Ada 115 UU Bertentangan dengan Konstitusi, Din Syamsuddin Serukan “Jihad Konstitusi”

oleh -
Webinar Pergerakan Mahasiswa dengan tema “Pancasila dan Kebebasan Berpendapat” yang diselenggarakan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sabtu (6/6/2020). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Webinar Pergerakan Mahasiswa dengan tema “Pancasila dan Kebebasan Berpendapat” yang diselengarakan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sabtu (6/6/2020) membahas persoalan – persoalan kebebasan berpendapat yang harus diperhatikan oleh pemerintah Jokowi dimasa new normal.

Webinar dibuka langsung oleh Korneles Galanjinjinay Ketum (GMKI), serta dihadiri oleh Prof. Din Syamsuddin Sebagai Pembicara Kunci serta Narasumber dari Kelompok Cipayung Plus yaitu Najih Prastiyo Ketum DPP (IMM), Arya Kharisma Ketum PB (HMI), Imanuel Cahyadi Ketum DPP (GMNI), Benidiktus Pappa Ketua Umum PP (PMKRI), Ahamd Riyadi Bendum PB (PMII), Muhamad Asrul Ketua Umum EN (LMND), I Kadek Andre Nauba Ketua Umum PP (KMHDI), Elevan Yusmanto PP (KAMMI), Ari Sutrisno Ketua Umum PP (HIKMAHBUDHI).

Ketua Umum Pengurus Pusat (GMKI), Korneles Galanjinjinay mengatakan bahwa Pancasila atau seperti yang diungkapkan Bung Karno menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong, belum diterapkan dalam kehidupan bangsa dan negara kita

Menurut Korneles, tema kebebasan berpendapat bukan hal baru. Hanya saja, webinar ini digelar ketika terjadi pembungkangan dimana-mana, seperti terjadi di Fakultas Hukum UGM.

“Kalau Pemerintah memaknai betul nilai-nilai Pancasila, maka Pemerintah harusnya melindungi warga negaranya dalam menyampaikan pendapat di ruang publik, tapi kalau melihat kondisi bangsa hari ini dimana terjadi teror dan ancaman terhadap kebebasan berpendapat maka sesungguhnya Pemerintah sendiri belum memahami nilai nilai Pancasila, sebagai mana terkandung dalam Sila ke-2 Kemunusiaan, sila ke-4 Demokrasi, dan sila ke-5 Keadilan sosial,” ujar Korneles.

Seharusnya, kata Korneles, pemerintah melindungi kebebasan berpendapat di ruang publik maupun di dalam mimbar akademik, dan bukan sebaliknya pemerintah justru membungkam suara mahasiswa dan rakyat dalam memperjuangkan keadilan.

Prof. Din Syamsuddin sebagai narasumber kunci dalam “Orasi Kebangsaannya” memaparkan kebebasan itu bersifat sakral, fundamental dan tidak boleh dihalangi. Sebagai intelektual muda dan warga negara justru kita harus mengembangkan sikap loyal kritis dalam berbangsa dan bernegara.

“Artinya kita loyal dalam negara dan bangsa dimana kita berada yang the founding father sudah letakkan. Loyal juga kepada pemerintahan yang sah hasil pemilu demokratis berdasarkan konstitusi. Namun kritisme sebagai rakyat warga negara tidak harus terhalangi. Karena kritisme atau sikap kritis intelektual muda memang harus kritis terhap perjalanan bangsa ini,” ujar Din.

Terkait adanya tuduhan terhadap dirinya untuk melakukan pemakzulan, Prof. Din Syamsudin mengatakan bahwa hal itu tidak benar. “Saya diminta untuk berbicara sebagai keynote speaker tentang sebuah webinar yang temannya menyoal kebebasan berpendapat terkait konstitusional pemakzulan presiden terhadap peristiwa di fakultas Hukum UGM yang dilarang. Dan saya disana berbicara sebagai Guru Besar Pemikiran Politik Islam yang sebenarnnya setiap semester saya perkuliahkan,” ungkap Din Syamsuddin.

Sejak tahun 2010, kata Din, organisasi yang dipimpimnya, Muhammadyah, pernah menyusun buku kecil dengan banyak pakar, yang didalamnya ditemukan adanya banyak distorsi dan deviasi dalam kehidupan nasional kita, mulai dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 45. Selama era reformasi sampai 2010, kata Din, pihaknya menemukan bahwa terdapat 115 UU yang bertentangan dengan konstitusi bahkan sampai dengan UUD 45 yang sudah dilakukan amandemen sejak 2002.

“Persoalan ini harus kita review atau istilah saya ‘jihad konstitusi’. Melihat kondisi hari ini UU Minerba ini justru menimbulkan peluang bagi asing masuk. Maka dari itu kita harus meluruskan kiblat bangsa karena baik Pancasila dan UUD 45 mengalami penyelewengan. Dan sistem politik Indonesia yang ada sekarang yang mengamalkan elemen doktrin paling liberal kalau dikaitkan dengan sila ke-4 dari Pancasila. Kalau menurut istilah saya jauh pangang dari pada api,” ujar Din.

Selain meluruskan kiblat bangsa ini, katanya, yang bisa dilakukan adalah mengkoreksi perjalanan kehidupan nasional kepada pemangku amanat. Dan ini sangat tidak mudah, sangat sensitif bisa dituduh tidak suka dan bisa dianggap mau melengserkan. “Tapi kalau tidak ada fungsi kritik, tidak ada fungsi control maka akan merajalela. Apalagi power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely masih berlaku,” kata Din.

Terkait Perppu No 1 tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU, kata Din, undang-undang itu sejatinya belum bisa disahkan. Karena berdasarkan konstitusi, jika UU itu diajukan pada masa sidang sekarang, maka baru masa sidang yang akan datang baru boleh dibahas. “Tapi ini sudah dibahas dan ketok  palu perpu itu. Dan kami mengugat,” ujarnya.

 

Kebijakan yang Tak Proporsional

Sementara itu, Ketua Umum PB (HMI), Arya Kharisma mengatakan kebebasan berpendapat sudah selesai dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Hal itu tertuang di dalam UUD 45 pasal 28 yang menyatakan hak bagi setiap warga negara untuk mengemukan pendapat. Dan hak tersebut bukan diberikan pemimpin dalam arti Presiden tapi itu diberi oleh konstitusi UUD 45, yang di atasnya lagi ada Pancasila yang bisa kita sebut sebagai staats fundamental norm. Oleh karennya semua orang dari personal dan institusi memimpin negara ini harus menghargai hak tersebut.

Terkait kritisisme para mahasiswa UGM, katanya, hal itu terjadi karena adanya keresahaan masyarakat atas kebijakan pemerintah selama ini.

“Kebijakan yang miss dan kebijakan yang tidak proposional itu akan melahirkan ketidak percayaan kepada pemerintah,” pungkas Arya. (Ryman)