Dimana Posisi Geopolitik Indonesia dalam Krisis Rusia-Ukraina?

oleh -
Forum Diskusi - FoKus - Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Channel menghadirkan duet ahli hukum internasional, pengajar Akademi Hukum Kementerian Hukum Rusia, Moskow, Dr. Raymond Jr. P Sihombing S.H., M.Sc. serta Dr. Ali Muhamad, Pemerhati Masalah Eropa dan Dosen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Presiden Joko Widodo telah menyatakan sikap Indonesia terkait situasi krisis di Ukraina. Presiden Jokowi mengatakan “Penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan.”

Pernyataan tersebut konsisten dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Bila Presiden Jokowi menyebut Rusia melakukan ‘invasi’ maka terlihat keberpihakan Indonesia terhadap Ukraina yang didukung oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat serta Australia.

Presiden Jokowi juga menghindari diri untuk membuat pernyataan yang membenarkan sikap Presiden Putin untuk mengakui dua Republik baru yang merupakan pecahan dari Ukraina, yaitu Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk.

Oleh karena itu, siapapun yang kalah ataupun menang dalam kemungkinan perang di Ukraina tidak bisa menuduh Indonesia memiliki keberpihakan.

Sikap Presiden Jokowi ini menurut Pemerhati Masalah Eropa dan Dosen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr. Ali Muhamad terkesan normatif.

“Pernyataan Presiden Jokowi memang menunjukkan Indonesia bebas aktif dalam menjalankan politik luar negeri. Namun, kita melihat telah terjadi penjajahan yang sangat vulgar dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina,” ujarnya dalam acara Forum Diskusi (FoKus) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Channel yang digelar secara daring di Jakarta, Sabtu (26/2).

Diskusi bertajuk “Posisi Geopolitik Indonesia dalam Krisis Rusia – Ukraina?” itu juga menghadirkan pengajar Akademi Hukum Kementerian Hukum Rusia, Moskow,  Dr. Raymond  Jr. P Sihombing S.H., M.Sc. Acara tersebut dipandu Prasetyo Nurhardjanto, Presidium Pusat ISKA & VP ICMICA – Pax Romana Asia Pasific.

Menurut Ali, peryataan Jokowi tersebut memang bersifat normatif dan netral. Jika Indonesia membuat pernyataan yang keras – menyerang Rusia – maka konsekuensinya bukan tidak ada.

“(Kalau mengeluarkan pernyataan keras terhadap Rusia) maka punya konsekuensi, seperti kita punya kerja sama militer dengan Rusia. Menteri Pertanahan juga belanja militer ke Rusia. Karena itu, arahnya, saya kira normatif saja, seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, sangat normatif dan netral,” ujarnya.

Karena itu, dia berharap Indonesia harus aktif menjadi pihak penengah dalam konflik tersebut, dan bukan sekadar netral atau normatif saja seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.

Dr. Ali Muhamad, Pemerhati Masalah Eropa dan Dosen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dia mengatakan sejatinya, serangan Rusia ke Ukraina merupakan tindakan penjajahan dan dilakukan dengan bentuk yang sangat vulgar. Apalagi alasan di balik penyerangan tersebut tidak masuk akal, seperti untuk melindungi kelompok minoritas di Ukraina, dan menjaga keamanan dua wilayah yang sudah dideklarasikan oleh Rusia menjadi negara merdeka.

“Sacara normatif saya bisa memahami posisi Rusia melakukan serangan, namun tidak bisa menerima pelanggaran tersebut. Kerena yang terjadi ini bukan pada pelanggaran pada ukraina tapi pada tata dunia internasioanl,” ujarnya.

Hari-hari ini dan ke depan, antara Rusia dan Ukraina, katanya, akan terjadi perang kota yang sangat khaotik dan panjang. Pasalnya, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky telah mempersenjatai warga sipil. “Hal ini akan menjadikan perang panjang dan khaotik. Dengan dipersenjatainya warga sipil maka akan membuat situasi menjadi tidak terkontrol,” katanya.

Amerika Serikat dan NATO, menurut Ali, hanya sebatas mengutuk keras sambil mempersenjatai negara mitranya. Karena itu NATO hanya mengirim bantuan kepada negara mitranya seperti Estonia, Polandia dan Latvia tidak sampai pada intervensi militer. Pasalnya, kekuatan Rusia teramat kuat dibandingkan dengan Ukraina.

“AS hanya sebatas mengutuk keras, tidak ada pilihan lain kecuali hanya mengutuk keras. Rusia sangat kuat, karena itu, menghadapi Rusia, NATO tidak mau berspekulasi. Karena itu, ancaman Perang Dunia III, seperti ditakutkan banyak pihak, tidak akan terjadi.” katanya.

Untuk menyudahi perang tersebut, setidaknya masyarakat Internasional khususnya negara-negara Uni Eropa harus memberi sanksi ekonom kepada Rusia. Seperti diketahui, bahwa Rusia merupakan pemasok gas yaitu sebesar 40 persen bagi negara-negara Uni Eropa. Namun, pilihan ini juga, kata Ali, sangat riskan.

“Jika Uni Eropa memutuskan saluran gas, yang merupakan jaringan pipa Rusia, maka sebenarnya mereka juga akan sama-sama hancur,” ujarnya.

Sanksi lainnya, kata Ali, yaitu membekukan sistem keuangan Rusia. Karena kita sudah hidup di abad ke-21, dimana terjadi saling ketergantungan satu sama lain.  Bukan masih hidup di abad ke-18, ketika dunia sangat tergantung pada satu atau dua kekuatan saja.

 

Perang Antara Negara Satu Rumpun Etnis, dengan Bahasa Berbeda

Sementara itu, Pengajar Akademi Hukum Kementerian Hukum Rusia, Moskow,  Dr. Raymond  Jr. P Sihombing S.H., M.Sc mengatakan, Bangsa Rusia dan Bangsa Ukraina sebenarnya merupakan satu rumpun etnis, kendati tidak sama bahasanya. Hal ini mirip dengan Indonesia dan Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam.

Dari etimologinya, Ukraina, berasal dari “U” yang berarti jauh, “Kray” yang berarti batas, dan “Na” yang artinya tempat. Jadi Ukrayna berarti Rusia yang ada di pinggiran, yang dekat dengan perbatasan, Kray. Dengan demikian, Negara Ukraina merupakan negara/daerah strategis yang menghubungkan Eropa Barat dan Eropa Timur.

Sejak tahun 2014 lalu, sudah terjadi operasi militer  terhadap Ukraina atas perintah Presiden Rusia. Hal ini merupakan kerja sama Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang diakui oleh Rusia dan Belarus. Dan ini merupakan buah dari peristiwa 2 Mei 2014.

Hubungan kerja sama Rusia dan Ukraina sudah terjadi sejak tanggal 14 Februari 1992 hingga 22 Februari 2022. Sejak pembubaran Uni Soviet yang ditandai dengan Penandatanganan Perjanjian Pembubaran Uni Soviet pada 25 Desember 1991, maka sejak tanggal 14 Februari 1992, Rusia dan Ukraina menjadi negara yang  berdiri sendiri. Dan kedua negara  tersebut saling menjalin hubungan diplomatik secara baik dengan membuka kantor kedutaan di negara masing-masing. Rusia mempunyai kantor kedutaan di Kiev dan empat konsulat di empat kota. Demikian pula Ukraina mempunyai empat konsulat di empat kota dan satu Kedutaan Besar di Moskow.

Berakhirnya hubungan diplomatik antara Rusia dan Ukraina, terjadi pada 22 Februari 2022, tepat di pagi hari. Malam sebelumnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin mengumumkan pelaksanaan “Operasi Militer Khusus” terhadap Ukraina.

Operasi itu dilakukan untuk membebaskan daerah Donetsk dan Luhansk, sekaligus untuk mendemiliterisasi dan mende-Nazi-fikasi Ukraina dari gerakan Neonazi yang muncul di kalangan generasi muda di Ukraina.

“Namun, sangat disesalkan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakhiri hubungan diplomatik pada tanggal 22 Februari 2022. Dengan demikian, secara Hukum Internasional, Ukraina tidak lagi memiliki hak untuk mengadakan perundingan dengan Rusia yang dia minta (oleh Presiden Ukraina), karena sudah tidak ada lagi hubungan diplomatik. Dengan kata lain, dia yang menceraikan, dia juga yang meminta untuk baik kembali. Atau ibarat ‘cinta lama bersemi kembali’. Hal ini tidak sesuai aturan internasional,” ujarnya.

 

Beberapa Insiden Sebelumnya

Raymond mengatakan ada beberapa insiden antara kedua negara tersebut sebelum akhinrya pecah perang pada Kamis (24/2).

Pertama, pada 21 November 2013 hingga 17 Februari 2014, terjadi “Euromaidan”. Perisitiwa ini ditandai oleh demonstrasi besar-besaran pada saat Pemerintahan Presiden Viktor Yanukovych, yang pro Moscow, yang menuntut ditandatanganinya Perjanjian Penggabungan Ukraina ke Komunitas Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Dengan demikian, hal ini bertujuan untuk menggabungkan kembali Ukraina ke Uni Eropa.

Sehari setelah peristiwa “Euromaindan”, yakni tanggal 23 September 2013, Presiden Viktor Yanukovych berjanji untuk menandatangani perjanjian tersebut, namun dengan syarat bahwa para demonstran harus kembali dulu ke rumah masing-masing dan tidak merusak fasilitas umum, dan lain-lain. Akan tetapi demonstrasi berubah menjadi “chaos” dan makar mulai tanggal 18 Februari 2014 hingga puncaknya 24 Februari 2014, terjadi kudeta, sehingga Presiden Yanukovych harus melarikan diri dengan helikopter bersama keluarga (orang tua beserta istri dan anak-anaknya) ke suatu tempat yang aman, yaitu di Kota Rostov, Rusia, dan statusnya menjadi pengungsi demi keselamatan dia dan keluarganya.

Kemudian Dewan Keamanan Federal Rusia mengadakan sidang rahasia untuk membicarakan tindakan keamanan aset-aset Rusia yang berada di Ukraina yang telah diberikan Ukraina setelah pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991.

Kedua, pada awal Maret 2014, ada lagi demonstrasi besar-besaran dengan Bendera Rusia yang mengatakan bahwa “kita berdekatan dengan Rusia, maka kalau kita bergabung dengan Komunitas MEE, maka Rusia akan merasa tersinggung”.

Ketiga, peristiwa di Lapangan Maidan dan juga peristiwa pembakaran sebuah gedung, yakni Gedung Prosayus pada tanggal 2 Mei 2014 yang menewaskan 10.000 sampai 15.000 anak-anak dan ibu-ibu yang sedang menonton sebuah konser. Menurut informasi, anak-anak dan ibu-ibu yang ada dalam gedung itu adalah warga Ukraina yang berbahasa Rusia. Saat itu gedungnya ditutup dari luar dan dibakar.

Keempat, reaksi Ukraina Timur dengan membawa umbul-uUmbul Santo Georgius, yakni Santo Pemenang karena mereka berkeyakinan bahwa mereka akan menang sebagaimana masa Perang Dunia Dua.

Sejak tahun 2014 hingga tahun 2022 ini, korban kekerasan terbanyak di daerah Donetsk dan Luhansk.

Kemudian, pada tanggal 6 Oktober 2014 dilaksanakan “Minsk Agreement 2” di Kota Minsk untuk sebuah gencatan senjata. Tapi kemudian gencatan senjata itu tidak ditaati, baik oleh pihak separatis (Donetsk dan Luhansk), dan Pemerintah Ukraina Barat.  Dalam “Minsk Agreement 2” ini  menghasilkan 13 poin yang intinya adalah gencatan senjata.

Pertanyaannya kenapa ada operasi militer Rusia ?

“Karena tidak ditaati hasil ‘Minsk Agreement 2’ oleh Pemerintah Ukraina. Selain itu ada monitoring dari Eropa Barat untuk segala aktivitas keamanan di daerah Eropa, dialoq dengan para separatis tanpa senjata, penentuan status khusus untuk Daerah Donetsk dan Daerah Luhansk, pembebasan tawanan perang, akses bantuan kemanusiaan di daerah konflik hingga pemulihan etnis. Hal ini sangat penting digarishawahi karena hubungan antar etnis sudah rusak sejak tahun 2014.

Terakhir, adalah Amandemen Konstitusi Ukraina tentang status khusus daerah Donetsk dan Daerah Luhansk, karena di dua daerah tersebut, bisa dikatakan sebagai daerah-daerah yang di atas 90% berbahasa Rusia dan memiliki dua status kewarganegaraan (dua paspor), yakni  kewarganegaraan Ukraina dan Rusia, sebagaimana di Negara Rusia.

Dan yang terjadi sekarang adalah operasi militer bersama NATO secara besar-besaran yang diikuti oleh 40 negara yang dinamakan SEA BREEZE, atau Latihan Militer Rusia di perbatasan Ukraina yang dibentuk pada Juni 2021. ***