Lembaga Adat Sihaporas Surati Presiden Jokowi

oleh -
Siti Nurbaya, Menteri KHLH. (Foto: Ist)

SIANTAR – Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) dan Panitia Pengembalian Tanah Adat Warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta para pihak terkait.

Keturunan Ompu Mamontang Laut 8 Generasi Turun-temurun di Sihaporas saat ini tengah berupaya memperjuangkan tanah leluhur. Mereka pun telah beraudiensi dengan Kepala Kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah II Pematangsiantar Djonner Efendi D. Sipahutar di kantor UPT KPH di Jalan Gunung Simanumanuk Pematansiantar, Senin (9/4/2018)

Sebelumnya beraudiensi, mereka lebih dahulu meyampaikan surat yang ditulis dan diantarkan langsung ke Jakarta. Surat kepada Presiden Joko Widodo diantarkan ke Sekretariat Negara pada Senin (2/4/2018). Kemudian surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diantarkan pada Kamis (29/3/2018) silam.

“Surat saya antarkan langsung ke Jakarta, dan diterima pihak terkait. Surat kepada presiden diterima staf di Sekretariat Negara, Pak Suhadi. Ada pun surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diterima bagian Kesekretariatan Jenderal, melalui Ibu Mega. Semua punya tanda terima,” ujar seorang keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, Domu D. Ambarita.

Dijelaskan Domu bahwa surat dimaksud adalah dari Panitia Pengembalian Tanah Adat Warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas yang ditandatangani Edy Harianto Ambarita ST sebagai Ketua Umum, dan Domu selaku Sekretaris Umum. Turut membubuhkan tanda tangan sebagai pihak mengetahui, yakni Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Judin Ambarita selaku ketua dan Anggarali Ambarita sebagai Sekretaris.

Surat tersebut ditembuskan kepada para pihak, baik di pemerintah pusat di Jakarta mau pun di Pemerintah Sumatera Utara, dan Kabupaten Simalungun. Senin ini, surat disampaikan langsung kepada Djonner. Dalam kesempatan itu, sejumlah belasan orang para tetua adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita hadir dan berdiskusi dengan Djonner.

Adapun isi pokok surat kepada Presiden adalah meminta waktu bertatap muka atau audiens dengan pemuka adat yang diwakili pengurus Lamtoras, dan Panitia Pengembalian Tanah Adat Warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas.

“Kami membaca dari media massa, April ini, Bapak Presiden akan melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara. Pada kesempatan tersebut, kami berharap sekali, dapat bertemu dan berbicara menyampaikan keinginan agar masyarakat adat di daerah semakin diperhatikan, dan tradisi kearifan lokal dapat dilestarikan,” ujar Ketua Umum Lamtoras Judin Ambarita.

“Memang kami bangga dan salut karena kepada bapak Presiden Jokowi karena begitu besar kepeduliannya kepada masyarakat adat dan kerajaan-kerajaan Nusantara. Terbukti, pemerintah telah mengembalikan banyak tanah kepada rakyat, seperti hutan adat kepada Masyarakat Hukum Adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan beberapa tempat di Indonesia,” ujarnya.

Ada pun surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mempertanyakan pencaplokan tanah adat menjadi diklaim sepikat masuk hutan milik negara. Klaim itu masuk dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara seluas 3.055.795 hektar yang dikeluarkan Menteri Kehutanan saat dijabat Zulkifli Hasan, saat ini Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan Ketua MPR RI.

Sebelumnya, lahan hunian warga Nagori/Desa Sihaporas dan lahan perladangan tidak besa-bebas saja diusahai.

“Belakangan, ada sosialisasi mengatakan desa kami milik kehutanan. Ada apa ini Kehutanan, main caplok saja,” kata Edy Harianto, Ketua Umum Panitia Pengembalian Tanah Adat Warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita.

Edy menegaskan, agar pemerintah lebih mengutamakan kepemilikan tanah sebagai tanah adat. Diketahui bahwa status tanah awalnya adalah tanah adat, namun sejak era kolonial penjajahan Belanda sempat diambil alih, lalu diambil alih era penjajahan Jepang, dan saat ini dinasionalisasi pemerintah Indonesia.

“Sekarang kami meminta pemerintah agar meneguhkan tanah Sihaporas sebagai tanah adat. Bahkan kami mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar tanah adat ompung kami, yang dicaplok penjajah Belanda kemudian jatuh kepada penjajah Jepang dan nasionalisasi pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan agar dikembalikan seluruhnya. Tanah ompung kami, seluas sekitar 1.500 hektare dicaplok penjajah, kami desak diserahkan kembali kepada masyarakat adat untuk kami jadikan hutan adat,” tegasnya.

Kepala Kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah II Pematangsiantar Djonner Efendi D. Sipahutar menanggapi keluhan mengatakan dirinya siap memfasilitasi dan mendukung agar masyarakat Sihaporas mendapatkan hak tanah adatnya.

Ia mengaku tidak tahu ada lembaga adat yang telah mengusulkan agar tanah yang disebut-sebut seluas 1.500 hektare menjadi hutan adat. Di mana di pihak lain, ada yang telah mengusulkan tanah Sihaporas ini untuk menjadi tanah hak perorangan.

“Saya sudah suruh bebrapa oranh ke sana, mereka bilang sudah dikuasai lama, saya bilang lah supaya dikumpulkan buktinya sebagai syarat tanah perorangan, pada di saat bersamaan muncul untuk hutan adat, ada yang belum ketemu. Saya sangat respect kepada masyarakat untuk mendapatkan haknya. Posisi kami sebagai pemerintah bukan berseberangan demgan rakyat, justru kami yang memfasilitasi untuk mendapatkan hak-haknya,” pungkas Djonner kepada perwakilan adat