Pelayanan Publik Kena Objek Pungutan, DPR Diminta Tolak RUU PNBP

oleh -
Ekonom senior Dr Rizal Ramli (kiri) dalam diskusi publik RUU PNBP, di Jakarta, Rabu (1/11/2017). (Foto: ist)

JAKARTA-  DPR diminta menolak Rancangan Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) yang saat ini sedang digodok Komisi XI DPR RI. RUU yang merupakan revisi terhadap UU PNBP Nomor 90/1997 itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, membuat rakyat semakin sengsara, dan akan menggerus elektabilitas Joko Widodo.

Seruan itu disampaikan ekonom senior Dr. Rizal Ramli dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), di Hotel Amaris Tebet, Rabu (1/11/2017). Diskusi menghadirkan pembicara yaitu anggota Badan Legislasi DPR RI Rieke Diah Pitaloka, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng, Koordinator FORMAPPI Sebastian Salang, dan Pengamat Ekonomi Center of Reform on Economic (CORE) Muhamad Faisal.

Menko Perekonomian (2000-2001) ini mengatakan, pajak seharusnya hanya dikenakan pada kegiatan komersial, bukan terkait pelayanan publik, public goods. “Namun, RUU PNBP ini ironisnya mengenakan pungutan (service charge) dalam kegiatan-kegiatan terkait pelayanan publik, yang seharusnya gratis. Di negara liberal seperti Amerika Serikat saja, kegiatan terkait pelayanan publik justru gratis, seperti pendidikan dan kesehatan,” ujar Rizal Ramli.

Menko Maritim dan Sumber Daya 2015-2016 ini mengatakan beberapa kegiatan atau bidang yang akan dikenakan pungutan seperti tercantum dalam RUU PNBP tersebut antara lain uang pendaftaran masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), uang kuliah, pernikahan, perceraian, dan pelayanan rumah sakit.

“Uang pangkal, semesteran, akreditasi, kawin, cerai dan rujuk, kesehatan dll mau kena pungutan PNBP. Kok payah amat sih, kayak ndak punya ide kreatif lain, rakyat mau dipalak?” ujarnya.

Rizal Ramli menegaskan bahwa UUD 1945 sebenarnya sudah sangat maju karena menyatakan pendidikan dan kesehatan merupakan hak rakyat, dan karena itu wajib dipenuhi pemerintah. Namun, melalui RUU PNBP, pemerintah justru ingin memungut bayaran dari aktivitas yang seharusnya gratis itu.

“UUD kita sangat maju karena menyatakan pendidikan itu hak rakyat. Namun, Menteri Keuangan kita (Sri Mulyani) ini keblinger,” ujar Rizal Ramli.

Rizal Ramli juga mempertanyakan peruntukkan uang hasil pajak tersebut. Dia mengeritik karena dana tersebut justru lebih banyak digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang negara yang semakin membengkak.

Seperti diketahui, total cicilan dan bunga utang Indonesia pada APBN-P 2017 mencapai Rp 540 triliun, meningkat menjadi Rp 646 triliun pada APNB 2018. Alokasi anggaran tersebut ternyata lebih besar dibanding anggaran pendidikan pada 2018 yaitu sebesar Rp 440,9 triliun dan infrastruktur sebesar Rp 409 triliun.

Pada era sebelumnya, kata Rizal Ramli, sebagian besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak berasal dari minyak dan gas. Namun, hal ini mau diubah jadi pungutan-pungutan di bidang pendidikan, kesehatan, public goods, dan lain-lain.

Seharusnya, kata Rizal, pemerintah bisa mengintensifkan PNBP dari sumber daya alam seperti batu bara, mineral, nikels, migas, dan bukan memalak rakyat dari sektor pendidikan, kesehatan.

Karena itu, Rizal Ramli mendesak DPR menolak RUU PNBP tersebut, apalagi pembahasannya sangat tertutup dan tergesa-gesa. “Apa saja yang diomongin partai politik? Kok undang-undang yang penting ini sepertinya lolos dari perhatian mereka,” ujarnya.

Rizal Ramli menengarai diamnya anggota DPR menyikapi RUU PNBP itu karena DPR sudah “disogok” pemerintah (Menteri Keuangan) melalui persetujuan anggaran gedung baru sebesar Rp 5,7 trilun. “Karena itu, pembangunan gedung baru DPR ini harus dibatalkan. Ini adalah penyogokan pemerintah pada DPR untuk menggolkan undang-undang yang menyengsarakan rakyat,” ujarnya.

Jika revisi UU PNBP ini disahkan, kata Rizal Ramli, maka elektabilitas Presiden Jokowi akan anjlok. “Jika RUU PNBP yang sangat memberatkan rakyat ini lolos, elektibilitas Pak Jokowi kemungkinan besar akan merosot. Demi setoran kepada kreditor, rakyat akan dibebani dengan berbagai pungutan. Apa memang ini maunya? Apa ini sengaja?” ujarnya.

DPR Minta Dukungan

Rieke mengatakan revisi, UU PNBP Nomor 90 tahun 1997 itu merupakan kebutuhan mendesak. Pasalnya, undang-undang itu mencantumkan 60 ribu pungutan. Salah satunya yaitu pungutan untuk perpanjangan dokumen para TKW yang kembali bekerja di luar negeri.

“Undang-undang ini harus diperbaiki tapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan bukan menambah beban melalui berbagai pungutan,” ujarnya.

Rieke mengaku ada upaya pemerintah untuk memasakan agar RUU Prolegnas ini segera disahkan pada rapat paripurna sebelumnya. Namun, DPR berhasil menunda agar dilakukan pengkajian terlebih dahulu.

“Saya tidak inginkan RUU PNBP ini dibahas secara diam-diam seperti UU Tax Amnesty. Harus ada tranparansi publik, karena itu publik harus dilibatkan. Jangan sembunyi-sembunyi. Untung kemarin itu tidak diputuskan pada masa sidang ini,” ujar politisi dari PDI Perjuangan ini.

Karena itu, Rieke meminta dukungan berbagai pihak agar DPR mampu menolak rancangan undang-undang yang dinilainya menimbulkan ekonomi biaya tinggi karena adanya double tax dan kerancuan dalam pembayaran pajak akibat adanya pungutan ganda.

“Saya termasuk salah satu yang menolak RUU ini. Kalau anggota DPR hanya satu dua orang maka sudah pasti ditolak. Tapi ini kan tidak. Karena itu, kami minta dukungan berbagai pihak. Politik legislasi jangan dibiarkan sendiri,” pungkasnya. (Very)