Kontroversi SEMA Nomor 2 Tahun 2023

oleh -
Francisca Romana, SH.MH, adalah Pengurus Bidang Hukum dan Perundang-undangan PP ISKA. (Foto: Ist)

Oleh: Francisca Romana*)

JENDELANASIONAL.ID – Mahkamah Agung telah banyak menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung, sejak tahun 1951. Saat pertama kali Mahkamah Agung membuat SEMA.

SEMA merupakan surat edaran dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh Hakim Pengadilan Negeri dan Tinggi, yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang mengikat.

Baru-baru ini Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dalam SEMA ini, Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Sehingga menimbulkan kontroversi dan perdebatan sengit dari berbagai kalangan yang positif menerimanya dan yang menentangnya.

Mengapa SEMA No. 2 Tahun 2023 ini menjadi kontroversi?

Pertama, SEMA No.2 tahun 2023 ini isinya hanya merujuk pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan mengabaikan ketentuan Pasal 35a UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Padahal UU Administrasi Kependudukan dibuat untuk memberikan perlindungan, pengakuan dan penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan Warga Negara Indonesia, termasuk pernikahan antar umat yang berbeda agama. Ini merupakan ujud pelaksanaan UU Hak Asasi Manusia yang tercantum di Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didalam Pasal-Pasal: Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1,2 dan 4, Pasal 26, Pasal 28 B ayat 1, Pasal 28 D ayat 4, Pasal 28 E ayat 1 dan 2, Pasal 28 I, Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 1 dan 3.

Kedua, sudah banyak dilakukan Yurisprudensi atau Putusan Pengadilan tentang pengesahan permohonan pernikahan antar umat beda agama. Terlebih, kewewenangan Hakim yang  independen dan bebas untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 24 ayat (1). Pasal 32 ayat (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut di ayat-ayat 1 sampai dengan 4 tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Ketiga, akibat SEMA ini, maka pernikahan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan tidak dapat dicatatkan secara administratif kependudukan, walaupun yang dilangsungkan sah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sehingga akan berimpilkasi terhadap, antara lain status kependudukan, harta gono-gini, hak waris dan status anak hasil perkawinan serta hak jaminan atas kesehatan.

Selain itu, juga akan berimplikasi kepada pajak atas perolehan harta, penghasilan. Hal hal tersebut akan menimbulkan permasalahan sosial dan ketidak pastian hukum.

Keempat, Indonesia adalah sekuler – bukan negara agama – yang netral dalam permasalahan agama. Dengan kata lain negara tidak dapat masuk ke dalam kehidupan pribadi agama setiap warganya.

Negara Republik lndonesia adalah negara yang plural dari keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Salah satu ciri pluralisme bangsa Indonesia yang paling mendasar adalah adanya keberagaman menganut agama oleh penduduknya.

Ada enam (6) agama yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sedangkan aliran kepercayaan antara lain Parmalim (Tobasa), Ugamo Bangsa Batak (Tapanuli Utara), Pargebu (Hindu Karo), Marapu (Sumba), Sei Baba (Jawa Barat) dan Kejawen (Pulau Jawa).

Jaminan keberadaan agama dan kepercayaan sudah diatur oleh Negara dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

  • Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari keberagaman ini, banyak terjadi perkawinan antar pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang berlainan.  

Perkawinan beda agama bukan merupakan sesuatu hal yang baru dan telah berlangsung sejak lama bagi masyarakat Indonesia yang multi-kultur. Berdasarkan data dari Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga awal Maret 2022 sudah ada 1.425 pasangan beda agama yang tercatat menikah di Indonesia.

Kelima, telah beredar Surat dari KWI dan PGI tertanggal  20 Maret 2023, sebelum SEMA ini terbit, sebagai tindak lanjut atas pembentukan Kelompok Kerja atas akan dibuatnya SEMA atas permohonan pencatatan pernikahan antar umat agama berbeda. Hasil Rapat Kelompok Kerja pada tanggal 2 Maret 2023 telah disepakati norma pokok rancangan SEMA dalam 3 versi. Dalam surat tersebut KWI dan PGI meminta agar MA menggunakan hasil kerja  Pokja Versi 2.

Namun Mahkamah Agung mengabaikan Rancangan SEMA dan justru menerbitkan SEMA No. 2 tahun 2023 ini, tidak lama setelah adanya pertemuan seorang politisi (anggota MPR) dengan Ketua Mahkamah Agung.

Kontroversi-kontroversi ini seharusnya menjadikan Mahkamah Agung mengkoreksi SEMA No. 2 Tahun 2023 dengan mengakomodasi masukan-masukan dari berbagai pihak, tidak hanya dari satu pihak saja.

*) Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pengurus PP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA)