“Dwi Fungsi” Polri dalam Dinamika Perpolitikan di Indonesia

oleh -
Dwi Fungsi Polisi. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — LP3ES kembali menyelenggarakan Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik dengan menyoroti isu menguatnya peran kepolisian dewasa ini yang diiringi dengan berbagai tindakan yang bertolak belakang dengan pemenuhan HAM. Untuk membahas hal tersebut, tiga pakar terkait konteks isu Kepolisisan yaitu Al Araf, M. Haripin, dan Malik Feri Kusuma.

Forum series ke-15 ini, seperti dibuka oleh Wijayanto selaku Direktur Center for Media and Democracy. Dia menegaskan ada peranan Polri dalam dinamika politik Indonesia akhir-akhir ini. Misalnya, pada Pilkada Serentak 2020 yang secara digital paling aktif dikampanyekan oleh Polres Trenggalek.

Di kasus Omnibus Law pun akun-akun yang mengklaim diri mereka sebagai polisi pun turut mengangkat isu-isu Omnibus Law. Jokowi juga memberikan peran yang begitu besar kepada polisi untuk ada di PSSI (Komjen Mochammad Iriawan), Kementerian Dalam Negeri (Jenderal Pol. (Purn.) Tito Karnavian), Kementerian Industri (Komjen Setyo Wasisto), KPK (Komjen Firli Bahuri), dan sebagainya.

Realita yang terjadi ini mengingatkan kita kepada tesis Jacqui Baker yang pada tahun 2012 mengungkapkan bahwa setelah reformasi, posisi dominan TNI dalam pemerintahan di Orde Baru akan digantikan oleh Kepolisian.

Diskusi ini menyoroti argumentasi tersebut dari berbagai sudut pandang pembicara yang telah menjadi pakar di bidang kepolisian.

M. Haripin membuka paparan pembicara dengan menerangkan empat aktivitas polisi yang berlangsung selama era demokrasi terkait dengan korupsi.

Pertama, invitational edge yang memanfaatkan wewenang/diskresi yang dimilikinya untuk memungut/menerima uang tidak sah dari pihak lain. Kedua, slippery slope yang mengacu pada pungutan kecil-kecilan, sporadis termaksud gratifikasi, sogokan dan hasiah. Ketiga, noble cause di mana Polisi menerika uang tidak sah untuk keperluan “baik”, misalnya bensin dalam kegiatan patroli, konsumsi personel, dll. Keempat, predatory policing yang mengacu pada penggelapan, pencurian, penyelewengan wewenang secara sistematis dan menerima suap demi memperkaya diri sendiri, atasan, patron, dll.

Haripin juga menyinggung terkait rivalitas Polri dan TNI, dari tahun 1999-2015. Setidaknya ada 421 bentrokan dengan 60 personil yang tewas.

Lebih lanjut, ada pula political activism yang melibatkan Polri. Ada dua tipe aktivisme politik Polri. Pertama, berdasarkan kepentingan institusional yang dilakukan untuk membangun/mempertahankan soliditas internal, menangkal ancaman, tekanan, atau gangguan dari aktor eksternal, mengimbangi kekuatan aktor keamanan dan penegak hukum lain.

Contoh kasusnya terdapat dalam Cicak Vs. Buaya, perdebatan soal RUU Keamanan Nasional, penempatan perwira dalam pos-pos strategis, dan kekerasan dan intimidasi terhadap aktor penegak hukum lain.

Kedua, berdasarkan pertahan rezim yang dilakukan karena adanya relasi patron-klien antara elite partai dan polisi, penilaian bahwa pemerintahan rezim sama dengan pertahanan polisi dalam melawan oposisi, insentif elektoral dan keuntungan ekonomi-politik.  Contohnya terdapat dalam kasus kriminalisasi terhadap aktivis/pembela HAM dan jurnalis, delegitimasi oposisi dan tokoh di luar pemerintah/bekas pejabat, operasi siber dan pengerahan buzzer, dll.

Malik Feri Kusuma merespons paparan Haripin dengan menyoroti dua faktor untuk mengubah institusi Polri menjadi lebih baik. Pertama adalah faktor internal dari anggota-anggota kepolisian yang memiliki pemikiran progresif dan humanis. Lalu, kedua adalah faktor eksternal yang berupa situasi sosial, ekonomi dan politik.

Selama pandemi Covid-19, upaya-upaya Kepolisian sudah menunjukan pelayanan terhadap publik walaupun dari segi penegakan hukum masih ada beberapa kasus yang bertolak belakang dari pemenuhan Hak Asasi Manusia. Untuk membangun citra Polri yang positif di masyarakat, pelayanan menjadi hal yang krusial. Ia juga menyampaikan bahwa Polisi di era demokrasi memang harus lebih bijaksana dalam merespons kritik-kritik dari masyarakat sehingga tidak berujuang pada tindakan pidana.

Salah satu isu kepolisian yang sering dipermasalahkan oleh masyarakat adalah penggunaan praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penyidikan. Praktik tersebut perlu untuk dihilangkan karena menurut catatan KontraS, sering sekali terjadi pada Polres dan Polsek.

Kemudian, dalam konteks pengendalian massa aksi. Sering ditemukan dalam proses pendampingan aksi protes, misalnya dalam isu penolakan UU Cipta Kerja, juga menggunakan kekuataan yang dianggap masyarakat berlebihan.

Sementara itu Al Araf menyampaikan perspektif keamanan di Indonesia dewasa ini yang cenderung bersifat keamanan negara dan bukan keamanan manusia. Dalam konteks keamanan di era demokrasi, katanya, ada penolakan terhadap pembatasan HAM dan martabat manusia. Faktor inilah yang dalam beberapa kasus dilanggar oleh Kepolisian.

Dinamika Polri sangat tergantung dari arah tujuan politik negara dalam membangun keamanan dan demokrasi. Dinamika politik yang berkembang di Indonesia sangat mempengaruhi dinamika dalam Polri.

Jika arah dan tujuan politik negara membangun keamanan yang demokratis, maka reformasi Polri penting mengedepankan rule of law dan penghormatan HAM dalam mendorong reformasi Polri. Faktanya, kecenderungan politik negara selama ini mengarah pada demokrasi militan yang dapat diamati dari pengaturan beberapa regulasi dan praktik kekuasaan yang membatasi HAM dan tidak sejalan dengan prinsip negara hukum.

Dengan mengangkat isu potensi dominasi Polri dalam dinamika politik Indonesia, LP3ES berikhtiar untuk membuka perspektif masyarakat sipil agar fenomena “dwi fungsi” tidak terulang dengan Kepolisian sebagai porosnya.

“Karena jika hal tersebut terjadi, maka praktik otoriter yang dilakukan rezim akan semakin jelas dan terang, sejalan pula semakin keruh penerapan nilai demokrasi secara substansial”. (Ryman)