Politik Belas Kasih

oleh -
Ferlansius Pangalila, adalah Direktur Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Center. (Foto: Ist)

Oleh: Ferlansius Pangalila *)

BELAS kasih bukan berarti money politic, kasi uang habis perkara, kasi uang dapat suara. Sama sekali tidak dalam arti demikian. Belas kasih adalah tindakan konkret karena cinta kepada manusia, benar-benar cinta manusia, dan mencintai manusia yang hidup saat ini. Penting sekali untuk memahami politik belas kasih ini, sebelum terjebak pada politik transaksional yang justru sama sekali tidak manusiawi.

Politik adalah bahasa lain dari belas kasih. Jika kekuasaan dimaksudkan demi terwujudnya kebaikan umum atau kesejahteraan umum, maka politik sebagai seni adalah tindakan belas kasih dari para politisi ini. Tidak ada belas kasih yang lebih besar selain tindakan politikus yang setiap saat memikirkan dan bertindak secara nyata untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Dalam makna ini politik belas kasih harus dimaknai bahkan dimaknai secara ekstrim sebagai pengorbanan diri politikus, mengorbankan hidupnya demi terwujudnya kesejahteraan umum. Jadi bukan money politic ataupun tindakan karikatif dibalik topeng kasih sayang.

Politik belas kasih harus digerakan oleh rasa cinta yang besar, mencintai manusia tanpa syarat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mencintai menusia, mencintai rakyat dan rela berkorban bagi manusia dan rakyat adalah politik belas kasih. Politik dirumuskan sebagai pengorbanan diri seorang negarawan, bukan kelicikan dan manupalitif seseorang untuk merebut kekuasaan.

Oleh karena itu belas kasih menjadi dasar yang kuat untuk seseorang berpolitik. Akhirnya berpolitik tidak hanya digerakan oleh nafsu/ambisi untuk merebut kekuasaan, melainkan juga digerakan oleh rasa belas kasih terhadap rakyat, kerelaan berkorban untuk kepentingan rakyat dan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Jika politik hanya semata-mata untuk merebut kekuasaan, maka pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat berubah menjadi kompetisi/persaingan yang saling menjatuhkan. Merasa tersaingi dan berlomba-lomba untuk tampil lebih baik, lebih kuat dan lebih hebat dibandingkan dengan yang lain. Rakyat dan penderitaannya hanya dijadikan sebagai komoditi atau bahan kampanye untuk merebut simpatik namun hanya semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan dan untuk menunjukan lebih hebat dari lawan politiknya. Setelah Pemilu rakyat tak merasakan dampak baik baginya.

Politik belas kasih, tidak hanya sebatas sampai pada pemilu, tetapi justru berlanjut dan akan secara nyata mewujud setelah kekuasaan itu diperoleh. Politik belas kasih tidak hanya dilihat pada saat kampanye melalui visi misi dan program yang dijanjikan apabila kekuasaan berhasil dimenangkan. Melainkan setelah kekuasaan itu digenggam, politikus yang baik adalah berupaya mewujudkan visi misi dan program kerja yang dijanjikan tersebut sebagai tindakan belas kasihnya kepada rakyat yang dicintainya. Tidak menjadi politikus yang hanya datang duduk dengar diam duit!!!

*) Penulis adalah Direktur Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Center.