Survei SMRC: Mayoritas Rakyat Tolak Jokowi Jadi Capres pada 2024

oleh -
Pemilihan Presiden. (Foto: ILustrasi Mediaindonesia.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Sebanyak 62 persen rakyat Indonesia menolak Presiden Joko Widodo kembali menjadi calon presiden pada pemilihan umum 2024. Kesimpulan ini dipotret oleh survei opini publik secara nasional oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk ‘Sikap Publik Nasional terhadap Amandemen UUD 1945’ yang dirilis secara online pada 15 Oktober 2021 di Jakarta.

Survei opini publik ini digelar pada 15 – 21 September 2021 melalui tatap muka atau wawancara langsung. Sampel sebanyak 1220 responden dipilih secara acak (multistage random sampling) dari seluruh populasi Indonesia yang berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 981 atau 80 persen. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen (asumsi simple random sampling).

Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas, dalam presentasinya, menyatakan bahwa mayoritas warga, 62 persen, tidak setuju atau sangat tidak setuju Presiden Jokowi kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya di pemilihan 2024 nanti. Angka ini jauh lebih banyak dibanding yang setuju/sangat setuju (34 persen).

“Dari Mei 2021 ke September 2021 yang menolak Jokowi kembali menjadi calon presiden pada 2024 naik dari 53 persen menjadi 62 persen,” kata Abbas.

Menurut Abbas, data ini konsisten dengan temuan sebelumnya bahwa semakin banyak warga yang menginginkan masa jabatan presiden dibatasi 2 periode saja, masing- masing 5 tahun.

Abbas menjelaskan bahwa pada dasarnya, 84 persen publik ingin presiden 2 periode saja, tapi ketika disodorkan nama Jokowi untuk kembali menjadi calon pada 2024, pendukung “2 periode saja” cukup banyak yang goyah sehingga tidak lagi 84 persen yang menolak Jokowi kembali menjadi calon meskipun yang menolak Jokowi menjadi calon tetap mayoritas (62 persen).

“Terlihat ada efek Jokowi terhadap sikap publik dalam isu ini,” kata Abbas.

 

Hanya 5 Persen

Sementara itu, survei juga mendapatkan bahwa hanya 5 persen rakyat Indonesia yang menginginkan masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode.

Abbas menjelaskan bahwa pada survei September 2021, mayoritas warga, 84 persen, menilai ketentuan masa jabatan presiden maksimal dua kali, masing- masing selama lima tahun, harus dipertahankan. Yang ingin ketentuan ini diubah hanya 12 persen. Masih ada 5 persen yang menjawab tidak tahu.

“Dari Mei 2021 ke September 2021, yang ingin ketentuan tersebut dipertahankan naik dari 74 persen menjadi 84 persen,” tegas Abbas. “Publik umumnya menghendaki agar masa jabatan presiden maksimal 2 kali dipertahankan”.

Dari 12 persen yang menilai masa jabatan presiden harus diubah, lanjut Abbas, ada 58 persen (7 persen dari total populasi) yang menilai harus diubah menjadi satu kali (untuk 5, 8, atau 10 tahun). Sementara ada 40 persen (5 persen dari total populasi) yang ingin ketentuan tersebut diubah menjadi lebih dari dua kali (masing-masing 5 tahun). Dari total populasi, yang menginginkan masa jabatan presiden harus lebih dari 2 periode turun dari 7 persen pada survei Mei 2021 menjadi 5 persen pada survei September 2021.

Survei ini juga menemukan bahwa keinginan mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden maksimal 2 periode masing- masing 5 tahun adalah pendapat mayoritas di setiap pemilih partai, pemilih capres, yang puas maupun tidak puas dengan kinerja Jokowi, dan di setiap segmen demografi dan wilayah.

Menurut Abbas, data ini menunjukkan bahwa gagasan untuk mengubah ketentuan masa jabatan presiden yang berlaku sekarang (maksimal 2 periode, masing-masing 5 tahun) tidak didukung oleh rakyat pada umumnya. ***