Dunia Menantikan Vaksin

oleh -
Dr. Fidelis I. Diponegoro, S.Si., M.M. , adalah Koordinator Wilayah Jawa DPP ISKA. (Foto: Ist)

Oleh: Fidelis I. Diponegoro*)

JENDELANASIONAL.ID — Gara-gara ulah Corona, “worry” mendominasi segenap sudut bumi. Mayoritas isi pikiran manusia tertuju padanya. Pemerintah, petugas dan relawan semua berjuang mencari solusi. Orang-orang mencari informasi bagaimana cara memproteksi diri. Aktivitas masyarakat terhenti, jalanan sepi. Di sisi lain terjadi anomali pada perilaku konsumsi yang sulit dijelaskan oleh teori. Pengusaha konveksi beralih fokus memproduksi alat pelindung diri. Masker, hand sanityzer, desinfectan, sarung tangan dan sejenisnya mendadak laku keras. Khawatir ternyata mendobrak, tak sekedar mempengaruhi perilaku manusia.

Konon khawatir itu tidak berguna. Orang khawatir dianggap kurang berserah pada Tuhan. Namun, Borkovec (2002) dan Fidelis (2006, dalam Worry Marketing) menjelaskan bahwa kekhawatiran itu sebetulnya bermanfaat jika memenuhi dua syarat, yaitu (1) tertuju pada bahaya tertentu dan (2) tidak terus-menerus dan menjadi kecemasan. Orang cemas cenderung berperilaku tak terukur. Sedangkan kecemasan dosis rendah atau kekhawatiran yang tertuju pada bahaya tertentu akan menghasilkan resolusi berupa tindakan antisipatif.

Covid-19 memang menebar bahaya nyata. Sampai pertengahan Mei 2020 saja hampir 5 juta penduduk dunia telah terinfeksi dan lebih dari 300 ribu meninggal dunia karenanya. Di Indonesia sendiri menurut estimasi Model PDDM (Probabilistic Data Driven Model) dari tim Alumni FMIPA UGM baru akan mereda di bulan Juli setelah mencapai sekitar 31 ribuan kasus positif. Kita dipaksa menoleh ke sejarah pandemi yang pernah melanda dunia. Puluhan juta penduduk dunia pernah meninggal karena keganasan flu Spanyol pada awal abad ke-20. Di Hindia Belanda saja diperkirakan ada 1,5 juta korban meninggal dunia dalam setahun. Meskipun sumber pertama yang menyebutkan angka 1,5 juta itu adalah konferensi pers “hoax” oleh Asisten Residen Surabaya saat itu, angka 1,5 juta bukanlah mengada-ada. Angka itu logis kalau dicocokkan dengan data kematian antara tahun 1918-1919 dari populasi 33,5 juta penduduk Jawa-Madura.

Solusi Global

Lenyapnya flu Spanyol bisa jadi karena seleksi alam yang mensyaratkan waktu lama dan banyak korban. Diperkirakan beberapa tahun kemudian orang memiliki herd immunity, kekebalan alami yang muncul sebagai akibat proses adaptasi alami. Namun tentu bukan itu yang kita tunggu. Menurut konsep homeostatis (Cannon, 1930) setiap makhluk hidup punya kecenderungan untuk mencari kondisi keseimbangan. Jika kondisi tidak seimbang adalah haus, maka solusinya minum. Herd immunity juga merupakan keseimbangan ketika akhirnya manusia bisa berdampingan dengan virus. Namun, jika kita khawatir akan keganasan Covid-19 dan tidak mau menunggu lama, maka solusi yang paling diharapkan saat ini adalah vaksin  Covid-19 segera ada.

Benarkah jika suatu negara bisa mengatasi Covid-19 kemudian akan terbebas seutuhnya dari wabah? Mungkin jawabannya ya jika mampu mengisolasi diri total dan permanen. Sangatlah mungkin negara yang berhasil memadamkan virus kembali terjangkit tertular dari negara lain, seperti terjadi di Cina. Setiap negara dihadapkan pada pilihan mengisolasi diri atau terlibat dalam solidaritas global (Harari, 2020). Pandemi serta dampak krisis ini adalah masalah global. Sehingga kerja sama global adalah keniscayaan untuk menyelesaikan.

Mencari solusi vaksin Covid-19 adalah proyek global. Hasilnya sangat dinanti-nantikan. Sambil menanti kabar gembira itu datang, kerjasama dan solidaritas global sangat diperlukan. Mulai dari berbagi informasi tentang penanganan virus, saran kebijakan, bantuan finansial, produksi dan distribusi peralatan medis seperti masker, rapid-test, mesin PCR, ventilator dan lain-lainnya. Bahkan mobilisasi tenaga medis antar negara pun bisa dilakukan. Ketimbang berlomba-lomba memproduksi dan mengatasi sendiri, upaya global yang terkoordinasi lebih efisien dan efektif untuk menjinakkan virus.

Sementara itu masyarakat dituntut beradaptasi dengan gaya hidup baru yang disebut sebagai new normal. Ini terutama meliputi kebiasaan penggunaan masker dalam keseharian, dan lebih sering cuci tangan mengingat jari yang terkontaminasi sangat mungkin lupa menyentuh pintu-pintu infeksi : mata, hidung dan mulut. Tidak mengherankan jika nantinya perkembangan tren fashion akan mengikutsertakan masker stylish. Dan tentunya juga hand sanityzer akan semakin normal tersedia sebagai bagian dari fasilitas publik. Aspek-aspek yang tersentuh new normal bisa sangat luas meliputi aspek demografis, ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan keamanan. Adaptasi new normal ini akan terus berkembang setidaknya sampai setiap orang sungguh merasa nyaman dengan program vaksinasi massal.

Komodifikasi Vaksin?

Benarkah semua pihak secara global sudah bekerja sama memperjuangkan solusi global itu? Rumor yang bersliweran di media sosial menduga bahwa sebetulnya sudah ada pihak yang telah memiliki vaksin sebagai penawarnya. Isu beraroma teori konspirasi itu menuduh bahwa dunia hendak dibuat bergantung pada vaksin itu. Motifnya tentu keuntungan selain kemungkinan spekulatif lain. Jika benar demikian maka vaksin telah luar biasa terkomodifikasi. Vaksin yang semestinya adalah elemen pendukung kesehatan manusia telah termodifikasi menjadi komoditas yang di luar nalar kita sebelumnya.

Kabar baiknya pemerintah berbagai negara, lembaga nirlaba, universitas, industri farmasi dan perusahaan biotech menunjukkan keseriusan upaya menemukan vaksin Covid-19. Saat ini setidaknya ada 86 tim di seluruh dunia sedang bekerja, beberapa di antaranya sudah masuk tahap uji klinis. Cina, USA, Inggris dan Jerman sedang menunggu hasil uji copa pada manusia. Claim tercepat vaksin siap diproduksi pada bulan September 2020. Di Indonesia sendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga sedang meneliti vaksin itu dengan target produksi pada pertengahan tahun 2021 agar mampu mencukupi kebutuhan nasional tanpa terlalu membebani keuangan negara.

Sebagai negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia memang perlu mengusahakan kemandirian dalam persiapan produksi vaksin massal itu. Bisa dibayangkan berapa Rp 150 ribu x minim 150 juta penduduk (dari 270 juta penduduk) anggaran negara yang perlu digelontorkan untuk membeli vaksin tanpa kemandirian itu. Itu pun harus antri menunggu jika supply vaksin ternyata belum mencukupi kebutuhan dunia. Dan kemandirian itu semakin relevan jika melihat hasil analisis yang menduga kuat bahwa virus corona di Indonesia merupakan varian berbeda dari 3 varian lazim yang menyerang berbagai negara saat ini.

Jika sudah ditemukan, vaksin tidak boleh menjadi komoditas yang manipulatif dan berorientasi keuntungan semata. Vaksin harus terjangkau dan secara total diproduksi milyaran jumlahnya untuk keselamatan umat manusia. Adapun Indonesia harus memilih solusi vaksin terbaik dan teraman untuk rakyatnya.

*) Dr. Fidelis I. Diponegoro, S.Si., M.M. , adalah Koordinator Wilayah Jawa DPP ISKA.

 

Referensi :

Fidelis Indriarto, 2012, Worry Marketing, Jalasutra

Priyanto Wibowo dkk., 2009, Pandemi  Influenza 1918 di Hindia Belanda, Departemen Sejarah FIB  UI-UNICEF Jakarta-Komnas FBPI

Yuval Noah Harari, 2020 ,  “The World After Coronavirus”, artikel https://www.ft.com/content/ 19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200423133126-37-153922/jerman-mulai-uji-vaksin-covid-19-ke-manusia-doakan-yah

https://news.detik.com/berita/d-4952190/direktur-lbm-eijkman-beberkan-alasan-ri-bikin-vaksin-covid-19

Data Diri Penulis :

  • Fidelis I. Diponegoro, S.Si., M.M.
  • Koordinator Wilayah Jawa DPP ISKA
  • Bersama Prof. Dr.rer.nat.Dedi Rosadi, S.Si., M.Sc., dan Drs. Joko Kristadi, M.Si. membuat model PDDM (Probabilistic Data Driven Model) yang memprediksikan puncak, akhir dan jumlah kasus positif Covid-19 Indonesia.
  • Pengarang buku Worry Marketing (2012)..
  • Pemerhati gaya hidup, doktor lulusan Kajian Budaya & Media UGM
  • Alumni PPRA LVI Lemhannas RI