Ketua Matakin: Menjaga Toleransi Wajib Diperhatikan Oleh Semua Pihak

oleh -
Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Liem Liliany Lontoh. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID  Indonesia adalah negara yang ditempati oleh berbagai suku, budaya, dan agama yang sangat beragam. Keragaman itu merupakan karunia Tuhan yang tetap kokoh dalam persatuan dan kesatuan di saat bangsa-bangsa lain mulai terkikis atau bahkan hancur karena konflik horizontal.

Terpeliharanya Indonesia sebagai bangsa majemuk tentunya tidak terlepas dari ancaman-ancaman yang datang silih berganti, termasuk dari kelompok-kelompok yang cenderung memahami agama secara ekstrim dan tekstual. Kelompok ini secara aktif menyebarkan pemahaman yang sudah terbukti telah mencoreng semangat toleransi terhadap perbedaan yang justru harus kita pelihara dan jaga.

Karena itu, upaya menjaga toleransi dan kebersamaan merupakan hal yang wajib diperhatikan oleh semua pihak, baik pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.

Hal ini disampaikan oleh  Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Liem Liliany Lontoh, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

“Bagaimana mungkin keutuhan bangsa dapat terjaga jika ada satu pihak yang anti terhadap pihak lain dalam suatu komunitas besar yang disebut bangsa? Pemerintah perlu memberikan edukasi yang komprehensif tentang pemahaman berbangsa dan bernegara yang baik dan benar. Melalui penyuluhan-penyuluhan maupun melalui program kebijakan yang adil dan tidak pilih kasih,” ujar Liem Liliany Lontoh melalui siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Wanita yang juga Ketua Gugus Tugas Pemuka Agama Konghucu ini melanjutkan, bahwa berbagai pihak khususnya pemerintah, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus mendorong tersedianya perlindungan bagi setiap etnis, agama dan suku agar dapat hidup nyaman serta damai dengan segala hak dan kewajibannya.

“Semua orang harus memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan rukun dan damai. Tidak mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan. Apalagi mementingkan diri sendiri. Baik pemerintah, tokoh masyarakat maupun tokoh agama perlu memegang prinsip kebersamaan ini. Jika satu pihak saja tidak konsekuen, maka semua pihak akan terkena imbasnya,” tutur perempuan yang akrab disapa Bu Liem ini.

Dia mengatakan, Indonesia memiliki enam agama resmi dan berbagai aliran kepercayaan yang diakui serta dilindungi oleh konstitusi. Kondisi ini tentu menjamin berbagai agama dan kepercayaan dalam melakukan ibadahnya dan menyelenggarakan hari raya sesuai dengan apa yang diyakini.

Misalnya pada perayaan Imlek kemarin yang dirayakan di banyak tempat di Indonesia secara terbuka. Hal ini merupakan suatu kemajuan karena Imlek pernah dilarang untuk dirayakan secara terbuka. Pada Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China, diatur bahwa pelaksanaan Imlek yang harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.

Liem juga menilai bahwa pemerintah perlu memperhatikan kehidupan rakyat dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat membuat rakyat merasa aman dan tentram dalam bermasyarakat, sehingga kehidupan dalam keluarga pun dapat tertata rapi. Jika dalam tatanan keluarga saja sudah baik, maka diharapkan kondisi sosial pada masyarakat Indonesia secara luas juga dapat memberikan rasa keamanan dan ketentraman.

“Tingkatkan kebersamaan sebanyak-banyaknya, sehingga pihak yang satu dengan yang lain saling mengenal dan saling memahami. Setiap perbedaan dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi, jangan justru saling meniadakan. Apa yang diri sendiri tidak inginkan jangan diberikan pada orang lain,” ucap perempuan yang juga aktif sebagai anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta ini.

Walaupun dengan segala kekurangan yang masih terasa, Liem tetap optimistis bahwa praktik diskriminasi dan intoleransi secara perlahan akan berkurang.

“Tentunya dengan kesadaran kenyataan yang ada ini kita perlu menyikapinya dengan arif dan bijaksana. Banyak-banyak mengalah dan rendah hati dalam pergaulan yang melibatkan banyak pihak. Dengan cara ini ada harapan tidak menajamnya diskriminasi dan intoleransi, karena kerendahan hati mengundang simpati dan mengalah dapat menahan tindakan yang berlebihan,” kata Liem mengakhiri. ***