Belajar Kearifan Lokal dalam Penanganan COVID-19 dari NTT

oleh -
Para narasumber diskusi FOKUS (Forum Diskusi) ISKA kedua dengan tema, “Kearifan Lokal dalam Pandemi Covid-19” pada Jumat (17/7). (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan satu dari 34 provinsi yang harus berurusan dengan pandemi Virus Corona yang merebak di Indonesia sejak Maret 2020 lalu. Pada awalnya, Provinsi NTT termasuk aman karena belum tertular virus yang menakutkan itu. Virus Corona ini masuk ke NTT setelah provinsi lainnya mulai menanjak naik.

Hal tersebut, menurut Kabiro Humas dan Protokol Provinsi Nusa Tenggara Timur, Marius Ardu Jelamu, karena Gubernur Provinsi NTT, Viktor Laiskodat melarang aparat pemerintahan untuk melakukan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa, khususnya Jakarta.

“Kedua, pada saat bersamaan gubernur juga menggelar rapat bersama Forkompimda, para bupati seluruh NTT, termasuk Wali Kota Kupang. Waktu itu, hal unik yang dilakukan oleh Pemprov NTT yaitu mulai menutup bandara, dan pelabuhan. Hal itu walaupun kontroversial dan debatable, tapi sangat tepat dilakukan,” ujar Marius dalam diskusi bertema “Kearifan Lokal dalam Pandemi Covid-19” pada Jumat  (17/7). Diskusi ini merupakan kali kedua yang diselenggarakan oleh FOKUS (Forum Diskusi) Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).

Kabiro Humas dan Protokol Provinsi Nusa Tenggara Timur, Marius Ardu Jelamu. (Foto: JN)

Diskusi juga menghadirkan Prof. Melani Budianta, Ph.D, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dengan moderator Yulius Denny P. Hadir juga Ketua Presidium ISKA Pusat Hargo Mandirahardjo bersama para pengurus DPP maupun anggota ISKA di seluruh tanah air.

Upaya yang dilakukan Gubernur Laiskodat itu terbukti benar. Hal itu terlihat dari angka terpapar kasus Covid-19 di NTT yang terbilang rendah. Per Jumat (17/7) malam ada 131 orang yang positif Covid, dengan 103 pasien sembuh, 27 pasien di rumah sakit, dan 1 orang meninggal. Marius mengatakan pasien yang ada di rumah sakit tersebut dalam kondisi stabil.

“Karena itulah Gugus Tugas Nasional memilih Provinsi NTT sebagai contoh dalam pengendalian virus Corona di Indonesia,” ujar Marius.

Marius mengatakan sesungguhnya ada berbagai jenis kearifan lokal yang ada di NTT dalam penanganan pandemi ini. Misalnya, masyarakat desa, RT, langsung menutup wilayahnya terhadap pergerakan keluar-masuk penduduk. Bahkan, katanya, orang enggan keluar wilayah desa, RT, karena langsung dilakukan pemeriksaan di wilayah perbatasan. Antara kabupaten juga dilakukan pembatasan ketat. “Karena itu masyarakat tidak melakukan perjalanan karena ada pembatasan di kabupaten, kecamatan atau desa. Bahkan warga yang melanggar dikenakan sanksi push-up,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK) ini.

Masyarakat juga merasa was-was terhadap penyebaran pandemi tersebut. Karena itu, ketika Corona masuk NTT, masyarakat secara spontan menjaga arus lalu lintas orang di masing-masing wilayahnya.

Selain itu, masyarakat juga mengkonsumsi sayur-sayuran bergizi tinggi, seperti daun Kelor. Daun ini menurut sejumlah penelitian memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, dan berkali-kali lipat kandungan gizi dari aneka sayuran dan buah-buahan.

Selain itu, Gugus Tugas Provinsi juga terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui radio, maupun media lokal setempat akan pentingnya mencuci tangan, menjaga jarak, atau menggunakan masker.

“Khusus untuk NTT, ketaatan dari masyarakat kita itulah yang bisa mengendalikan virus Corona di sana. Mereka sangat patuh pada protokol kesehatan. Tentu juga hal itu karena kami sering melakan sosialisasi pada masyarakat bahwa virus Corona itu sangat berbahaya,” ujar Ketua DPD ISKA Nusa Tenggara Timur ini.

Prof. Melani Budianta, Ph.D, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. (Foto: JN)

Marius mengatakan, dari data menunjukkan bahwa kasus virus Corona di NTT adalah impoted case, yaitu yang berasal dari para pekerja migran.

“Jadi, kami bersyukur karena bisa mengendalikan virus ini. Karena itu kami juga mengedukasi bahwa suka atau tidak suka, mau tidak mau, virus ini akan menjadi bagian dari kehidupan kita. Apalagi setelah ada pernyataan dari WHO bahwa virus Corona ini tidak akan hilang,” ujarnya.

Marius mengingatkan bahwa virus Corona sejatinya bukan merupakan penyakit yang paling menakutkan untuk warga NTT. Karena masih ada demam berdarah dengan angka kematian per tahun yang tinggi, yaitu mencapai 50 orang.

“Bandingkan dengan virus Corona dengan kasus kematian sebanyak 1 orang. Namun justru karena pemberitaan yang massif, maka orang menjadi takut. Padahal, justru deman berdarah yang jauh lebih menakutkan,” ujar putera asal Manggarai ini.

Hal lain yang penting diperhatikan dalam masa kebiasaan normal baru ini, kata Marius, yakni terkait pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Hal itu terjadi karena dibukanya kembali kegiatan atau aktivitas warga. Untuk itu, katanya, Gugus Tugas Provinsi NTT mengingatkan masyarakat agar senantiasa mematuhi protokol kesehatan.

“Justru secara nasional akhir-akhir ini jumlah kasus terpapar Covid makin tinggi. Karena itu, di masa kebiasaan normal baru ini justru kewaspadaan harus berlipat-lipat. Karena sebelumnya, kita tinggal di rumah, sedangkan sekarang ini justru kita sibuk beraktivitas di luar rumah. Jadi kebijakannya harus sangat serius,” ujarnya.

Yang juga tidak boleh dipandang remeh yaitu adanya edukasi yang dilakukan oleh para tokoh agama. Para tokoh agama itu giat memberikan penyadaran kepada masyarakat. Masyarakat NTT adalah masyarakat agamis, yang memandang semua peristiwa hidup tak terlepas dari campur tangan Tuhan. Karena itu, selain waspada, masyarakat NTT juga pasrah pada penyelenggaraan Tuhan. “Namun masyarakat NTT terus menyesuaikan diri dengan protokol kesehatan yang berlaku. Inilah yang membuat mereka waspada dan tetap menjaga diri dan sesama,” ujarnya.

Sementara itu Prof Melani banyak menyoroti pentingnya menjaga kearifan lokal dan kreativitas komunitas dalam pandemi ini. Dia mengatakan bahwa energi kreatif masyarakat sangat penting untuk menjaga ketahanan budaya.

moderator Yulius Denny P. (Foto: JN)

Masyarkat Indonesia, katanya, telah mengalami sejarah krisis dan bencana alam dan buatan manusia dari abad ke abad. “Karena itu, dibutuhkan ketahanan sosial budaya, yaitu bagaimana merespons krisis dan bencana tersebut secara kreatif melalui berbagai kesenian, dan media seperti humor, hiburan, penyaluran ekspresi, advokasi, berbagi pengetahuan dan kearifan,” ujarnya.

Untuk menahan pandemi, katanya, sangat dibutuhkan membangun ketangguhan dalam sebuah komunitas. Untuk membangun ketangguhan tersebut yang dibutuhkan adalah pertama, penguatan sistem sosial. Kedua, penguatan sistem nilai atau tradisi. Ketiga, penguatan sistem pengetahuan lokal. Kempat, perubahan perilaku atau habitus.

Melani juga menekankan pentingnya menjaga ketahanan pangan melalui pengembangan konsep lumbung. Namun, lumbung tersebut, katanya, bukan hanya terdiri dari lumbung pangan, tetapi juga lumbung budaya, dan lumbung pengetahuan.

Ketergantungan masyarakat Jawa termasuk NTT pada dunia global sangat besar. Karena itu, mulai dari sekarang, kita harus mengurangi ketergantungan dengan memproduksi makanan secara lokal.

Di era pandemi ini, kata Prof Melani, kita harus mulai membangun kekuatan mulai dari rumah. “Kita mulai membangun berbagai macam kearifan mulai dari rumah. Keluarga harus membuat hidup kita sejahtera dalam kebersamaan,” ujarnya. (Ryman)