Perihal Demokrasi

oleh -
Thomas Tokan Pureklolon, dosen Universtas Pelita Harapan. (Foto: Ist)

Oleh: Thomas Tokan Pureklolon*)

JENDELANASIONAL.ID — Demokrasi itu kuat tapi lemah, berdaulat tapi tidak berdaulat. Dengan kata lain demokrasi selalu saja paradox sifatnya. Perihal demokrasi yang dipahami secara paradox, semestinya harus membuka kekuatan dasar yang terkandung di dalam demokrasi itu sendiri, yang setiap saat secara inherent melekat dalam diri sang demos yang artinya rakyat.

Sang demos adalah unsur terpenting dalam sebuah polis yang tetap berukuran sangat luas seperti “city state”-nya, Indonesia zaman sekarang, yang tentu tidak bisa, dan tetap tidak  boleh terdistorsi dalam keputusan demos yang berukuran sangat kecil (demos dibaca: sekelompok orang atau sekelompok suku, agama, ras dan golongan).

Indonesia, yang kapan saja dalam hitungan detik, segalanya menjadi terang-benderang tanpa ditutup-tutupi dengan berbagai cara dan model apa pun untuk segala forma dan materi yang mau dibahas dan diketahui. City state-nya Indonesia yang berisikan demos dengan pola berpolitiknya telah terloncat jauh ke depan. Dengan kata lain; terjadi loncatan yang berdaya dongkrak sangat tinggi dalam berpolitik dengan melewati dua loncatan metodologis yakni loncatan kuantitatif politis dan loncatan kualitatif politis. Masing- masing penganut dalam gerombolan loncatan itu, berdiri berlagak ksatria sambil mengklaim dirinya atau kelompoknya menjadi yang paling hebat dan tetap unggul dalam manampilkan demokrasi ala kelompoknya.

Di sana, terdapat loncatannya sangat jauh dan semakin jauh, bukannya mendalam dan membuat orang tercengang karena kehebatan yang berkualitas, ternyata sebaliknya membuat harkat dan martabat manusia semakin jauh dari peradaban yang selama ini terkenal manis budi dan bahasanya.

Kedua loncatan metodologis ini, jika tidak diturunkan dengan cara khasnya Indonesia saat ini, maka bisa  mengarah pada  angkara murka yang tak tahu kapan harus tunduk dan sujud,  merunduk hambel dan menjadi indah dalam satu tatanan; inilah sebuah praktik demokrasi yang terus bermegah dalam proses (baca: demokrasi sebagai proses ) dan tetap saja berputar-putar di tempat. Padahal, demokrasi juga memiliki simpul lain yang sangat penting bahkan titik utama yang mau dicapai dalam proses berdemokrasi yakni kematangan dan kedewasaan dalam berdemokrasi; inilah yang disebut dengan demokrasi sebagai tujuan.

 

Demos yang Tergeser

Semangat demokrasi dalam praktik politik dewasa ini menjadi begitu canggih dalam hitungam detik sekarang, dari kerja akal yang begitu menakjubkan, bisa berubah total dengan kerja alat canggih melalui kalkulator data yang tersimpan di langit luas; segala data lengkap berada di langit. Kita hanya memiliki sumberdaya yang sangat soft yang masih tersisa di dalam nurani kita untuk meng- update data, dan meng-update metode. Semuanya terjadi secara canggih dan sangat canggih dalam hitungan detik.

Kecanggihan teknologi mampu menghasilkan kecerdasan artifisial ( artificial intelligence ) dan terus menyusun alogaritmanya sendiri sehingga seluruh aspirasi, emosi, ambisi serta pikiran manusia, dapat diproses sedemikian, menjadi begitu canggih. Gejala ini sangat membahayakan kemanusiaan manusia secara universal, karena ambisi manusia sudah terlalu parah mau menjangkau keilahian Tuhan, di mana manusia ingin menjadi “manusia tuhan”; yang bagi J.Kristiadi, menyebutnya dengan “agama data”.

Berhati-hatilah dengan agama data. Semuanya ditakar secara matematis dan selalu mengikuti kemauan, kebutuhan, dan keinginan penakarnya sesuka pikirannya dan sesuka hatinya.

Inilah sebuah bahaya besar yang sedang menghadang di negeri kita ini, yang segera kita tangkal secara etis di mana pun kita berada, dan dalam ruang lingkup kondisi apa pun yang kita tempuh.

Indonesia dalam era revolusi digital yang dulunya sangat sempit dan terbatas jangkauan komunikasinya, kini menjadi maha luas, tembus pandang, lintas batas segala ruang dan waktu.

Semuanya bisa berubah dan terus berubah dalan sebuah kesadaran yang nyata.

Perubahan dari generasi yang pra-literer langsung melompat dan terjun jauh secara menakjubkan ke generasi post literer pun, terus saja terjadi dalam waktu dua puluh empat jam. Problem ini pun selalu melekat dalam diri seorang demos dalam seluruh fakta sosial kehidupannya.

Terminologi ‘demos’ dalam bahasa Yunani artinya rakyat. Secara tepat, terminologi ‘demos’ ini, adalah terminologi politik  dalam ilmu politik yang terpelihara secara memadai oleh para ilmuwan politik dalam menjalankan tugasnya, seperti mengajar, dan kemungkinan besar sudah ‘tercemar’ dalam ruang pragamtis yang selalu hadir di dalam partai politik.

Pertarungan antara ilmuwan politik di ruang akademis dengan politik pragmatis di ruang partai politik tetap terus terasa dalam kancah perpolitikan, di mana masing- masing bagian selalu saja tampil handal dalam bidangnya. Perhelatan selalu saja terjadi, mulai dari makna dasar yang ditarik dari sumber yang tidak selalu sama, di mana ilmuwan politik mengarahkan pandangan dasarnya terhadap konsep yang bersifat normatif misalnya; para politisi yang selalu mengarahkan aktivitas politiknya ( political behaviournya) tertuju pada kekuasaan; keduanya tidak familier dalam perjuangan bersama dalam satu ruang ntuk berdamai.

Tuntutan dasar dalam politik yang diperankan oleh dua ‘komunitas’ yang berseberangan itu adalah harus adanya titik temu dan tentu tetap ada pola baru yang dibangun oleh kedua spirit kekuasaan negara yang berjuang dalam rananya masing-masing menuju negara kesejahteraan ( the walfare state ) adalah etika; sebuah tindakan atau aktivitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, di mana di dalam aktivitas itu, selalu saja adanya saling menghargai, menghormati dan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hanya etika politiklah, yang mampu menguliti demokrasi sampai ke dalam-dalamnya,  seperti seorang ibu yang menguliti bawang untuk kebutuhan di dapur, dengan santai tapi tetap lugu menguliti dengan teliti, dan di sana, pada akhirnya, ia menemukan ketiadaan isi.

Demokrasi ada dalam proses menuju tujuannya yakni kematangan dan kedewasaan.

*Thomas Pureklolon, dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta.