Mendorong Kesetaraan Hukum Bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial

oleh -
Alboin Cristoveri Samosir S.H., anggota Depertemen Hukum dan HAM PP ISKA. (Foto: Ist)

Oleh: Alboin Cristoveri Samosir S.H.*)

JENDELANASIONAL.ID – Hak Asasi  Manusia (HAM) merupakan konsep yang senantiasa berkembang. Merujuk kepada sejarah perkembangan HAM tentu saja tidak terlepas dari pemikiran John Locke pada abad ke-17 yang mengatakan bahwa manusia memiliki karunia alami,  hak untuk hidup, hak kepemilikan, dan kebebasan yang tidak boleh direnggut oleh siapapun.

Konsep mengenai HAM semakin matang  pasca perang dunia pertama dan kedua. Peristiwa kelam tersebut membangun kesadaran manusia akan pentingnya pengakuan terhadap manusia, maka lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948.

 DUHAM menjadi titik tolak lahirnya berbagai konvensi yang berkaitan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, salah satunya adalah Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). konvensi  ini mengubah cara  pandang global terkait pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.

Keberadaan CRPD merupakan penemuan penting dalam usaha mewujudkan kesetaraan hak antara Penyandang Disabilitas dan Non-Disabilitas.  Paradigma yang sebelumnya memandang Penyandang Disabilitas sebagai bagian dari charity model dan medicine model perlahan berubah menjadi pendekatan berbasis Human Right.

Pendekatan dengan model Human Right ini memandang bahwa kedisabilitasan bukanlah sebuah gangguan (impairment) melainkan sebuah keberagaman (diversity). Maka dari itu, negara perlu hadir untuk memastikan keberagaman tersebut terjaga dari upaya-upaya untuk mengeliminir hak Penyandang Disabilitas.

Merujuk kepada CRPD, pendekatan ini  tidak terlepas dari upaya melepaskan Penyandang Disabilitas dari belenggu stigma dan diskriminasi yang masih tumbuh di masyarakat,  terutama Penyandang Disabilitas yang bertindak sebagai subjek hukum atau berhadapan dengan hukum.

Penyandang Disabilitas Sebagai Subjek Hukum                          

Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dipertegas dalam Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Hal ini kemudian diatur lebih lanjut dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang (UU)  Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 5 ayat (1) UU  HAM, Pasal 16 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 26 ICCPR yang semuanya menjelaskan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta dimuat dalam  Pasal 4 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 yang menegaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 

Tidak membedakan setiap orang berarti siapapun atas nama warga negara harus mendapatkan kesempatan yang sama dihadapan hukum, tanpa terkecuali Penyandang Disabilitas. hal ini kemudian di akomodir dalam CRPD yang telah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011.

Dalam  Pasal 12 CRPD dijelaskan bahwa negara negara pihak (bagi yang sudah meratifikasi) menegaskan kembali bahwa Penyandang Disabilitas memiliki hak atas pengakuan sebagai individu dihadapan hukum serta mengakui Penyandang Disibilitas merupakan subjek hukum yang setara dengan yang lainnya di semua aspek kehidupan.

Indonesia kemudian menyelaraskan Pasal 12 CRPD ini dalam Pasal 9 UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal ini secara substantif tidak jauh berbeda. Yang pada pokoknya memandang Penyandang Disabilitas merupakan insan yang wajib diberikan kesempatan yang sama oleh negera untuk mendapatkan haknya sebagai subjek hukum.

Pengampuan

Pengakuan hukum yang didesain sedemikian rupa dalam kerangka hukum positif ternyata tidak serta menjadikan Penyandang Disabilitas terutama disabilitas mental dan intelektual atau biasa disebut Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) mendapatkan kesempatan yang sama sebagai subjek hukum. Dalam beberapa kasus, terdapat sejumlah Penyandang Disabilitas yang kemudian dianggap tidak cakap hukum dan tidak layak sebagai subjek hukum.

Secara umum, ODP adalah orang yang mengalami gangguan mental. ODP memiliki gangguan fungsi pikir, emosi dan prilaku yang membuat mereka terhambat dalam kehidupan sehari-hari. Ragamnya dapat terdiri dari gangguan cemas, depresi, bipolar, skizofrenia, dan lain sebagainya.

Gangguan yang dialami oleh ODP oleh negara diterjemahkan sebagai bentuk ketikdaberdayaan dan ketidakmampuan untuk berdiri setara sebagai subjek hukum terutama dalam hal-hal yang bersifat keperdataan. Untuk mengatasi hal tersebut diciptakanlah mekanisme pengampuan.

Mengutip riset yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam kurun waktu 2015-2018 ditemukan 49 kasus yang menetapkan OPD  tidak cakap hukum, hingga kemudian harus mendapatkan pengampuan.

Dalam hukum Indonesia tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian pengampuan, hanya dijelaskan secara genaral dalam Pasal 433 Kitab Undang Hukum Perdata, yang mengatakan, “ Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.

Pasal inilah yang kemudian dianggap menjadi biang kerok dari  praktik-praktik pengampuan yang melukai hak Penyandang Disabilitas (ODP). Pasal ini terlalu prematur untuk memutuskan ketidakberdayaan ODP sebagai subjek hukum.

Mengenai kapasitas legal (hukum) seseorang seharusnya tidak justikasi oleh sebuah regulasi melainkan dibuktikan dalam proses peradilan di pengadilan. Pasal 433 KUHPerdata ini tidak mampu secara jelas membedakan antara kapasitas hukum dan kapasitas mental. Kedisabilitasan diterjemahkan secara keliru sehingga merasa hal tersebut sudah cukup untuk menjadikan Penyandang Disabilitas dibawah pengampuan.

 Proses ini jelas bertentangan dengan paragraf 28 komentar umum CPRD, bahwa setiap orang, terlepas dari kondisi disabilitas atau kemampuannya dalam mengambil keputusan, memiliki Kapasitas Hukum. Penjelasan dalam paragraf 28 inilah yang menegaskan bahwa pelaksanaan kapasitas hukum bukanlah hasil dari penentuan kapasitas mental, sehingga kedua konsep ini tidak boleh digabungkan.

Permasalahan krusial lainnya adalah Pasal ini memiliki inkonsistensi internal. Kriteria pengampaun menjelaskan setiap orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, namun tetap memberlakukan pengampuan yang dijelaskan dalam frasa “sekalipun ia kadang-kadang tidak cakap menggunakan pikirannya.”

Ketidakonsistenan ini  menjadi celah yang mengakibatkan sering sekali ODP mendapatkan pengampaun tanpa restu dan seijinnya, meskipun yang bersangkutan sedang tidak mengalami kondisi relapse.

Pengampuan yang sebelumnya diharapkan membantu ODP ternyata tidak sesuai dengan fakta empirik. Data yang dihimpun oleh LBH Masyarakat menemukan bahwa permohonan pengampuan yang diajukan karena alasan finansial, seperti menjual aset, warisan dan mengambil gaji yang secara gamblang ini justru merugikan ODP.

 Hal ini mengindikasikan bahwa pengampuan yang  meletakkan keluarga terdekat sebagai pengampu (Pasal 434 KUHPerdata) tidak memberikan garansi bahwa pengampuan mampu menjamin dan melindungi hak ODP.

Selain itu, proses pengampuan di pengadilan sering sekali dilakukan hanya seremonial belaka. Surat keterangan sakit yang dijadikan sebagai landasan untuk pengampuan dikabulkan begitu saja tanpa ada proses asesmen dan dukungan lebih lanjut. ODP tidak benar-benar diberikan kesempatan untuk membela diri.

Pengampuan dengan proses seperti inilah yang kemudian menyebabkan kematian perdata. ODP kehilangan haknya sebagai warga negara untuk bertindak sebagai subjek hukum terutama dalam melakukan hal-hal yang bersifat keperdataan seperti jual beli, warisan, perjanjian kerja, dan lain sebagainya.

Supporting Decision Making

Permasalahan fundamental pengampuan di Indonesia adalah mekanismenya  yang masih menggunakan prinsip substitute decision making. Menurut Titik Triwulan (2008), mekanisme ini merupakan paradigma yang mengingkari hak ODP atas kapasitas hukum yang utuh dan setara dengan yang lain.

Merujuk kepada Pasal 32 UU 8 tahun 2016, pengampuan seperti ini membuat relasi kuasa yang timpang kerena menempatkan pengampu dan terampu dalam kedudukan hukum yang tidak setara. Adanya relasi kuasa yang timpang pada akhirnya berimplikasi pada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pengampu kepada pihak terampu.

Mekanisme ini tentu saja sudah usang dan tidak lagi relevan untuk diterapkan berkaitan dengan Indonesia telah meratifikasi CRPD dan sudah memiliki UU 8 tahun 2016, maka dari itu sudah saatnya mekanisme ini diubah menjadi supporting decision making.

Konsep supporting decision making merupakan proses pengampuan yang memungkinkan ODP memiliki otoritatif untuk membuat pilihan tentang kehidupan mereka sendiri yang didukung secara langsung oleh lingkungannya.

 Dukungan yang dimaksud dalam hal ini adalah dukungan secara afirmatif yang dilakukan oleh keluarga psikolog, psikiater, praktisi hukum, maupun praktisi terkait lainnya.

Mekanisme supporting decision making  mengedepankan adanya assesment komprehensif dan pendampingan secara langsung kepada ODP sehingga ketika terjadi pengampaun, tidak serta merta menghilangkan kedudukan ODP melainkan diberikan kesempatan lebih luas untuk menentukan pilihannya.

Berdasarkan riset yang dilakukan Central For Public Representation di Amerika Serikat, melibatkan Sembilan Penyandang Disabilitas berusia 25 hingga 80 tahun menemukan bahwa pengambilan keputusan yang didukung (supporting decision making) adalah alternatif yang efektif untuk pengampuan.

Dalam riset ini dijelaskan bahwa ODP yang didukung dengan mekanisme supporting decision making cenderung mengalami peningkatan kebahagian, peningkatan rasa percaya diri, mendapatkan pengalaman baru, dan rasa kebanggan yang meningkat.

Oleh karena itu, sebagaimana amanat Pasal 12 CRPD dan Pasal 32 UU 8 tahun 2016 sudah saatnya Indonesia menghapus proses pengampuan yang selama ini masih terjebak dalam pendekatan subsitution decision making, karena terbukti mekanisme ini hanya akan memperpanjang diskriminasi bagi ODP.

Negara harus mulai merumuskan pendekatan supporting decision making sebagai mekanisme yang sah dan wajib digunakan saat berhadapan dengan kasus pengampuan. Selain itu, upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah merevisi Pasal 433 KUHPerdata dan turunannya agar lebih humanis dan afirmatif terhadap Penyandang Disabilitas khususnya ODP.

Dengan demikian, harapan ODP  untuk dapat duduk setera dengan masyarakat pada umumnya dapat terwujud, serta  memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama sebagai subjek hukum bukan isapan jempol belaka.

*) Penulis Anggota Depertemen Hukum dan HAM PP ISKA