Ada Korelasi Antara Putus Sekolah dan Tingginya Perkawinan Anak

oleh -
Stop perkawinan anak. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Institut KAPAL Perempuan sebagai bagian dari masyarakat sipil dan gerakan perempuan menyerukan kepada semua pihak untuk mencegah perkawinan anak sebagai tindakan strategis dalam mengatasi hambatan dalam pemenuhan hak atas pendidikan.

Komitmen Presiden Republik Indonesia yang secara khusus disampaikan pada tanggal 20 April 2018 membutuhkan langkah konkrit terutama melalui revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 atau dengan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang untuk menaikkan usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 atau sama dengan laki-laki yaitu 21 tahun.

“Ini sejalan dengan keputusan atas gugatan No.22/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa usia perkawinan anak perempuan yang dibedakan dengan anak laki-laki bertentangan dengan HAM dan memerintahkan pembentuk UU untuk segera melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan dalam jangka waktu 3 tahun,” ujar Direktur Institut KAPAL Perempuan, Misiyah, melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, belum lama.

Sejalan dengan arah pembangunan khususnya pencapaian pendidikan, sudah saatnya Indonesia keluar dari masalah perkawinan anak yang saat ini menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia. Data Badan Pusat Statistik Indonesia juga mencatat sebesar 25,71% anak-anak dikawinkan di usia sebelum 18 tahun dan sebagian besar adalah anak perempuan.

Dalam Indeks Gender SDGs EM2030 tahun 2018, diperkirakan 14 persen anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, dengan lebih dari 50.000 anak perempuan di bawah umur 15 menikah setiap tahunnya.

Misiyah mengatakan, analisis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) Kedeputian Tumbuh Kembang Anak menunjukkan adanya korelasi antara angka putus sekolah dan perkawinan anak.

“Di wilayah-wilayah yang tingkat perkawinan anak tinggi, terjadi angka putus sekolah juga tinggi ini tampak dalam data perkawinan di bawah usia 18 tahun mengakibatkan 10 % tidak lulus SD, 40% hanya tamat SD, 41 % hanya tamat SMP dan SMA,” ujarnya.

Penelitian Institut KAPAL Perempuan bersama KPP-PA menunjukkan bahwa perkawinan anak menyebabkan kemiskinan sebagai rangkaian dari masalah putus sekolah sehingga tidak dapat mengakses pekerjaan yang layak. Perkawinan anak banyak terjadi pada perempuan, dilakukan secara turun temurun dengan alasan yang sama. Anak perempuan dianggap tidak perlu sekolah karena perempuan pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga dan bukan pencari nafkah utama.

“Hingga saat ini, anggapan ini masih diterapkan oleh para orang tua bahkan diperkuat oleh kalangan yang selama ini ditokohkan namun justru menggunakan norma-norma konservatif,” ujar Deputy Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami.

Menyikapi situasi diatas terutama dalam rangka mewujudkan pendidikan yang adil untuk semua, pencapaian SDGs dan mewujudkan generasi emas 2045, KAPAL Perempuan mendesak kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera memberikan kepastian hukum yang adil dengan menaikkan usia perkawinan perempuan minimal menjadi 18 tahun melalui merevisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

Selain itu, KAPAL Perempuan juga mendesak Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan untuk memastikan semua kementerian yang ada dalam koordinasinya merealisasikan komitmennya dalam melakukan pencegahan dan penghentian perkawinan anak.

KAPAL Perempuan juga menyerukan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk mengawal dan memastikan terbitnya kebijakan nasional untuk pencegahan dan penghentian perkawinan anak dalam bentuk revisi Undang-Undang Perkawinan atau Penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Menyerukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menempatkan masalah perkawinan anak sebagai masalah prioritas dalam mengatasi hambatan pencapaian wajib belajar 12 tahun,” ujar Misiyah.

“Kepada masyarakat, organisasi perempuan, organisasi pro-demokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, media dan semua pihak untuk mendukung upaya-upaya penyadaran, pendidikan publik dan advokasi kebijakan untuk menaikkan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun,” pungkasnya. (Ryman)