Polisi dan Politisi di Mata Kita

oleh -
Goris Lewoleba, Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, dan Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA. (Foto: Ist)

Oleh: Goris Lewoleba *)

HARI ini Tanggal 1 Juli 2019 merupakan  Peringatan Hari Kepolisian Republik Indonesia atau yang lazim disebut sebagai  Peringatan Hari Bhayangkara,  yang genap berusia 73 tahun.

Peringatan Hari Bhayangkara yang dirayakan tahun ini, menjadi  terasa fenomenal dan istimewa karena bertepatan dengan Tahun Politik, dimana para politisi menjadikannya sebagai ajang untuk bertarung merebut kekuasaan,  baik melalui Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif.

Sehubungan  dengan itu, maka  adapun hal yang banyak  menyita  perhatian secara moral dan sosial dengan berbagai macam  sensasi yang menyertainya,  adalah Pemilu Presiden.

Pilpres telah dilaksanakan dengan lancar dan sukses, meski berujung akhir di Sidang Mahkamah Konstitusi  dengan menetapkan Joko Widodo dan KH Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk Periode 2019-2024.

Perhelatan politik di tahun politik ini  telah dilaksanakan dengan gegap-gempita  sebagai sebuah Pesta Demokrasi, dengan bermacam  konsekuensi politik  yang telah terjadi.

Konsekuensi politis dimaksud, telah dengan sangat masif mempengaruhi situasi  keamanan dan ketertiban masyarakat.

Terkait dengan situasi yang demikian, maka semua pihak selalu  menggantungkan harapannya  akan  keamanan dan ketertiban  masyarakat kepada satu sosok komunitas Kamtibmas yang tidak asing di mata dan hati kita,  yaitu  Aparat Kepolisian Republik Indonesia.

 

Tugas dan Wewenang  Polisi

Sesuai dengan Pasal 13,  UU No. 2 Tahun  2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, maka ditegaskan bahwa, Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum  dan memberikan perlindungan, pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat.

Lebih lanjut, sebagaimana dikutip dalam humas.polri.go.id (2017),  ditegaskan juga  dalam   Pasal 18 yang  berisi tentang Diskresi Kepolisian yang memuat Kode Etik Kepolisian dengan  menjelaskan fungsi utama dari Kepolisian berupa Tugas Pembinaan Masyarakat (Pre-emtif); yang terkait dengan segala upaya dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundangan-undangan.

Disamping itu, ada juga tugas di bidang Preventif, dimana segala upaya dan kegiatan di bidang kepolisian berkaitan dengan pencegahan untuk keamanan dan ketertiban masyarakat, keselamatan orang, benda dan barang,  termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat.

Kecuali itu, ada juga tugas di bidang Represif,  yang terbagi dalam dua jenis  Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia,  yaitu Represif Justisiil dan Non Justisiil.

UU No. 2 tahun 2002 memberikan peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif Non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1 (1), yaitu wewenang ”diskresi kepolisian” yang umumnya membahas masalah ringan.

Lebih lanjut, dalam sumber yang sama (ibid),  dinyatakan juga bahwa,  KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisil dengan menggunakan azas legalitas bersama uns Criminal Justice System lainnya.

Tugas substansial tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pengadilan dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan demikian maka, apabila terjadi tindak kejahatan, penyidik ​​melakukan kegiatan antara lain,  mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana; kemudian  menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan; lalu, mencari serta mengumpulkan bukti; kemudian, membuat terang tindak pidana yang terjadi.

 

Polisi, Benci tapi Rindu

Dalam penerapan tugas dan wewenang polisi seperti tersebut di atas, kerap kali hal itu dapat  menimbulkan resistensi di tengah masyarakat.

Dikatakan demikian,  karena persepsi masyarakat sudah  terlanjur traumatis atas sikap sebagian oknum polisi yang mengecewakan ketika menangani suatu kasus yang dialami oleh masyarakat.

Oleh karena itu, ada adagium yang mengatakan bahwa, “jangan sampai berurusan dengan  polisi, karena kalau melapor kehilangan ayam, maka sapi pun akan  ikut hilang”.

Meskipun demikian, pengalaman empiris mengatakan bahwa, betapapun masyarakat kecewa dengan kinerja polisi, tetapi pada saat yang sama masyarakat sangat membutuhkan kehadiran polisi di tengah kehidupannya.

Masyarakat membutuhkan keamanan dan kenyamanan sebagai prasyarat kehidupan yang damai dan sejahtera.

Dalam perspektif kontemporer, polisi saat ini  sudah sangat jauh berbeda dan berubah secara impresif.

Polisi kita sudah semakin profesional dan merakyat,  dan hal itu telah diakui oleh  masyarakat di kalangan domestik  dalam negeri maupun di kalangan dunia internasional. Telah  banyak testimoni yang meneguhkan pernyataan itu.

Polisi zaman  now sudah sangat maju dan adaptive dengan kemajuan teknologi dan terampil dalam mengantisipasi perubahan situasi.

Pasalnya, polisi hari ini tidak lagi menggunakan pendekatan dan investigasi konvensional terhadap setiap kasus kriminal yang dihadapi,  tetapi sudah lebih berorientasi pada penanganan kasus kriminal melalui pendekatan “cientific investigation”.

Polisi saat ini juga  sudah amat terampil dalam menangani masalah Kamtibmas dengan basis  kecerdasan intelektual melalui  kombinasi dengan  kecerdasan emosional.

Perhatikanlah, bagaimana polisi  kita sangat piawai dengan kecerdasan emosional yang tinggi,  ketika menghadapi provokasi para pendemo anarkis di depan Kantor  Bawaslu pada beberapa waktu lalu.

Meski dihasut, dilempar dengan batu, dicaci maki  dengan kata-kata kasar dan  kotor, tetapi  polisi tetap sabar dan tenang,  serta meresposn dengan cara yang sebaliknya.

Demikian juga, ketika Polisi mengawal jalannya Sidang MK terkait dengan Sengeketa Perkara Pemilu Presiden  antara Paslon 01 dan Paslon 02, dari sejak  awal sampai berakhirnya sidang,  dengan Pembacaan Keputusan MK Tanggal 27 Juni 2019 yang lalu.

Tugas pengawalan dimaksud telah mereka lakukan dengan sangat aman, tertib dan profesional.

 

Politisasi Polisi

Dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak jarang pula  polisi kerap  dibenturkan dengan berbagai pihak dan kelompok kepentingan.

Perbenturan itu dapat saja dilakukan dengan pihak masyarakat pada umumnya, maupun dengan pihak sesama penjaga keamanan dan penegak hukum, termasuk dengan pihak politisi di negeri ini.

Masih segar dalam ingatan dan   memori publik,  kasus Cicak dan  Buaya antara Insitusi Kepolisian  dengan Lembaga  KPK, yang telah menyisakan aroma persaingan dan rivalitas yang terang benderang.

Hal lain yang dapat  kita saksikan  dengan kasat mata belakangan ini,   yang baru saja terjadi  dalam hubungannya dengan  Hasil Pemilu Presiden, dimana polisi mau dibenturkan  dengan TNI terkait dengan rencana penangkapan dan  penahanan terhadap beberapa mantan Perwira Tinggi Militer  karena  dugaan terlibat rencana kegiatan makar.

Upaya provokasi untuk melakukan politisasi terhadap institusi  kepolisian itu manjadi sirna seketika,  karena kecerdasan emosional yang dimiliki oleh pimpinan Lembaga Kepolisian Republik Indonesia.

Demikian juga dengan  tudingan sebagian politisi terhadap eksistensi  Kepolisian Republik Indonesia, bahwa Polri hanya  sebagai alat kekuasaan belaka.

Hal itupun telah ditanggapi dengan tenang dan profesional melalui unjuk kerja  kepolisian yang mantap dan terukur  di mata publik.

 

Mempolisikan Politisi

Sebagai aparat penegak hukum, polisi melakukan tindakan penegakan hukum terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran hukum, tidak terkecuali para politisi.

Polisi dalam menjalankan tugas pelayanannya, selalu berpegang pada prinsip bahwa,  semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum.

Dengan demikian, maka tidak jarang pula kita menyaksikan para politisi dipolisikan karena diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.

Meskipun demikian, sepanjang yang kita amati, polisi selalu melakukan penanganan setiap kasus yang dialami para politisi secara profesional sesuai dengan ketentuan hukum dan  perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, bagi  kita sebagai warga negara Indonesia, hendaklah kita selalu dan senantiasa menghargai  polisi dan bekerja sama dengan polisi untuk menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Demikian juga, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, kita juga hendaknya mendukung para politisi kita untuk memperjuangkan kebijakan publik demi mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama, atau apa yang disebut sebagai  “Bonum Comunne”.

Oleh karena itu,  maka Polisi dan Politisi di mata kita,  ibarat  seperti dua sisi dari satu mata uang, karena yang satu tidak bisa meniadakan yang lain.

*) Goris Lewoleba adalah Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, dan Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA.