Suara Rakyat ≠ Suara Tuhan, Komoditas Politik Dalam Perebutan Kekuasaan

oleh -

Oleh: Ferlansius Pangalila, SH, MH

Barangkali pemahaman agak sesat atau memang sengaja menggunakan istilah-istilah yang terdengar enak tapi tidak cocok dalam konteksnya. Seperti menggunakan istilah “Vox Populi Vox Dei” dalam praktek demokrasi negara Indonesia saat ini. Istilah ini dari bahasa Latin yang diartikan secara harafiah sebagai “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.” Membenarkan istilah ini dalam konteks politik apalagi dalam praktek demokrasi saat ini, seakan menerima cara berpikir yang sesat dan dalam waktu bersamaan melecehkan suara rakyat sekaligus suara Tuhan.

“Vox Populi Vox Dei” adalah semboyan hukum yang digunakan dalam sistem hukum anglo saxon, dimana suara juri diyakini oleh Hakim sebagai suara Tuhan, karena Juri mewakili berbagai kelompok masyarakat/rakyat. Sebaliknya hakim mengingatkan para Juri untuk mengambil keputusan sebijaksana mungkin karena menyangkut “bersalah” atau “tidak bersalah” seseorang yang diperhadapkan di pengadilan, oleh karenanya suara juri (yang adalah keterwakilan masyarakat/rakyat) adalah suara Tuhan. Ini dalam konteks Hukum bukan Politik.

Sementara di dalam praktek politik, adakah yang bisa menjamin bahwa benar suara rakyat adalah suara Tuhan? Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, apa artinya demokrasi jika kedaulatan rakyat dimaksudkan sebagai kedaulatan tuhan? Mestinya dalam Pemilihan Umum, Pilihan yang benar adalah pilihan yang rasional dalam arti siapapun yang dipilih oleh rakyat itu karena pertimbangan yang matang dari akal budi yang sehat dan hati nurani yang tulus. Pastinya pilihan tersebut tidak didasarkan pada wahyu, wangsit, ataupun ilham ilahi.

Konstitusi kita menyatakan dengan jelas bahwa Kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian sungguh keliru jika pemilihan umum yang merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya baik di legislatif maupun di eksekutif adalah pilihan Tuhan. Oleh karena itu perlu dikritisi lebih serius soal sistem demokrasi ataukah theokrasi di Negara Indonesia ini?

Pemilihan umum merupakan medan perebutan kekuasaan secara legal bukan spiritual. Oleh karena itu sama sekali tak ada hubungannya dengan keberadaan Suara Tuhan. Tidak ada pengadilan tuhan apabila terjadi kecurangan dalam pemilu seperti manipulasi suara. Yang ada hanyalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia apabila terjadi perselisihan hasil pemilihan umum karena adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif.

Manipulasi suara dalam pemilu sering terjadi karena politik transaksi menjadi jalan gampang bagi para calon untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Money politic seakan menjadi fenomena buruk yang selalu membayangi setiap perhelatan pemilu. Seringkali pemilih tidak malu-malu menawarkan suaranya untuk dibeli oleh para calon atau tim suksesnya, dengan harga yang bervariasi. Pemilu seakan menjadi kesempatan atau musiman panen rupiah oleh para pemilih dengan berbagai alasan.

Suara menjadi barang komoditas politik dalam perebutan kekuasaan. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri apabila melihat demokrasi itu sendiri. Pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif terbentuk melalui Pemilu. Pemilu tidak lain dari mengumpulkan suara pemilih yang kemudian suara tersebut dikonversi ke dalam perolehan jumlah kursi. Oleh karena suara ini yang menjadi rebutan para politikus, maka tidak sedikit yang akhirnya menempuh cara-cara yang tidak legal antara lain melalui politik transaksional/ money politic. Tentunya tidak sedikit calon yang terpilih karena politik transaksional seperti ini. Lantas, bagaimana keabsahan suara rakyat adalah suara tuhan apabila calon terpilih hanya karena money politic?

Pasca reformasi, pemilu makin hari makin demokratis, menghasilkan para calon terpilih karena meraup suara mayoritas. Tetapi pemilu yang demokratis ini juga menghasilkan tidak sedikit legislator, gubernur, bupati dan walikota yang terjerat berbagai kasus antara lain yang paling banyak adalah korupsi. Jika dalam pesta demokrasi ini suara rakyat adalah suara tuhan, maka pejabat-pejabat tersebut mestinya pilihan tuhan. Bagaimana bisa hanya beberapa waktu saja pilihan Tuhan ini ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan selanjutnya divonis bersalah oleh pengadilan.

Dengan demikian “Vox Populi Vox Dei” atau Suara Rakyat adalah Suara Tuhan tidak tepat atau setidaknya belum cocok dalam suasana Demokrasi yang sementara berjalan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Justru yang perlu ditingkatkan saat ini adalah kesadaran pemilih bahwa betapa berharganya suara kita, dan tidak dengan mudah menjualnya. Hendaknya pemilih memilih calon yang ada karena calon tersebut memiliki kecerdasan politik dan integritas yang baik.

Ada ungkapan yang lebih enak dan konstitusional yakni “Salus populi suprema lex”, Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum yang Tertinggi, oleh karena itu hendaknya Pemilu bertujuan untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Prov./Kab./Kota dan bahkan memilih Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota, bersama wakilnya masing-masing, benar-benar memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

 

Penulis Sekretaris DPC Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Tomohon, Sulawesi Utara