Daur Ulang Skenario Demonstrasi Mahasiswa pada 23 September

oleh -
Seminar Kebangsaan yang mengambil tema “Muara Unjuk Rasa: NKRI Mau Dibawa Ke Mana?” bertempat di Balai Sarwono, Jl. Madrasah No. 14, Kemang, Jakarta Selatan, Kamis, (3/10/19). (Foto: Jendelanasional)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Kegaduhan dan gelombang aksi unjuk rasa akhir-akhir ini menjadi dinamika dalam perjalanan bangsa Indonesia yang harus dibaca dari beragam sudut pandang. Aksi demonstrasi di tanah Papua yang telah menelan korban meninggal dunia yang tak sedikit membekas luka yang dalam di hati setiap anak negeri.

Adanya gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi hampir secara serentak dan merata di seluruh pelesok negeri, belum lagi rentetan aksi di gedung MPR/DPR RI dan Istana yang dilakukan secara berturut-turut adalah sederet persoalan nasional yang tidak bisa disepelekan. Artinya, membutuhkan perhatian lebih dari setiap komponen dan elemen bangsa.

Pengamat Sosial Politik Rudi S Kamri mengatakan kegaduhan yang terjadi selama ini ada tujuan khusus dari kelompok tertentu seperti mafia migas, kelompok bekas order baru dan lain sebagai upaya melengserkan Jokowi dengan memanfaatkan letupan-letupan kecil tersebut.

“Karena itu, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, saya menyarankan agar membentuk tim untuk menyusun pasal-pasal ini untuk mendapatkan gambaran besar, sehingga presiden memperoleh gambaran utuh atas kasus dan kegaduhan yang terjadi akhir-akhir ini. Beruntungnya, para pengawal Jokowi cukup kuat mengawal pemerintahan ini, sehingga sampai saat ini pemerintah Jokowi masih aman terkendali,” ujar Rudi dalam Seminar Kebangsaan yang mengambil tema “Muara Unjuk Rasa: NKRI Mau Dibawa Ke Mana?” bertempat di Balai Sarwono, Jl. Madrasah No. 14, Kemang, Jakarta Selatan, Kamis, (3/10/19).

Seminar ini menghadirkan para pembicara antara lain analis Ekonomi Politik, Christianto Wibisono, Analis Pertahanan dan Militer, Connie Rahakundini, dan Pengamat Intelijen, Suhendra Hadikuntono. Acara itu dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Indonews.id, Asri Hadi.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Ekonomi Politik Christianto Wibisono. Ia mengatakan ada persengkokolan para elit dan politisi yang men-design aksi-aksi ini untuk mengulang kembali sejarah kelam masa lalu bangsa ini, rincinya sejarah 1966 dan 1968.

Menurutnya, skenario ini persis adalah daur ulang mirip penolakan laporan pertanggung jawaban Habibie yang berdampak pengunduran diri Habibie.

“Seperti penolakan BEM atas gesture Presiden menerima di Istana, Persis seperti kala Mayjen Soeharto menolak Presiden Sukarno ke Halim 1 Oktober 1965,” kata Christianto.

Pengamat Intelijen, Suhendra Hadikuntono dalam penjelasannya mengatakan masalah pokok soal koflik selama ini adalah terletak pada masalah komunikasi pada tim intelijen. Peran inteligen saat ini tidak kuat.

Soal kasus-kasus selama ini, ia mencotohkan bagaimana peran intelijen ketika Indonesia berkonflik dengan Vietnam yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap orang-orang Indonesia di Vietnam. Kasusnya terselesaikan dengan senyap.

“Naluri inteligen itu harus diasah. Saya berharap Presiden sudah paham dan juga bisa merasakan bahwa tanpa kemampuan unit intelijen yang kuat bisa mengancam stabilitas keamanan negara,” ungkap Suhendra.

 

Hampir Terjadi Kudeta

Sementara itu, Connie Rahakundini mengatakan, demonstrasi yang terjadi beberapa waktu lalu itu hampir saja berujung kudeta. “Jadi kita ini satu detik lagi pak, kalau Panglima TNI dan Kapolri enggak kuat, kudeta sudah terjadi kemarin. Ini apa people power kok,” kata Connie.

Connie menganggap, perang yang terjadi saat ini bukan dilihat dari perang fisik seperti perang-perang yang terjadi sebelumnya. Namun, perang yang terjadi di latarbelakangi kemajuan teknologi dan digital dengan smartphone yang mudah dimiliki.

”Aksi demonstrasi yang melibatkan komponen mahasiswa yang diikuti kalangan siswa STM tak lepas dari pesan group WA atau media sosial,” katanya.

Connie mengaku mendapatkan informasi dari organisasi mahasiswa Cipayung bahwa aksi demonstrasi yang terjadi kemarin telah didesain oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki afiliasi dengan salah satu partai politik di Indonesia.

”Yang terjadi kemarin merupakan tugas berat yang harus diemban BIN dan Bais. Ke depan jika mereka gagal mengantisipasi, maka revolusi bisa pecah,” katanya.

Selain itu, katanya, pemerintah, terutama TNI, harus membuat strategi dengan mengalokasikan anggaran besar dalam mengantisiapsi perang masa depan atau peran modern seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir.

“Ancaman terbesar dari bangsa ini adalah mis-information dan propaganda sosial media. Sosial media itu paling berbaya,” ujar Connie.

Connie juga menyarankan agar menteri kabinet segera dibentuk. Dia berharap, Presiden Jokowi tak terlalu lama memilih orang-orang yang dianggap tepat menjadi pembantunya. “Jadi saya berharap pilih menteri yang punya intelegensia yang baik, enggak usahlah titipan ini, titipan itu,” ujarnya. (Ryman)