Agama, Demokrasi dan Pemilu

oleh -

Oleh: Ferlansius Pangalila
(Sekretaris ISKA DPC Tomohon)

“Suap janganlah engkau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikan perkara orang-orang yang benar.”
(Keluaran 23:8)

I. Perjalanan Demokrasi Pasca Reformasi

Dua puluh tahun reformasi telah bergulir di Indonesia, dan telah empat kali pemilihan umum dilaksanakan. 2019 nanti Pemilihan umum serentak untuk pertama kali dalam sejarah Negara Indonesia. Dimana pada tanggal yang sama yakni tanggal 17 April 2019 akan dilaksanakan secara serentak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan juga dengan pemilihan legislastif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupten/Kota).

Belum lagi terhitung sudah beberapa kali pemilihan kepala daerah baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan pemilihan bupati/walikota di daerah-daerah selama dua puluh tahun terakhir ini. Pengalaman ini menunjukan semangat perjalanan demokrasi melalui pemilihan umum yang makin maju dan berkembang terus di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pemilihan umum yang bersasaskan “langsung, umum, bebas, dan rahasia” hingga kini telah menghasilkan dua orang presiden pilihan langsung rakyat selama masa pemerintahan hampir lima belas tahun ini. Tetapi sungguh sangat disayangkan kemajuan demokrasi ini juga meninggalkan berbagai macam catatan buruk, tidak sedikit pilihan langsung rakyat dalam pemilihan kepala daerah, yakni gubernur dan bupati/walikota terjerat masalah korupsi. Bahkan di era media sosial kini, kasus-kasus korupsi ini menjadi sajian publik setiap hari seakan tanpa akhir. Jangan-jangan pemilihan umum yang demokratis ini hanya melegitimasi penjahat menjadi pemimpin rakyat yang akhirnya korupsi. Benarkah Demokrasi kita sudah berjalan ke arah yang benar?

Dua puluh tahun reformasi, tetapi beberapa tahun terakhir ini radikalisme dan bahkan eksklusivisme agama menjangkiti politik dan demokrasi yang sementara kita bangun dengan susah payah. Intoleransi dan kekerasan atas nama agama merasuk ke panggung-panggung politik perhelatan pemilihan kepala daerah. Lebih celaka lagi tidak berhenti segera setelah pilkada usai, malah makin menggila masuk kesemua agenda politik berjilid-jilid. Akibatnya stabilitas dan pembangunan ekonomi sepertinya jalan di tempat.

Dilain pihak, masih segar dalam ingatan kita, dan barangkali beberapa korban hingga kini lukanya belum sembuh, peristiwa penyerangan dengan senjata tajam yang melukai beberapa umat bersama pastor di Gereja Katolik St. Lidwina Bedog pada saat Misa beberapa waktu yang lalu. Ini satu dari begitu banyak tindak pidana kekerasan atas nama agama yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun pasca reformasi. Sebagian besar dari peristiwa ini dipercaya ada kaitannya dengan masalah politik. Lantas, politisi dan politikus macam apakah sebenarnya yang berusaha merebut kekuasaan di negara ini? Dan apakah benar agama di Indonesia dapat dimanfaatkan dalam berbagai kepentingan politik?

II. Memulai dengan Harapan

Ini hanya beberapa masalah saja dalam Demokrasi yang ada kaitannya dengan pemilihan umum. Tetapi kita harus lebih optimis melihat harapan demokrasi yang lebih baik dan bermutu di kemudian hari. Salah satu harapan adalah menjadikan agama sebagai bagian dalam perjalanan demokrasi ini. Tidak berarti mencampuradukan urusan agama dengan urusan politik, jauh dari maksud itu. Tetapi bagaimana agama menjadi cahaya yang dapat menerangi jalan dimana demokrasi kita mengarah.

Demokrasi menjadi harapan bagi banyak warga negara, kebebasan, kejujuran, keadilan, toleransi dan saling menghormati hanya dapat terwujud dalam negara yang pemerintahnya demokratis. Harapan ini kiranya sejalan dengan apa yang diperjuangkan juga oleh agama. Hanya dalam negara demokrasi hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Bukankah hal ini juga dijadikan kewajiban oleh agama bagi pemeluknya untuk menghargai dan menghormati hak asasi manusia karena kodratnya sebagai manusia ciptaan Tuhan?

III. Masalah Korupsi dalam Pemilu

Warga negara dan terlebih umat beragama tidak mau menghasilkan pemimpin negara yang korupsi apalagi melegitimasinya melalui pemilihan umum, tetapi memang korupsi dalam pemilihan umum seringkali terjadi dan dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk oleh oknum yang mengatasnamakan agama. Tidak jarang terjadi pada masa sebelum dan sementara masa kampanye, para calon pemimpin atau wakil rakyat memberikan sumbangan baik finansial maupun material lainnya untuk pembangunan tempat ibadah atau fasilitas keagamaan lainnya. Sumbangan ini bisa jadi atas nama kepentingan sosial keagamaan, tetapi kebanyakan justru untuk kepentingan politik (money politics). Walau tak dapat dipungkiri juga bahwa sumbangan seperti ini justru terjadi karena permintaan/permohonan bantuan yang proposalnya ditandatangani/diketahui oleh pemuka/pemimpin agama.

Sejauh bantuan finansial itu benar dimanfaatkan untuk pembangunan tempat ibadah atau gedung keagamaan lainnya, barangkali masih dapat diperdebatkan dalam konteks hukum dan moral. Yang menjadi masalah adalah apabila ternyata bantuan finansial tersebut dimaksudkan sebagai money politics dalam bentuk suap, dan apalagi hanya untuk keuntungan pribadi pemuka/pemimpin agama. Tetapi bukankah tak satupun agama yang diakui oleh negara Indonesia melegitimasi korupsi? Dan semua agama ini menyatakan dengan jelas bahwa korupsi termasuk dalam bentuk suap adalah perbuatan Dosa. Memberi suap dan atau menerima suap dalam pelaksanaan pemilihan umum adalah perbuatan Dosa yang semestinya dihindari oleh umat beragama.

Pemimpin agama hendaknya mengambil peran untuk mendorong umatnya memilih pemimpin yang amanah bukannya koruptor, memilih calon pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas baik secara moral maupun profesional. Umat beragama yang merupakan pemilih harus memilih calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang amanah ini, hindarilah dan jangan pilih karena alasan-alasan pragmatis dan transaksional (money politics). Jangan harap Pemerintah Indonesia bersih dari korupsi jika kita sendiri memilih para koruptor menjadi pemimpin dan wakil rakyat.

IV. Masalah Kekerasan dalam Pemilu

Hal yang masih menjadi momok dalam demokrasi adalah cara-cara memenangkan pemilihan umum dengan menggunakan kekerasan atas nama agama. Terlebih karena dipengaruhi oleh jumlah umat yang mayoritas, dan didukung dengan finansial yang berlimpah, kekerasan seringkali menjadi jalan efektif merebut atau mempertahankan kekuasaan. Beberapa pemilihan kepala daerah telah memberikan contoh dimana konflik dan kekerasan atas nama agama memainkan peran dalam memenangkan atau mengalahkan calon kepala daerah tertentu. Lihat saja Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu. Demontrasi jalanan berjilid-jilid, hoax di media sosial, berbagai dogma/mazhab untuk membenarkan khotbah politik yang berisi ujaran kebencian dan black campaigne, serta berbagai issue SARA yang sangat sensitif disebarluaskan, akhirnya teror dan persekusi terjadi dimana-mana, karena agama telah dijadikan sebagai komoditas politik.

Toleransi antar umat beragama yang didengung-dengungkan ternyata sulit membaur dalam arena demokrasi, karena pemimpin atau tokoh agama telah terkotak-kotak dalam perbedaan kepentingan dan pilihan dukungan politik terhadap partai politik atau calon tertentu. Ternyata tidak hanya agama dan aliran saja yang berbeda tetapi juga termasuk pilihan dukungan politik, dan persaingan politik ini berpotensi menyebabkan intoleransi, konflik dan kekerasan.

Para pemimpin/tokoh agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dan dapat menggerakan umatnya, oleh karena itu jangan sampai mereka mempolitisasi agama. Ini sangat berbahaya apabila pemimpin/tokoh agama mempengaruhi dan menggerakan umatnya untuk melakukan kekerasan demi kepentingan politik semata. Jika hal ini terjadi, apa artinya agama yang semestinya membawa kedamaian dan cinta kasih, suka cita dan kabar gembira, kehidupan dan keselamatan. Bukan membawa konflik dan kekerasan, keresahan dan kabar bohong (hoax), apalagi persekusi dan teror.

Pemilihan umum harus dalam suasana yang damai dan kondusif, sehingga pemerintahan yang terbentuk benar-benar demokratis, hal ini hanya bisa terwujud apabila agama dalam arti pemimpin/tokoh agama beserta seluruh umat beragama saling menghargai dan menghormati perbedaan masing-masing dengan sungguh-sungguh mau menjaga perdamaian dan menolak segala bentuk kekerasan.

V. Masalah Kecurangan dalam Pemilu

Demokrasi hanya bisa terwujud melalui Pemilihan Umum yang jujur dan adil. Beberapa pemilu yang lalu masih diwarnai dengan kecurangan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus yang dilaporkan kepada penyelenggara pemilu maupun kepada lembaga peradilan. Black campaigne dan money politics hanyalah salah satu kecurangan dari berbagai kemungkinan kecurangan. Pelanggaran Administrasi seperti memalsukan data pemilih, manipulasi syarat peserta pemilu, manipulasi hasil penghitungan suara, dan berbagai pelanggaran lainnya, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun oleh partai politik peserta pemilu.

Sungguh paradoks karena kecurangan-kecurangan ini dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mayoritas mengaku beragama. Bukankan kecurangan dan semua bentuk pelanggaran itu dirumuskan sebagai Dosa oleh masing-masing agama yang diakui ini? Jika kejujuran menjadi ukuran rohaniah bangsa Indonesia, maka nilai Ketuhanan yang maha esa sebagai sila pertama Pancasila sungguh amat memprihatinkan.

Dimana peran Agama dalam menangkal ketidakjujuran atau kecurangan-kecurangan yang masih mungkin terjadi dalam pemilihan umum, walau negara telah berupaya semaksimal mungkin dengan berbagai regulasi untuk mencegah dan menindak pendosa yang curang tersebut? Agama hendaknya menjadi pelopor kejujuran, tidak mendiamkan apalagi menyetujui money politics dan suap yang terjadi pada saat kampanye, sekalipun bantuan finansial atau material tersebut untuk pembangunan sarana dan prasarana ibadah.

VI. Masalah Diskriminasi dalam Pemilu

Primordialisme masih menjadi alasan umat beragama memilih calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang mempunyai kesamaan agama, keyakinan, atau bahkan aliran. Kecendrungan ini masih sering ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, dan hal ini menyebabkan para calon yang berkualitas tidak bisa menang dalam pemilihan umum.

Perbedaan agama sering dijadikan alat untuk mengalahkan lawan politik dalam pemilihan umum. Hal ini terjadi karena sikap ekslusif dan curiga terhadap orang yang berbeda agama bisa jadi telah terpupuk sejak usia dini. Bagaimana pengaruh pendidikan dan terlebih ajaran agama yang tertanam sejak masa kecil mempengaruhi sikapnya terhadap orang yang berbeda terlebih berbeda agama.

Peranan pimpinan dan tokoh agama dalam menjaga toleransi dan terlebih memberikan pemahaman bahwa Indonesia bukanlah negara agama tertentu. Sehingga kelompok atau agama minoritas (soal jumlah umat) tetap dihargai dan dihormati hak-hak politiknya, dan tidak boleh diabaikan. Kelompok minoritas ini dapat mengajukan calon pilihan mereka, karena pemilihan umum adalah kesempatan yang sama bagi semua warga negara yang berkualitas untuk bersaing secara sehat menjadi pemimpin atau wakil rakyat.

Umat beragama juga sebagai pemilih pasti akan memilih calon yang berkualitas secara moral/integritas yang baik, dan memiliki intelegensi politik yang mumpuni. Umat akan memilih calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang berkualitas, profesional, jujur, anti korupsi, amanah, pro rakyat, kompeten, kredibel dan adil.

VII. Mengakhiri dengan Harapan

Agama menjadi harapan yang besar bagi negara Indonesia untuk mengawasi pribadi-pribadi umatnya dalam berpolitik. Tetapi batas antara agama dan negara haruslah sangat jelas, urusan agama tidak dapat dicampuradukan dengan urusan negara. Dan mestinya agama dan negara bersifat otonom dan tidak saling tergantung, walaupun demikian umat beragama juga sekaligus warga negara pada waktu yang bersamaan. Tetapi tindakan umat beragama dalam berpolitik adalah tindakan dan tanggungjawabnya sendiri sebagai warga negara bukan atas nama agama yang dianutnya.

Pemilihan umum bertujuan untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Presiden dan Wakil Presiden bersama dengan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta pemerintah daerah dan semua kelengkapan negara bersama-sama menjalankan roda pemerintahan yang semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Agama wajib mengawasi berjalannya pemerintahan, dan terus menerus mengingatkan pemerintah hasil pemilihan umum, untuk tetap memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat sampai terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedaulatan benar-benar di tangan rakyat. Betapa pentingnya pemilu ini, sehingga perlu keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh warga negara untuk menyeleksi pemimpin yang berkualitas dan bertanggungjawab. Warga negara jangan hanya terlena dengan janji-janji para calon yang sedang mencari simpati hanya pada saat kampanye, apalagi diantara mereka sampai mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli suara rakyat (money politics), dan setelah mereka terpilih mereka menjauhi rakyat. Oleh karena itu penting sekali kita bersama-sama menjaga dan menjamin kualitas demokrasi agar berjalan dengan baik ke arah Indonesia sejahtera.

Tomohon, 06 Maret 2018