Pemprov Jateng Berkolaborasi dengan Densus 88 untuk Menekan Penyebaran Paham Radikal

oleh -
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, usai menerima Densus 88 Antiteror, di ruang kerja Wagub, Senin (3/10/2022). (Foto; Ist)

Semarang, JENDELANASIONAL.ID–Pemerintah Provinsi Jawa Tengah siap berkolaborasi dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri untuk menekan penyebaran paham radikal.

Hal tersebut disampaikan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, usai menerima Densus 88 Antiteror, di ruang kerja Wagub, Senin (3/10/2022).

Wagub menjelaskan, dalam pertemuan pemerintah bersama Densus 88 tersebut mereka melakukan pemetaan langkah-langkah strategis. Salah satunya mengenai anak dari keluarga narapidana kasus teroris maupun eksnapiter yang perlu mendapat internalisasi nilai Pancasila maupun agama.

“Keluarganya kita arahkan, kita dampingi, karena mereka (napiter) sudah kooperatif, memberikan masukan dan info-info ke kita. Nah ini perlu tanggung jawab kita. Dan tadi (Densus) meminta untuk beberapa pondok pesantren bisa terlibat dalam penanganan lingkaran (paham radikal) ini,” kata Gus Yasin sebagaimana dilangsir dari jatengprov.go.id.

Wagub berharap, putra-putri napiter bisa mendapatkan pemahaman agama serta wawasan kebangsaan yang utuh. Sehingga, setelah keluar dari pondok pesantren, mereka mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan NKRI.

Wagub menjelaskan, orang dengan pemahaman radikal punya kecenderungan menganggap pahamnya paling benar. Bisa jadi, lanjutnya, hal itu dikarenakan salah memilih guru atau keliru memahami agama.

“Karena kecenderungan mereka seperti itu, ya ayo kita dekatkan dengan apa yang mereka inginkan (pelajaran agama). Tetapi yang benar-benar pelajarannya itu kaffah. Benar-benar pelajarannya, pengetahuan (agama) Islam yang tidak disalahartikan sebagian kelompok,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto menuturkan, keluarga napiter perlu didampingi untuk mengantisipasi diterimanya ajaran ekstrem yang mungkin masih diberikan oleh orang tuanya. Pemerintah tidak akan pernah tahu, ajaran apa yang diberikan kepada anak-anaknya dalam lingkup keluarga.

“Inilah yang perlu kita lakukan kerja sama, untuk menjadikan mereka ini masyarakat yang bisa diterima oleh lingkungannya, dan termasuk anak-anaknya ini bisa berwawasan nasionalisme, mencintai tanah airnya, dan tidak lagi mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem, sehingga bisa merugikan kelangsungan negara dan bangsa di kemudian hari,” katanya.

Pihaknya memandang, pondok-pondok pesantren bertipe moderat di Jawa Tengah, bisa dilibatkan untuk melakukan internalisasi. Sebab, mereka bisa menyampaikan ajaran Islam sekaligus nilai-nilai Pancasila.

“Kami selaku penegak hukum, tentunya kan tidak bisa melakukan internalisasi. Hanya melakukan penegakan hukum, perbuatannya. Tapi tidak bisa menjadikan mereka berwawasan wasathiyah (atau) berwawasan moderat kalau tidak dibantu oleh kiai, ulama-ulama yang mempunyai pemikiran kebangsaan. Itu yang kiranya kita melakukan kerja sama,” paparnya. (mwd)