Korelasi Kesehatan, Ekonomi Dan Hukum Dalam Masa Pandemi Covid-19

oleh -
Francisca Romana, SH.MH, adalah Pengurus Bidang Hukum dan Perundang-undangan PP ISKA. (Foto: Ist)

Oleh: Francisca Romana, SH.MH*)

JENDELANASIONAL.ID — Pandemi Covid 19 yang melanda dunia termasuk Indonesia berdampak pada semua sektor, termasuk kesehatan, ekonomi dan hukum. Korelasi kesehatan, ekonomi dan hukum dalam penanganan Covid 19, yang akan saya bahas lebih lanjut.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia tanpa terkecuali yang dijamin haknya secara konstitusional. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dinyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Mandat jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) merupakan kesepakatan global, melalui PBB. Sejalan dengan itu WHO pada tahun 1948 telah membuat keputusan bahwa  “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being). Yang ditegaskan kembali pada Konvensi Geneva 1977 , Health for all, (kesehatan adalah hak semua orang). Dengan demikian kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights) yang dijamin oleh negara. Peraturan mengenai jaminan kesehatan masyarakat oleh negara, sebagaimana diatur pada :

  • Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
  • UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
  • UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
  • UU No. 6 Tahun 2018 tentan Kekarantinaan Kesehatan;
  • Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedarutan Bencana Pada Kondisi Tertentu.

Sebagai upaya penanggulangan pandemi Covid 19, pemerintah telah menerbitkan peraturan baru yaitu :

  • Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penangangan Corona Virus Diseasu 2019 (Covid 19);
  • Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid 19;
  • Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) sebagai Bencana Nasional Non Alam;
  • Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid19).
  • Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus  Disease 2019 (Covid 19);
  • Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid19).

Kebijakan lanjutan yang diambil pemerintah adalah menghimbau masyarakat untuk Social Distancing/Physical Distancing, belajar, bekerja di rumah,  penggunaan masker ketika keluar rumah dan sering mencuci tangan serta melakukan pola hidup bersih dan sehat. Namun ternyata himbauan saja tidak cukup memberikan kesadaran penuh kepada masyarakat. Oleh karenanya sesuai dengan PP No. 21 Tahun 2020, Daerah-daerah zona merah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan beberapa daerah lainnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebagai produk hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan masyarakat dari penularan Virus Covid 19. Namun kenyataannya masih terdapat masyarakat yang tidak peduli, ada pula yang skeptis bahkan sinis dan ada pula yang antusias mendukung dengan kesadaran penuh. Lemahnya penegakan hukum dan pengawasan. Hal-hal tersebut menjadikan PSBB tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam penanganan kasus Covid 19 di Indonesia, jumlah pasien semakin bertambah, angka kematian pun semakin melaju.

Presiden Jokowi pada tanggal 13 Mei 2020 telah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PSBB. Namun kejadian-kejadian kerumunan masa di McD Sarinah, IKEA Alam Sutera dan Terminal 2E Soekarno Hatta serta adanya statement yang meremehkan upaya pencegahan Covid 19 oleh Selebram Indira Kalista yang memiliki banyak follower mencerimkan adanya peremehan dan ketidakpatuhan, hal tersebut juga merupakan pelanggaran berat terhadap PSBB.

Kasus-kasus tersebut tidak bisa dianggap sepele terutama dimasa pandemic Covid 19 ini, dimana kesehatan masyarakat menjadi prioritas dan ekonomi menjadi pertaruhan. Tindakan mereka telah membahayakan jiwa masyarakat dan juga tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas, merugikan negara serta dampak sosial dimana terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Masyarakat yang sudah mentaati aturan menjadi berpikir kalau mereka boleh kenapa saya tidak boleh?

Bagaimana apabila akibat kerumunan tersebut ada yang terinfeksi Covid 19 dan meninggal dunia, siapa yang bertanggung jawab dan dituntut, karena dilakukan secara bersama sama. Pasal 359 KUHPidana menyatakan “Barang Siapa atas kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal mati, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau penjara kurungan paling lama satu tahun.”

Kasus-kasus tersebut merupakan bukti bahwa evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya dari sisi hasil angka-angka jumlah pasien positif/sembuh/meninggal tapi aspek lainnya juga yaitu behaviour masyarakat, pengusaha, pemerintah, penegakan hukum dan pengawasannya sehingga PSBB tidak menjadi mindless action.

Tidak bisa dipungkiri pelaksanaan PSBB telah menghambat produktifitas dan pendapatan baik perorangan, pekerja, pengusaha, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun PSBB tetap harus dilaksanakan karena sebagai tindakan preventif dan sebagai upaya untuk kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini adalah kesehatan seluruh rakyat Indonesia, yang tentunya membutuhkan pengorbanan ekonomi yang cukup besar. Disamping itu indikator paling mendasar pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah kesehatan, jika masyarakatnya sakit-sakitan maka tidak akan ada produktifitas yang akan berpengaruh pada pendapatan.

Pemerintah pusat maupun daerah tentunya sudah memperhitungkan secara matang potensi kerugian (loss) nya, seperti berkurangnya pendapatan karena tidak ada kegiatan, banyak sektor bisnis yang terkena dampaknya. Secara otomatis revenue atau pendapatan pemerintah daerah juga berkurang dalam skala nasional karena tidak adanya aktivitas bisnis, akan tetapi sekali lagi berapa besar pun cost yang dikeluarkan, benefit atau manfaat yang kita peroleh tentu lebih besar dari adanya kesehatan itu, karena menghitung nikmat sehat itu tidak semata-mata selalu bisa diukur dari sisi ekonomi saja, dampak atau impact nya akan meluas hingga ke society as a whole.

Lalu bagaimana supaya kesehatan masyarakat terjamin dan roda ekonomi tetap berjalan sehingga tidak timbul permasalahan baru yaitu banyak orang meninggal karena tidak bisa makan, untuk makan harus ada pangan dan pangan tersebut harus dibeli dengan uang. Disinilah peranan hukum diperlukan untuk memfasilitasi kebutuhan kesehatan dan ekonomi masyarakat.  Hukum dibuat untuk mengatur norma dan kehidupan manusia, agar tidak saling mencelakai satu sama lain. Selain itu juga untuk meregulasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat (perorangan, pekerja, pengusaha dan aparatur pemerintah).

Berbagai peraturan telah diterbitkan untuk mencegah penyebaran Covid 19. Namun keberadaan peraturan itu hanya akan menjadi mindless action apabila tidak dibarengi upaya membangun kesadaran hukum masyarakat, pekerja, pengusaha dan aparatur pemerintah untuk mentaatinya. Ketika seseorang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan maka secara otomatis mereka memiliki kesadaran hukum.

Menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat memang tidak mudah namun melalui tindakan nyata oleh aparat penegak hukum dengan tindakan hukum bagi yang melanggar dan penghargaan bagi yang mentaati hukum. Pada masa pandemi Covid 19 ini ternyata selain kampanye kesehatan, diperlukan pula kampanye perlunya kesadaran hukum. Penegakan hukum tidak hanya tentang penghukuman tapi harus pula dibangun kesadaran hukum masyarakat bahwa mengikuti aturan adalah merupakan bagian perlindungan diri bagi masyarakat itu sendiri.

Indonesia adalah negara hukum dan hukum sebagai panglima, orang sama dimuka hukum, seharusnya kesadaran hukum adalah merupakan bagian dari perilaku masyarakat Indonesia, namun sayangnya tidak demikian. Yang ada hukum selalu dibelakang, baru muncul ketika ada kasus hukum. Disamping itu banyak perbuatan-perbuatan pelanggaran hukum yang tidak bisa dijerat oleh hukum. Sebagai contoh pasien yang tidak jujur sehingga membahayakan tenaga kesehatan dan adanya penolakan masyarakat terhadap tenaga kesehatan baik yang hidup ataupun meninggal. Untuk penolakan jenasah memang ada Pasal 178 KUHPidana yang menjeratnya namun ancaman hukumannya hanya satu bulan dua minggu dan denda Rp. 1800.

Upaya perlindungan kesehatan masyarakat akan berhasil dan ekonomi tetapi bisa berjalan apabila seluruh komponen bangsa, yakni masyarakat, pekerja, pengusaha, memiliki kesadaran hukum dan menjadikan kesadaran hukum sebagai upaya perlindungan diri sendiri dan aparat penegak hukum secara terus menerus memberikan kampanye pentingnya taat hukum dengan memberikan keteladanan.

Yuk kita semua sadar dan tertib hukum, bukan untuk siapa siapa tapi untuk melindungi diri sendiri!!  

*) Penulis adalah Pengurus Bidang Hukum dan Perundang-undangan PP ISKA.