Rektor UNIPMA Madiun: Lima Langkah Merawat Keberagaman

oleh -
Suasana seminar “Keberagaman Adalah Anugerah” yang diselenggarakan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kota Karismatik Madiun di Aula Hotel Merdeka, Madiun, Selasa (18/12/2018). (Foto: Ist)

Madiun, JENDELANASIONAL.COM — Ada lima langkah yang seharusnya menjadi perhatian bangsa Indonesia termasuk pemerintah dalam merawat keberagaman. Merawat keberagaman menjadi mutlak mengingat Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk dengan berbagai keistimewaannya dibanding dengan bangsa lain. Hanya dengan merawat, bangsa Indonesia dapat merasakan bahwa keragaman merupakan anugerah dan bukan kutukan.

Kelima langkah itu meliputi meningkatkan komuniksi dan sosialisasi antar berbagai komunitas di masyarakat, revitalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila, meningkatkan pendidikan politik dan wawasan kebangsaan, mendorong supra struktur politik dan infra struktur politik dan menghidupkan kembali pelajaran-pelajaran di sekolah yang berbasis pada pendidikan moral Pancasila, nasionalisme, patriotisme.

Demikian ditegaskan oleh Rektor Universitas PRGI Madiun (UNIPMA), DR.H. Parji dalam seminar “Keberagaman Adalah Anugerah” yang diselenggarakan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kota Karismatik Madiun di Aula Hotel Merdeka, Madiun, Selasa (18/12/2018). Hadir sebagai pembicara lain adalah Walikota Madiun, Sugeng Rismiyanto dan Plt. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Hariyono.

Menurut Parji, akar sejarah bangsa Indonesia menjelaskan bahwa secara alamiah dan kodrati bangsa ini memang majemuk baik dari suku, agama maupun ras. Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan dari 1300 suku, enam agama, lebih dari 17.000 pulau, 700 bahasa daerah, ribuan kesenian dan pakaian tradisional.

“Para tokoh pemuda pada 1928 telah menyadari keberagaman ini sehingga mendorong untuk mengadakan sumpah agar menjadi satu bangsa yang memiliki satu bahasa karena sama-sama hidup di atas tanah air yang sama. Tanpa sepakat dan bersumpah untuk menjadi satu bangsa, kemerdekaan tidak mungkin akan tercapai. Oleh karena itu, para tokoh pemuda melihat bahwa keberagaman itu merupakan anugerah yang kemudian dipersatukan dengan Bahasa Indonesia,” ujar Parji.

Rektor UNIPMA, DR. H. Parji. (Foto: ist)

Hanya saja, menurut Parji, kekuatan sebagai satu bangsa menghadapi ujian, ketika Indonesia menerima globalisasi karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Nilai luhur yang telah ditanamkan oleh para pendiri negara dan bangsa harus berhadapan dengan nilai-nilai yang berasal dari bangsa lain terutama yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk merawat  kebhinnekaan itu agar keberagaman tidak menjadi sumber konflik dan Indonesia tetap menjadi satu bangsa.

“Salah satu caranya adalah, dikembalikan lagi pelajaran-pelajaran atau mata kuliah pendidikan moral Pancasila, nasionalisme dan patriotisme. Pendidikan nasionalisme untuk menumbuhkan dan memperkuat kembali sebagai satu bangsa. Sementara patriotisme harus diajakan agar generasi demi generasi mencintai tanah airnya dan bukan tanah air orang lain. Pendidikan ini sangat strategis dan semua harus diawali dari para guru atau dosennya yang memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme. Dari pendidikan inilah kemudian lari pada pengamalan atau implementasinya,” tegas Parji.

Sementara Sugeng Rismiyanto menyatakan, kebhinnekaan itu harus dirawat dengan menumbuhkembangkan kembali nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila. Hanya dengan merawat kebhinnekaan itulah, Indonesia menjadi bangsa yang besar dan dihormati dunia, jika keberagaman itu sebagai modal besar dalam membangun Indonesia.

Penegasan nilai-nilai luhur Pancasila harus senantiasa dirawat dan diamalkan datang dari Hariyono. Dia mengatakan bahwa Badan Pembinaan Indeologi Pancasila (BPIP) pada saat ini lagi mengkaji Pancasila tidak hanya dari perspektif sejarah tetapi juga ditekankan konteks dimensi sosiologisnya.

“Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa bukan untuk masa lalu. Pancasila dirumuskan untuk masa depan bangsa Indonesia. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai sesuatu hal yang bisa menyatukan bangsa namun juga bintang penuntun,” terang Prof. Hariyono. (Ryman)