Trias: Pengakuan Trump soal Yerusalem Merusak Proses Perdamaian

oleh -
Pemerhati masalah Timur Tengah, Trias Kuncahyono bersama pengurus ISKA

JAKARTA-Pemerhati masalah Timur Tengah,  Trias Kuncahyono menegaskan kebijakan Presiden AS, Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel  benar-benar menghentikan bahkan merusak proses perdamaian antar Palestina dan Israel. Pasalnya, perjanjian itu sudah mengarah ke solusi dua Negara (two state solution) karena solusi satu Negara tidak mungkin.

“Ada usulan solusi Israel dan Palestina menjadi satu Negara atau semacam Negara federasi. Namun dalam perkembangannya, Israel takut. Karena populasi penduduk Palestina sangat tinggi. Hal ini mengancam eksistensi Negara Israel kedepannya,” ujar ,” ujar  Trias disela-sela diskusi tentang ” Jerusalem Kota Tiga Agama ”  yang diselenggarakan DPP ISKA di di Gedung KWI CIkini, Jakarta, Selasa (19/12) malam.

Seminar ini dihadiri oleh sejumlah pengurus ISKA seperti  Hargo Mandiraharjo, Muliawan Margadana, Putut Prabantoro, Hermien Y. Kleden, Beny Sabdo serta pengurus ISKA lainnya.

Seperti diberitakan, pengakuan atas Yerusalem disampaikan Trump dalam pidato di Gedung Putih pada Rabu (6/12) siang waktu setempat atau Kamis (7/12) dini hari WIB. “Hari ini akhirnya kita mengakui hal yang sudah jelas: Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini semata-mata pengakuan atas sebuah kenyataan,” kata Donald Trump

Sebenarnya, solusi dua negara sebagai jalur terbaik untuk memerdekakan Palestina dan menyelesaikan konflik bertahun-tahun antara negara tersebut dan Israel tengah berproses.

Saat dua negara itu berdamai, Jerusalem Timur menjadi ibu kota Palestina.

“Saya kira, ISKA harus bikin pernyataan tegas soal Yerusalem ini agar masyarakat tahu sikap dan posisi kita seperti apa.  Ini soal kedaulatan Negara .Artinya, kita harus mendukung kemerdeakaan sebuah Negara,” imbuhnya.

Trias menilai sikap pemerintah terhadap masalah Palestina ini sudah tepat.  Hal ini sejalan dengan amanat pembukaan UUD 1945.

Artinya, Indonesia menjalankan politik luar negeri berdasarkan kepentingan bangsa dan Negara Indonesia tanpa harus mengikuti arus politik negara lain.

Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat landasan konstitusional serta tujuan negara yang tercantum pada alinea pertama yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Selain itu,  konstitusi juga mengharuskan pemerintah ikut menjaga ketertiban dunia.

Pada alinea ke empat yang berbunyi “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.

Hal tersebut telah mencerminkan bentuk politik luar negeri Indonesia, bahwa Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat turut serta dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia melalui politik luar negerinya.

“Kita kan mendukung orang yang terjajah. Artinya, Palestina yang dijajah oleh Israel. Melawan penjajahan diatas muka bumi. Jadi, ini politik bebas aktif Indonesia membela yang terjajah,” tuturnya.

Menurutnya, konflik Palestina itu sebenarnya bukan soal agama tetapi konflik kedaulatan. Karena itu, dia berharap agar persoalan Palestina ini jangan digiring menjadi masalah agama. Sebab, akan sangat berbahaya sekali. “Jadi, ini konflik tanah, konflik kedaulatan. Apalagi, wilayah Palestina ini sangat subur,” pungkasnya.