Butuh Orkestrasi Mendorong Kepekaan Masyarakat Terhadap Virus Radikalisme

oleh -
Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), H. Imam Putuduh, SH, MM. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Upaya penguatan deteksi dini dari ancaman virus radikalisme sangat urgent dan mendesak.  Tidak hanya bagi apparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat dan seluruh warga bangsa. Kelompok-kelompok radikal dan intoleran saat ini tengah bergerak untuk menguasai Pop Culture (Kebudayaan Pop) dan Lifestyle (Gaya Hidup) masyarakat sehari-hari serta secara massif melakukan ideologisasi dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Bahkan ideologisasi tersebut dilakukan baik secara online maupun offline. Kelompok Radikal dan Intoleran terus menerus berupaya mengubah cara pandang masyarakat yang ramah damai dan toleran menjadi radikal dan intoleran. Ini sangat berbahaya dan tidak boleh dibiarkan.

Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), H. Imam Putuduh, SH, MM, menyebut pentingnya upaya penguatan deteksi dini ancaman virus radikalisme. Ia menilai, dalam hal mendorong kepekaan masyarakat terhadap virus radikalisme, dibutuhkan pemantik dan orkestrasi sebagai upaya deteksi dini.

“Harus ada kesatuan aksi, kesatuan komando, yang di orkestrasi, supaya bisa bergerak serempak. Jangan sampai masyarakat menjadi acuh tak acuh, tidak peduli, skeptis, apatisme terhadap isu-isu ini,” ujarnya H. Imam Putuduh,di Jakarta, Sabtu (26/3/2022).

Ia melanjutkan, perlu adanya wake-up alarm untuk membangunkan kepekaan seluruh komponen masyarakat untuk siap siaga, waspada terhadap ancaman radikalisme dan intoleransi yang merupakan benih awal dari tumbuh berkembangnya terorisme.

“Kita perlu wake-up alarm. Kalau masyarakat memiliki kewaspadaan dan kesiapsiagaan, maka ancaman Radikalisme dan Intoleransi pasti dapat diminimalisir sejak dini. Karena masyarakat menjadi Garda terdepan yang terintegrasi dengan apparat, terutama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Nah itu baru namanya kerja bareng,” jelas pria yang akrab disapa Gus Imam.

Pria yang pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) periode 2015-2020 ini dalam kesempatannya juga menuturkan bagaimana upaya efektif agar masyarakat memiliki resistensi terhadap doktrin radikalisme dan intoleransi yang disemai dan disebarkan secara Omni channel, online dan offline channel.

“Harus ada re-unifikasi media-media, baik itu media muslim, media interfaith, media dakwah dan media-media lainnya. Re-unifikasi ini untuk kepentingan bagaimana menjaga kedaulatan PBNU (Pancasila,  Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang Dasar 1945),” tutur Gus Imam.

Pasalnya, dewasa ini sudah memasuki era borderless atau informasi tanpa batas, yang memungkinkan proses ideologisasi dari luar maupun ideologisasi dari dalam negeri, masuk ke otak manusia dari bangun tidur hingga terlelap lagi. Maka re-unifikasi media menjadi kata kunci utama dalam upaya membangun kesedaran Bersama untuk melawan proses ideologisasi yang bertentangan dengan Ideologi Bangsa.

“Re-unifikasi media menjadi kata kunci yang paling utama, konten mereka (kelompok radikal dan intoleran) itu diproduksi melalui film, animasi, musik , sport  dan sebagainya.  Hal ini yang sangat signifikan bergerak, tentunya  harus di counter, jangan dibiarkan dan tidak boleh terlambat,” jelasnya.

Sehingga masyarakat yang menjadi objek dari proses ideologisasi kelompok radikal terorisme kemudian diharapkan punya imunitas, dapat melakukan perlawanan dan sekaligus punya alternatif. Gus Imam menambahkan, tidak hanya secara online, namun di ranah offline haruslah diperbanyak pejuang Mujahid NKRI yang bekerja secara militant mempropagandakan perdamaian dan nilai nilai kebaikan.

“Harus ada ‘AGITPROP’, yaitu agitasi dan propaganda untuk kedaulatan dan kesatuan NKRI. Jadi harus banyak pejuang Mujahid NKRI. Kalau nggak ada agitasi dan propaganda kesana, tentunya  masyarakat maupun media tidak akan terpicu untuk bergerak. Kalau dibiarkan ya otomatis negara kita jadinya kondisinya akan liar, tidak terkendali dan banyak noise,” ujarnya.

Pria yang pernah menjadi kandidat finalis dalam Ernst & Young Entrepreneur of the Year Award tahun 2008 ini juga menyinggung ranah keluarga sebagai benteng paling utama pertahanan NKRI, bukan tanpa sebab, Gus Imam memandang miris akibat banyaknya kasus radikalisme dan terorisme yang dimulai dari lingkungan keluarga.

“Kalau di keluarga sudah jebol, radikalismenya sudah masuk, narasi intoleransi sudah masuk, ekstrimisme nya sudah masuk, maka tinggal sedikit lagi dipicu negaranya akan porak-poranda,” ujarnya.

Sehingga, alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) ini menganggap pentingnya juga mengedukasi keluarga, terutama anak-anak dan pemuda.

“Satu-satunya yang bisa diterima oleh mereka, diksi mereka adalah materi pop culture, ayo kita berjuang melalui pop culture, sehingga anak anak-pemuda dan keluarganya tersentuh,” tegas alumni Pesantren Tebuireng Jombang ini.

Tanggung Jawab Seluruh Stakeholder

Sutradara film ‘Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri’ ini juga menilai bahwa tanggung jawab pencegahan dan deteksi dini virus radikalisme merupakan tanggung jawab bersama seluruh stakeholder bangsa, sebagaimana konsep Pentahelix BNPT yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.

“Yang pertama negara, lalu private sector seperti BUMN maupun perusahaan swasta, juga civil society yaitu ormas.  Ini jangan dibiarkan, kita bisa optimalkan kekuatannya, menjadi garda depan, penyemai narasi dan kontra narasi yang didedikasikan untuk NKRI,” jelas Gus Imam.

Ia meneruskan, ada lima upaya yang bisa dilakukan stakeholder komponen Pentahelix dalam upaya melakukan deteksi dini untuk mencegah masyarakat terpapar virus radikalisme, salah satunya adalah dengan membangun solidaritas dan kebersamaan seluruh sakeholder.

“Kedua, dalam konteks pemerintahan yaitu ketegasan dalam regulasi, contohnya berupa undang-undang seperti pencegahan penanggulangan terorisme (harus diimplementasi secara maksimal) dan yang diperlukan lagi yaitu Inpres, Perpres atau Keppres secara spesifik tentang pencegahan radikalisme dan intoleransi,” kata pria yang juga menjabat Sekjen Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) ini.

Ketiga, dirinya juga mengusulkan sebuah intitusionalisasi Gerakan, berupa Gerakan Nasional Pencegahan Radikalisme dan Intoleransi (GeNPRI), yang bergerak secara bersama-sama dan serentak melibatkan seluruh stakeholder.

“Berikutnya adalah pasukan, dimana pasukan ini adalah orang-orang yang bergerak untuk kepentingan menjaga NKRI yang kita sebut sebagai Mujahid NKRI. Memberdayakan dan me-reunifikasi media-media yang ada termasuk media dakwah, kumpul bareng untuk menggerakkan satu kekuatan dengan narasi yang sama,” jelas Gus Imam.

Dirinya juga berharap, media-media dakwah yang ada bisa terstandarisasi dan terasosiasi bersama-sama untuk menyebarkan nilai RADAR (Ramah, Damai dan Anti Radikal).

“Itu semuanya akan sempurna ketika juga terbangun kebersamaan stakeholder untuk bekerja berjamaah dengan terstuktur, sistematis dan masif dalam melawan virus radikalisme,” kata Gus Imam mengakhiri. ***