Pro Kontra Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023

oleh -
Benediktus Danang Setianto, Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang. (Foto: Dok Pri)

Oleh: Benediktus Danang Setianto, SH, Mli*)

JENDELANASIONAL.ID – Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 2 tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan tertanggal 17 Juli 2023 adalah Pelanggaran Konstitusional Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan pelanggaran Hak Asasi Manusia tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan secara tegas bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.

Jadi yang dijamin negara secara konstitusional ada dua, kebebasan memeluk dan beribadat.

Bentuk jaminan negara apa? Dalam kasanah hak asasi manusia ada 15 butir hak dan kebebasan yang harus dilakukan oleh negara, antara lain kebebasan berpikir, kebebasan untuk tidak dipaksa memeluk agama atau keyakinan tertentu sampai kebebasan menggunakan simbol-simbol agama dan pendirian rumah ibadah.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak dapat diambil dari individu-individu manusia.

Bagaimana kedudukan “kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam urusan perkawinan”.

Pertama, banyak agama mengatur bagaimana lembaga perkawinan dilakukan bagi pemeluknya masing-masing.

Kedua, negara dalam Pasal 2 ayat (1h UU No 1 tahun 1974 menegaskan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Fungsi negara dalam perkawinan dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2), tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal ini, negara (baca: pemerintah) hanya mencatat peristiwa perkawinan saja dan tidak menentukan sah/tidaknya perkawinan.

Problem tafsir muncul dari dua ayat ini:

1. Apakah suatu lembaga agama dapat menikahkan seseorang yang bukan menjadi pemeluk agama tersebut?

a. Ada agama yang menolak untuk menikahkan jika pasangannya bukan pemeluk agamanya. Untuk agama yang seperti ini maka jelas, lembaga agama ini tidak bisa men-sah-kan pasangan untuk menikah jika salah satunya bukan pemeluk agama tersebut.

b. Ada Agama yang dengan prosedur tertentu men-sah-kan suatu perkawinan cukup jika salah satunya adalah pemeluk agama tersebut.

c. Karena kondisi sosial tertentu ada agama yang kemudian menikahkan pasangan yang salah satunya bukan pemeluk agama tersebut.

Nah, problem tafsir untuk b dan c menjadi dilematis. Jika suatu agama sudah men-sah-kan suatu perkawinan, apakah negara punya kewenangan untuk  menolak mencatat? Beberapa kantor catatan sipil menolak, sehingga beberapa pasangan kemudian meminta lembaga pengadilan untuk men-sahkan perkawinan mereka melalui putusan pengadilan.

Ternyata, muncul beragam keputusan terhadap hal ini. Ada yang mensahkan tetapi juga ada yang menolak.

Yang menerima setuju dengan tafsir bahwa negara hanya mencatat (fungsi administratif) sedangkan sah/tidaknya diatur lembaga agama.

Yang menolak menyatakan bahwa lembaga agama tertentu tidak bisa mengatur pemeluk agama lain sehingga yang dilakukan suatu lembaga agama dengan mensahkan perkawinan mereka yang berbeda agama telah melampaui kewenangannya.

Beragamnya keputusan pengadilan inilah yang membuat MA menerbitkan SEMA. Artinya dalam hal ini SEMA sebenarnya “membuat keputusan” lebih memilih keputusan PN yang menolak daripada yang menerima untuk mensahkan perkawinan.

Dengan latar belakang tersebut, saya menegaskan prinsip saya:

1. Beragama dan Berkeyakinan adalah HAM, negara tidak berhal mencabut hak itu dari individu manusianya.

2. Karena perkawinan disahkan menurut lembaga agama, maka negara wajib menghormati hal tersebut sebagaimana negara menghormati HAM.

3. Lembaga agama tidak melampaui kewenangannya jika menikahkan orang yang bukan pemeluk agamanya sepanjang hal itu disetujui secara sadar oleh pemeluk agama lain tersebut. Karena pilihan sadar itulah yang menjadi ekspresi pelaksanaan kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia orang tersebut.

Maka, penolakan terhadap sah/tidaknya perkawinan harus dengan membuktikan bahwa pemeluk agama lain tersebut melakukannya tidak atas pilihan sadarnya sendiri.

Di sisi lain, Keputusan hakim dalam sebuah perkara yang diajukan tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan kekuasaan lain yang tidak mendukung terjadinya nilai-nilai keadilan.

Keputusan SEMA telah menunjukkan arogansi terhadap kemandirian pengadilan (termasuk kebebasan Hakim) untuk memutuskan perkara berdasarkan keadilan “pro justicia” dan bukan kekuasaan.

Cabut SEMA No 2 tahun 2023!!!

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang.