Ensiklik Fratelli Tutti, Membangun “Budaya Perjumpaan” di Tengah Masyarakat

oleh -
Forum Diskusi (FoKus) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) kali ini menawarkan diskusi tentang “Persaudaraan Sosial Tanpa Jarak: Ensiklik Fratelli Tutti” menjadi bahan permenungan. Diskusi yang disiarkan melalui ISKA Channel itu menghadirkan teolog Dr. Andre Atawolo, OFM dan ahli filsafat politik Dr. Antonius Widyarsono, SJ dan dipandu oleh wartawan senior Hermien Y. Kleden, Pengurus Pusat, DPP ISKA, pada Jumat (5/3).

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Tatkala Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik Fratelli Tutti (Semua  Bersaudara) pada 3 Oktober  2020  barangkali  tak banyak yang optimistis bahwa ensiklik    — yang dipicu oleh  pandemi  COVID-19  –  ini akan  mampu mencapai cita-cita penulisnya:  membangun persaudaraan, persahabatan sosial tanpa batas;  menemukan kepenuhan pribadi dalam diri sesama.

Hal ini memang paradoks di tengah seruan dunia untuk menjaga jarak (distansi) sosial agar kesehatan global dapat direbut kembali dari cengkeraman pandemi.

Namun Paus Fransiskus tidak menjanjikan jalan pintas dalam ensiklik ini. Tapi dia menawarkan sebuah proses melalui cara  yang telah dikenal sejak purbakala yaitu cinta, persaudaraan, persahabatan. Di sinilah paradoks tersebut menemukan jawabannya.

Forum Diskusi (FoKus) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) kali ini menawarkan diskusi tentang “Persaudaraan Sosial Tanpa Jarak: Ensiklik Fratelli Tutti” menjadi bahan permenungan. Diskusi yang disiarkan melalui ISKA Channel itu menghadirkan teolog Dr. Andre Atawolo, OFM dan ahli  filsafat  politik  Dr. Antonius  Widyarsono, SJ dan dipandu oleh wartawan senior Hermien Y. Kleden, Pengurus Pusat, DPP ISKA, pada Jumat (5/3).

Hadir sebagai pembicara pertama, Romo Andre Atawolo menjelaskan tentang isi Ensiklik Fretelli Tutti secara singkat namun bernas.

Ensiklik tersebut ditandatangani Paus Fransiskus pada 3 Oktober 2020, di Kota Asisi, Italia, tanah kelahiran Santo Fransiskus Asisi. Ensiklik ini terdiri dari 8 bab dan 92 halaman.

Doktor Theologi Dogmatik dan Sistematik yang merupakan alumni Universitas Antonia, Roma itu kemudian menjelaskan tentang sistematika ensiklik yang dikeluarkan setelah Lumen Fidei dan Luadato Si tersebut. Ensiklik ini, katanya, terdiri dari delapan (8) Bab (287 paragraf dan 288 catatan kaki). Juga berisi tentang Doa kepada Tuhan, dan Doa Ekumenis. Berikut isi ringkas setiap bab:

Bab pertama, berisi tentang pandemi Virus Corona, yang membuka kedok kemajuan global. Dia mengatakan, bahwa dunia saat ini terkoneksi, namun banyak orang mengalami kesepian. “Inilah kontradiksi dunia saat ini yaitu di tengah kemajuan teknologi informasi, dunia justru menjadi tuli. Kita saling terhubung (hiperkonektivitas) tapi tidak bersaudara,” ujarnya.

Bab kedua, Paus mengangkat kisah tentang “Orang Samaria yang Baik Hati”. Pertanyaan mendasar dalam kisah tersebut yakni “Siapakah sesama manusia itu”.

Yang hadir sebagai sesama dalam kisah tersebut ternyata adalah orang Samaria, bukan seorang Imam atau kaum Lewi. Dosen Theologi Dogmatik di STF Driyarkara, Jakarta mengatakan bahwa Imam dan Lewi tersebut tidak bersalah secara hukum, namun mereka tidak bersaudara karena mengutamakan urusannya. Yang tampil sebagai sesama saudara dalam kisah itu justr adalah orang Samaria yang baik hati. “Orang Samaria bermurah hati karena ia bebas, tidak terkungkung batas identitas agama dan ia mengutamakan kemanusiaan” ujarnya.

Bab ketiga, Paus mengemukakan bagaimana cara untuk melahirkan dunia yang lebih terbuka, agar manusia keluar dari egoisme, dan melawan bentuk ekslusivisme. Bagaimana pula agar manusia itu bisa mengasihi sesamanya sebagai persona, dan tidak terkait dengan agama, suku, bangsa maupun kedudukan.

Di sini, kata Romo Andre, Paus mengemukakan bahwa manusia diciptakan untuk saling mencinta. Corak kasih (caritas) manusia yaitu terarah kepada sesamanya. “Dia yang menghendaki hal yang baik bagi orang lain. Karena itu, membangun humanitas baru dalam rumah bersama mungkin bisa terwujud jika dilakukan secara bersama,” ujarnya.

Dr. Andre Atawolo, OFM. (Foto: JN)

Bab keempat, kata Romo Andre, yaitu sikap Paus Fransiskus terhadap para imigran. Di sinilah sikap konkrit sang Paus, yang memandang para imigran sebagai sesama saudara yang saling melengkapi. Karena itu, mestinya negara juga perlu menyediakan lapangan pekerjaan untuk para kaum imigran tersebut.

Bab kelima, yaitu terkait pandangan Paus Fransiskus terhadap politik yang lebih baik.

Rakyat, kata Paus, bukan kategori abstrak, melainkan manusia konkrit yang memiliki hidup. Karena itu, para pemimpin negara harus mengenakan politik kasih yang bertujuan melindungi dan menjamin hak hidup rakyat. Politik menjadi sebuah kesempatan untuk melayani.

Menurut Romo Andre, politik juga bukan sebuah proyek instan, yang memainkan emosi rakyat demi popularitas dan kekuasaan sesaat. Rakyat, katanya, berbeda dengan seorang pemimipin (leaders). “Rakyat dapat bersolidaritas, seorang leader harus merealisasikan sistem subsidiaritas. Rakyat membantu menyeberangi orang, tetapi leaders membangun jembatan; rakyat menyumbang makanan, leaders menyediakan lapangan kerja,” ujar Romo Andre.

 

Budaya Perjumpaan

Bab keenam, Paus menjelaskan tentang manusia yang merupakan makhluk dialogis. Kunci sebuah dialog, kata Romo Andre, yaitu adanya upaya untuk mendekati orang lain, mendengarkan, coba mengetahui, mengerti dan mencari titik temu.

Dalam sebuah dialog, katanya, perlu dilakukan secara jujur demi mencari sebuah kebenaran. Jadi, bukan sekadar sebuah konsensus atau kesepatakan. “Konsensus tanpa kebenaran pada dasarnya adalah rapuh,” ujarnya.

Karena itu, kata Romo Andre, kita harus dilatih untuk terus mengenakan “budaya perjumpaan”, yaitu berani menerima perbedaan, dan duduk bersama untuk mencari titik temu.

Bab ketujuh, Paus mengungkapkan tentang tujuan sebuah dialog dan perjumpaan. Tujuan dialog dan perjumpaan adalah perdamaian. Kita semua adalah seniman perdamaian.

Damai, kata Romo Andre, merupakan proses yang terus menerus, bukan sekadar tanpa peperangan, melainkan damai harus dialami secara batiniah.

Karena itu, bagi Paus, perang dan penggunaan senjata nuklir adalah kejahatan bagi politik dan nilai kemanusiaan. Untuk mengurai konflik, katanya, perlu rekonsiliasi dan pengampunan tanpa melupakan masa lalu, agar memutus rantai kekerasan. “Tujuan dialog yaitu bukan sekedar diplomasi atau sopan santun, melainkan menjalin persahabatan, damai serta keharmonisan berdasarkan kasih dan kebenaran.” ujarnya.

Bab kedelapan berisi tentang peran agama bagi persaudaraan dunia. Esensi ajaran semua agama, kata Romo Andre, adalah kasih dan damai. Karena itu, kekerasan tak dibenarkan agama.

Persaudaraan, katanya, memiliki dasar teologis, yaitu hakikat manusia sebagai anak-anak dari Satu Bapa. Karena itu, Gereja Katolik menghormati hal-hal yang suci dan benar dalam agama lain.

Pada akhir ensiklik, Paus mengugkapkan harapan sekaligus doa bagi penyatuan umat Kristiani. “Karena kita memiliki Satu Tubuh, Satu Roh, Satu Baptisan” (1Kor. 12:13).

Dalam pesan damai dan perjumpaan tersebut, Paus Fransiskus juga mengungkapkan pertemuannya dengan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019. “Kami menyatakan dengan tegas, bahwa agama tidak pernah menghasut peperangan dan memancing rasa benci, permusuhan, ekstremisme, tidak pula membenarkan kekerasan atau pertumpahan darah. Kenyataan tragis ini terjadi karena orang menyimpang dari ajaran agama. Itulah hasil dari manipulasi politis terhadap agama-agama dari interpretasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok religius yang […] telah mengambil manfaat dari dampak kuat sentimen agama pada hati orang […]. Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Kuasa tidak perlu dibela dengan alasan apa pun, dan Ia memang tidak menghendaki bahwa nama-Nya digunakan untuk meneror orang.” (Fratelli Tutti 285].

Sementara Romo Antonius  Widyarsono membahas Ensiklik Fratelli Tutti dalam perspektif ahli filsafat Paul Ricoeur. “Interpretasi Ricoeur ini memudahkan saya memahami Ensiklik FT yang menawarkan persaudaraan sosial tanpa jarak/batas berdasarkan paradigma orang Samaria yang baik hati,” ujar Dosen STF Driyarkara itu.

Dia mengatakan, pertanyaan tentang siapakah sesamaku, dalam kisah tentang “Orang Samaria yang Baik Hati” itu dijawab Yesus dengan klaim bahwa sesama bukanlah objek pengamatan sosiologis, melainkan suatu tindakan/perilaku.

“Artinya menjadi sesama itu terletak pada kebiasaan untuk membuat diri kita tersedia bagi yang lain,” ujarnya.

Ricoeur dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada sosiologi tentang sesama, yang ada adalah praksis menjadi sesama. “Orang tidak memiliki sesama, melainkan saya menjadikan diriku menjadi sesama bagi orang lain,” ujar Romo Pendamping DPP ISKA ini.

Romo Widy mengatakan, menarik mengkontraskan dua orang lewat dalam kategori sosial, yaitu Imam dan Lewi. Kategori tesebut, katanya, membatasi mereka sehingga perjumpaan tersebut menjadi gagal.

Sementara itu Orang Samaria bagi bangsa Yahudi adalah manusia yang tidak memiliki kategori sosial. “Justru karena itu, dia lebih siap untuk diubah oleh perjumpaan yang tidak direncanaka itu,” ujarnya.

 

Dr. Antonius Widyarsono, SJ. (Foto; JN)

Fratelli Tutti Bagi Ibu Pertiwi

Gagasan menarik yang ditawarkan Romo Andre terkait perjumpaan dengan sesama tersebut bisa diambil dari contoh bangunan polyhedron.

Polyhedron merupakan bangunan utuh yang terbentuk dari berbagai sudut dan sisi yang stabil. Dia mengatakan, kita tidak dapat sungguh berjumpa dengan yang lain, kalau kita tidak berdiri di atas bangunan yang kokoh. Sebab hanya atas dasar landasan  tersebut, kita dapat menerima hadiah yang orang lain bawa, dan sebaliknya memberikan hadiah yang otentik dari pihak kita.

“Saya dapat menerima sesama yang berbeda dan menghargai sumbangan uniknya yang mereka buat, jika saya kokoh berakar dalam masyarakat serta budaya saya,” ujarnya mengutip Fratelli Tutti.

“Tanpa menjumpai serta berelasi dengan keberbedaan, sulit untuk mendapatkan suatu pemahaman yang jelas dan utuh, bahkan tentang diri kita sendiri serta tanah air kita,” sambungnya.

Menurut Romo Andre, Fratelli Tutti sangat relevan bagi Gereja dan Negara Indonesia. Bangsa ini, katanya, telah memiliki keragaman agama, budaya, suku, bahasa, dan sebagainya bahkan sejak dahulu kala.

Indonesia juga sudah memiliki corak persaudaraan sebagai bangsa yaitu kekeluargaan, kekerabatan dan gogong royong. Indonesia juga telah memiliki Pancasila, sebagai dasar negara yang menjunjung tinggi religiositas serta kebebasan manusia.

“Karena itu, Fratelli Tutti dapat menjadi acuan dialog yang ditawarkan Gereja Indonesia kepada berbagai pihak,” pungkas Romo Andre. (Ryman)