Presiden Jokowi Diminta Perintahkan Jajaran Segera Proses IMB yang Telah Memenuhi Syarat

oleh -
Dekan Fakultas Hukum Unpar yang juga Presidium Bidang Hukum ISKA, Liona Nanang Supriatna. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Proses mendapatkan izin mendirikan bangunan rumah ibadat (IMB) sering kali terhambat oleh berbagai prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Karena itu, umat sering kali menunggu terlalu lama, bahkan dalam kasus tertentu, surat yang ditunggu-tunggu tersebut tidak kunjung terbit.

“Karena itu Presiden Jokowi diminta agar segera memerintahkan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk memproses dalam penerbitan IMB yang sudah memenuhi PBM No. 9 tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 agar sesegera mungkin untuk memenuhi salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights),” ujar Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., dalam acara Peringatan Hari HAM sedunia serta kegiatan Reses I Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Fraksi PDIP Rafael Situmorang, S.H., M.H, yang bekerja sama dengan Lysoi (Lawyers Social Indonesia) pada tanggal 10 Desember 2019.

Terhambatnya proses untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat tersebut, katanya, bertentangan dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Pancasila.

Menurut Liona, yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan itu, pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun sampai puluhan tahun bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkan ijin. Lebih memprihatinkan lagi setelah mendapatkan IMB rumah ibadatpun  tidak bisa diwujudkan.

Disamping itu, katanya, terdapat persyaratan yang tidak masuk akal serta terdapat kewajiban di luar ketentuan yakni mendapatkan rekomendasi dari sekitar 8 instansi dan kepala dinas pemerintahan. Sementara berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, rekomendasi wajib diperoleh hanya dari dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota.

Kemudian berdasarkan Pasal 16 PBM tersebut, permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh Panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB yang akan memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan.

“Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama dan dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi perundang-undangan,” ujar Alumnus Lemhannas RI Angkatan 58 ini.

Selanjutnya menurut Liona, yang juga pengurus ISKA serta Presiden Bandung Lawyers Club, disamping pembangunan rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan, juga harus memenuhi syarat khusus, yakni daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat minimal 90 orang dan mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa setempat. Jika tidak memenuhi di tingkat Desa maka dapat dihitung di tingkat kecamatan dan seterusnya, bahkan jika persyaratan tidak terpenuhi maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Padahal, Indonesai telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) berdasarkan UU No. 12 tahun 2005, yang mengatur  tentang hak dasar kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang melekat pada setiap manusia yang tidak bisa dihilangkan (inalinable right). Hak asasi manusia sebagai hak hukum yang diberikan oleh negara atas penghormatan terhadap martabat manusia itu wajib diwujudkan oleh negara secara maksimal dengan memanfaatkan seluruh sumber daya kekuasaan politik, mulai dari legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Liona menegaskan jika ditelaah lebih dalam Pasal 28 E UUD NRI 1945 yang menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama.

“Selain itu dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri, serta dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  Pasal 4 yang menegaskan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun,” pungkasnya. (Ryman)