Pulau Rempang yang Serampangan, Perspektif Pembangunan dan Hak Asasi Manusia

oleh -
Demonstrasi oleh warga Pulau Rempang. (Foto: Antara)

Oleh: Cornelius Corniado Ginting, S.H*)

JENDELANASIONAL.ID – Hampir 2 pekan berlalu, konflik yang terjadi di Pulau Rempang menjadi perbincangan sengit di dunia maya di seluruh tanah air pasca suksesnya Indonesia sebagai tuan rumah sekaligus keketuan KTT ASEAN 2023. Kericuhan antara aparat kepolisian dan warga setempat telah menciptakan suhu yang sangat tegang di kawasan tersebut, dan banyak masyarakat yang penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Salah satu pertanyaan utama yang mengemuka di kalangan masyarakat adalah mengenai kepemilikan Pulau Rempang dan apa yang menyebabkan konflik lahan ini terjadi.

Kejadian ini bermula pada hari Kamis, 7 September, ketika pihak berwajib datang ke lokasi untuk melakukan pembersihan dan pengosongan lahan. Namun, lokasi tersebut ternyata dihuni oleh sejumlah warga yang telah tinggal di sana dalam waktu yang cukup lama.

Konflik pun tidak terhindarkan, dan perselisihan terjadi antara pihak berwajib dan masyarakat yang tinggal di lokasi yang akan dikosongkan tersebut. Sayangnya, insiden ini juga dilaporkan telah menimbulkan korban jiwa.

Pulau Rempang sebenarnya adalah milik Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Menurut berbagai sumber, rencananya pada tahun 2014, pulau ini akan dimasuki oleh investor setelah izinnya dikeluarkan pada tahun 2001.

Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terancam digusur buntut rencana pengembangan kawasan Rempang Eco City. Pasalnya, proyek ini dibangun di atas dua Kelurahan Pulau Rempang, Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate. Pembangunan Rempang Eco City juga menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Angka ini merujuk Laporan Tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang diterbitkan pada Oktober 2022.

Dalam laporan itu disebutkan pula tercatat 15 titik pengajuan hak pengelolaan lahan (HPL) yang diajukan kepada Kantor Pertanahan Kota Batam. Adapun Luas area 15 titik HPL yang diajukan tersebut yaitu 6.115.450 m² atau seluas 611,5 Ha. Sedangkan hasil ukur yang disetujui seluas 5.675.602 m² atau seluas 567,5 Ha.

Penggusuran ini berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Dirangkum dari Antara, pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke China pada akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal China, Xin Yi International Investment Limited.

Sebelumnya, kawasan ini dijadikan proyek strategis nasional yang telah ditetapkan pada akhir Agustus 2023. Ketentuan ini tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Pengembangan kawasan Eco City tersebut digarap melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Pembangunan itu hendak menjadikan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, manufaktur, logistik, kawasan pariwisata terintegrasi guna meningkatkan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.

BP Batam memperkirakan investasi pengembengan Pulau Rempang mencapai Rp.381 Triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekita Rp 174 Triliun. Hal ini berdampak pada pertumbuhan perekonomian setempat dan dapat meningkatkan kesejehateraan warga.

Living of Law

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius Van Vollenhoven. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Pernyataan tersebut jelas menggambarkan bahwa ada sebagian masyarakat yang hidup sudah berpuluh tahun dan mendiami tempat atau kawasan tersebut tidak terkecuali masyarakat adat Pulau Rempang yang merupakan masyarakat asli keturunan suku Melayu Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat sejak 1834. Kebanyakan dari mereka merupakan suku asli Melayu yang mendiami Pulau Rempang dan Kampung Tua Galang. Komunitas suku Melayu adalah salah satu entitas bangsa termasuk dalam hubungan bangsa dan suku bangsa. Bangsa tidaklah muncul secara spontan tanpa suku bangsa yaitu unsur tradisi kampung tua.

Pasca kerusuhan yang terjadi antara warga dan aparat, seluruh tokoh dan orang yang dituakan di Pulau Rempang berkumpul dan membentuk suatu wadah untuk menyuarakan aspriasi mereka tidak terkecuali Kerabat Masyarakat Adat Lokal (KERAMAT) Pulau Rempang. Mereka mengatakan akan “mempertahankan martabat” desanya apapun yang dilakukan pemerintah.

Masyarakat 16 desa tua justru menyerahkan perjuangan mereka sendiri untuk mempertahankannya agar tidak direlokasi, bahkan ada yang mengatakan “Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami ikhlas, karena itu akan menjadi catatan sejarah bagi kami orang Melayu yang berada di Pulau Rempang”.

Pernyataan tersebut menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk mengingat biasanya perlawanan masyarakat secara kolektif muncul karena ada ketidakadilan dan posisi tawar masyarakat yang tidak kuat, apalagi menghadapi para pelaku fungsional pengendali perusahaan dari negara lain. Pemerintah perlu memerhatikan prinsip keadilan antar generasi pada saat mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan hak lahan masyarakat suku asli. Bahkan pemerintah juga diharapkan dapat melakukan pengukuhan kembali batas hak masyarakat adat asli, agar jangan sampai ada lagi pengabaian negara kepada hak masyarakat terutama lahan masyarakat adat.

Negara Hadir untuk Berdialog

Terjadinya konflik antara kepolisian dengan masyarakat adat kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang Kepulauan Riau, menambah catatan serius pemerintah dalam memetakan pembangunan khususnya Proyek Startegis Nasional (PSN).

Konflik terjadi mengakibatkan 43 orang harus ditahan akibat kerusuhan yang terjadi antara warga dan aparat, bahkan kerusuhan terjadi pihak aparat menyiramkan air dan menembakkan gas air mata. Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, yaitu SMP 33 Galang dan SD 24 Galang, tidak sedikit siswa siswi menjadi terkena dampakanya karena gas air mata yang dilakukan pihak aparat. Ini menjadi hal serius pemerintah yang tidak peduli dan acuh pada komunitas sosial dan pendidikan masyarakat rempang.

Pemerintah menganggap segala urusan pembangunan yang berorentasi kepada ekonomi dan dalil kesejahteran sosial, abai melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Instrumen negara yang seharusnya hadir memberikan rasa aman menjadi kecaman warga khususnya masyarakat Pulau Rempang.

Pemerintah tidak mampu memberikan pendekatan secara kultur sosial yang mengedepankan prinsip hak asasi manusia. Malah pendekatan dilakukan bersifatat hierarki dan struktural yang lebih memihak investor yang selalu memanjakan untuk melakukan investasi dan menanamkan modalnya sebagai tolak ukur pembangunan. Apalagi pembangunan kawasan Rempang dapat mengilangkan masyarakat adat suku Melayu yang sudah tinggal lama di Pulau Rempang. Padahal, mereka seharusnya diajak untuk berdialog dan memberikan tawaran serta relokasi yang pantas agar dapat membuat kelangsungan hidup mereka terjamin.

Pemerintah dengan berbagai kebijakan dan instrumen yang dimiliki seharusnya mampu dan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut secara cepat dan konkrit, jangan sampai permasalahan tersebut menjadi berlalut-lalut bahkan dapat menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan. Prinsip hak asasi manusia dan pendekatan sosial kultur menjadi penting untuk segera diselesaikan.

Para tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah setempat harus bisa memberikan solusi yang baik agar para warga Rempang dapat kembali menjalani aktitivitas normal dan dapat diberikan literasi education akan pembangunan yang mengdepakan prinsip hidup mereka dan tidak menghilangkan adat dan tata cara budaya mereka.

*) Cornelius Corniado Ginting, S.H, Anggota Presidium Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP ISKA /Founder Center of Economic and Law Studies Indonesia Society ( CELSIS).