini. Masih ada harapan untuk perubahan. Ia juga memperluas pergaulan dan jaringan dengan berbagai pihak.

“Visi yang kami bangun harus mempunyai kaki dan memberi manfaat bagi masyarakat, baik secara sosial maupun kultural,” tuturnya.

Sikap Fajar, MAARIF Institute menempatkan dirinya sebagai salah satu lahan penyemaian generasi muda. Lembaga ini adalah salah satu simpul pengembangan sumber daya generasi muda yang memiliki komitmen terhadap terwujudnya Indonesia sebagai taman sari kemajemukan yang berkeadilan.

“Lembaga ini dihidupkan dengan etos kerja untuk aktualisasi dan pengembangan potensi anak-anak muda yang peduli dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan,” pungkasnya.

Biodata

Lahir : Sukabumi, 1 Februari 1979

Istri : Nurul Mazidah

Anak : Shabira Ardhina Pinandita dan Rakean Narada Shakyamuni

Pengalaman Kerja

  • Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, 2015-2020
  • Direktur Eksekutif  di MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2009-2014
  • Produser film “Mata Tertutup” untuk kampanye anti kekerasan di kalangan generasi muda Indonesia, 2011
  • Anggota Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, 2010-2015
  • Wakil Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah, 2009-2010
  • Direktur Program di MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2006-2009

Pendidikan:

  • Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2004-2006
  • Sarjana dari Fakultas Syariah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1998-2002
  • International Visitor Leadership Program, Pemerintah Amerika Serikat, 2011
  • Pelatihan manajemen kepemimpinan di Sloan School, MIT, Boston, 2011
  • Mengikuti Chevening Fellowship di Universitas Birmingham, Inggris, 2009
  • Fasilitasi Mediasi Konflik di Folke Bernadotte Academy, Swedia, 2007
  • New Generation Seminar, East-West Center, Hawai’i, 2007
  • Pertukaran Pemimpin Muda Muslim Indonesia-Australia, 2005.

 

Penulis adalah Dewan Redaksi Jendela Nasional