Hargo: Fenomena Politisasi Agama Contoh Buruk Bagi Demokrasi Indonesia

oleh -
Ketua Presidium Pusat ISKA V. Hargo Mandirahardjo

JAKARTA-Ormas Katolik Indonesia mendukung penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mengawal pemilu agar berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil.

Sebagai warga Gereja dan warga Bangsa, ormas Katolik harus memiliki tekad kuat merawat komitmen kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Demikian ditegaskan oleh para pimpinan ormas Katolik di tingkat nasional dalam “Refleksi Akhir Tahun” di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Mereka adalah Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik (PK) dan Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI).

Hadir dalam acara ini, Ketua Presidium Pusat ISKA V. Hargo Mandirahardjo dan Sekretaris Jenderal Benny Sabdo, Ketua Presidium ewan Pengurus Pusat WKRI, Justina Rostiawati dan Sekretaris Jenderal E. Srihari Lestari, Ketua Presidium Pusat PMKRI,  Angelo Wake Kako dan Sekretaris Jenderal Bernardus Tri Utomo, Ketua Umum Pengurus Pusat PK Karolin Margret Natasa dan Sekretaris Jenderal  Christopher Nugroho dan Sekretaris Nasional FMKI, Veronica Wiwiek Sulistyo.

“Tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan presiden secara serentak. Ormas Katolik menyerukan agar kontestasi pilkada dan pemilu tidak menggunakan, menyalahgunakan, memanfaatkan kampanye SARA radikalisme, dalam bentuk ujaran kebencian serta kampanye hitam sebagai instrumen meraih kekuasaan,” ujar Ketua Presidium Pusat ISKA V. Hargo Mandirahardjo.

Hargo mengakui, pilkada telah menciptakan jarak baru sebagai warga negara, antartetangga, bahkan dalam keluarga. Perpecahan antarkelompok masyarakat menjadi buah yang harus dipetik dari pertarungan politik identitas.

Menurutnya, fenomena politisasi agama merupakan contoh buruk bagi demokrasi Indonesia. Polarisasi seperti itu menjadi kontra produktif bagi Indonesia yang majemuk.

“Sementara, bangsa Indonesia memiliki sejarah yang buruk terkait konflik sosial berbau SARA,” tuturnya.

Hargo mengaku, Pilkada dan pemilu serentak adalah pilihan sulit terbaik yang harus diambil demi perbaikan proses konsolidasi demokrasi.

Untuk itu, Ormas Katolik mendukung penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk mengawal pemilu agar berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil.

“Selain itu, dukungan penuh pemerintah, peran serta masyarakat dan berbagai elemen bangsa –termasuk TNI dan Polri, adalah syarat mutlak terselenggaranya pemilu yang demokratis, transparan, aman, dan damai,” terangnya.

Lebih lanjut, dia menilai persoalan intoleransi berlabel agama masih menjadi problem kebangsaan yang harus menjadi perhatian bersama anak bangsa.

Demonstrasi berlabel agama, dugaan makar, kekerasan kelompok intoleran, memburuk nya kondisi pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan hingga terorisme memenuhi diskursus ruang publik kita selama tahun 2017.

Beragam aksi yang merongrong idiologi Pancasila menyeruak.

Bahkan ancaman perpecahan bangsa menjadi isu sentral yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

“Mencari solusi pelbagai persoalan tersebut tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, cendekiawan, elit politik, pengusaha, serta generasi milenial yang kelak akan menjadi pemimpin di negara ini,” tuturnya.

Senada dengan Hargo, Sekjen ISKA, Benny Sabdo mengatakan pentingnya Ormas Katolik mengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Hal ini menjadi mendesak bagi para anak bangsa untuk merawat komitmen kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan keberagaman.

Pancasila dapat menjamin tekad bangsa Indonesia yang majemuk untuk saling menerima karena lima sila sebagai dasar, cita-cita dan norma-norma dasar yang dimiliki bersama oleh bangsa Indonesia.

Lima sila Pancasila ini berakar dalam kekayaan budaya Indonesia, demi terciptanya Indonesia yang adil, sejahtera dan tanpa sekat.

“Sebagai warga Gereja dan warga Bangsa kami bertekad untuk Merawat Komitmen Kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbhineka tunggal ika dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” pungkasnya.