Kasus La Nyalla dan Film “Game of Thrones”

oleh -
Pengamat politik Presiden University, Muhammad AS Hikam. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Mantan Ketua Umum PSSI dan salah satu tokoh masyarakat Jawa Timur, yang juga caleg DPD dari propinsi tersebut, La Nyalla Mattalitti menyatakan bahwa dirinya mendukung paslon nomor 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) dalam Pilpres 2019. Bukan hanya itu, La Nyalla juga menyatakan bahwa dirinya ikut menyebarkan berbagai kabar hoax yang bermuatan fitnah terhadap Presiden Jokowi pada tahun 2014.

La Nyalla sebelumnya dikenal publik sebagai salah seorang tokoh pendukung kuat Prabowo Subianto, sampai ketika Pilkada 2018 di Jatim. Namun, ketika itu dia gagal mendapatkan rekomendasi dari Ketum DPP Gerindra, Prabowo Subianto. Maka, terjadilah pecah kongsi antara keduanya dan La Nyalla berubah haluan menjadi pendukung kubu 01.

Dengan latar belakang seperti itu, pertanyaan muncul sejauh mana efek dari kasus La Nyalla tersebut terhadap elektoral dan pengaruhnya terhadap kedua kubu, pasangan Capres 01 dan pasangan Capres 02.

Pengamat politik Presiden University, Muhammad AS Hikam mengatakan dirinya menanggapi kasus La Nyalla ini bukan dari dimensi elektoral tetapi lebih pada dimensi etika.

“Bagi saya, efek elektoral secara makro dari kasus La Nyalla tidak terlalu signifikan. Bahkan dalam konteks Pileg Jatim pun, La Nyalla masih harus menghadapi para pesaingnya yang berlatar belakang dan didukung oleh ormas Islam besar seperti NU dan para ulamanya yang sangat berpengaruh di Jatim,” ujar Hikam dalam dialog dengan sebuah televisi swasta beberapa hari lalu.

Dialog itu menghadirkan narasumber antara lain, AS Hikam, Imas Nasrullah, politisi Hanura dan angggota TPN Jokowi-Maruf Amin, serta Riza Patria, politisi Gerindra dan tim sukse kubu Prabowo-Sandiaga.

Namun, yang menjadi perhatian Hikam, adalah adalah sikap parpol dan elitnya yang cenderung menyikapi peristiwa ini secara pragmatis. Pihak 01 misalnya menyanjung sikap La Nyalla tersebut, sementara pihak 02 menganggap tidak ada masalah karena berpindah dukungan adalah hal biasa dalam politik.

“Menurut hemat saya, mengabaikan dimensi etika dari kasus La Nyalla ini akan berdampak pada semakin merosotnya praktik berdemokrasi. Elite politik tidak memberikan pendidikan kepada publik bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem dan praktik politik yang hampa makna, hampa etika, ‘everything goes’, dan hanya bertujuan terpenuhinya kepentingan mereka. Implikasinya adalah, kelembagaan politik akan menjadi hanya sekedar nama, bukan substansi,” ujarnya.

Hikam mengatakan, koalisi parpol, misalnya, tak beda dengan kartel, karena tidak adanya keterikatan dan loyalitas anggotanya kepada platform politik dan tujuan bersama. Karena itu pembelotan anggota “koalisi” tidak dianggap pelanggaran etik, tetapi sebagai strategi untuk meraih kemenangan masing-masing.

“Ketaatan terhadap hukum diabaikan karena dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat. Inkonsistensi, hipokrisi, dan pelanggaran terhadap prinsip ‘rule of law’ dianggap ‘normal’ atas nama realitas politik belaka!,” ujar Hikam.

Karena itu efek La Nyalla, bagi Hikam, adalah akan semakin lajunya proses pemunduran dalam moral berpolitik (moral retardation in politics) yang akan menggerus demokrasi dan praktik berdemokrasi di negeri ini.

Jika para elite menganggap retardasi moral politik ini sebagai suatu hal yang biasa, maka mereka akan makin terasing dari rakyatnya dan cita-cita para pendiri bangsa. Para elite politik tampaknya menganggap bahwa etika bukan bagian integral dari politik, tetapi sebagai pengganggu.

“Saya jadi ingat salah satu episode dalam film ‘Game of Thrones’, di mana Lord Tywin Lannister, salah seorang bangsawan terkuat dalam The Seven Kingdom, berujar: ‘Seekor singa tak perlu peduli dengan opini domba-domba’. Bagi elite penguasa, suara rakyat hanya diperlukan untuk membuat kemeriahan. Bukan sebagai masukan, apalagi pengawas penguasa!,” pungkasnya. (Ryman)