Jika Pemda Sumbar Bergeming, Larangan Natal Harus Direspon Pusat

oleh -
Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin (GKI Yasmin) di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi menggelar ibadah Paskah di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat (foto: dok/ilustrasi).

Sumatera Barat, JENDELANASIONAL.ID –Umat Nasrani di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat diberitakan tidak bisa merayakan Natal 2019. Bukan hanya perayaan Natal dan Tahun Baru, umat Kristen Protestan dan Katolik di dua kabupaten itu juga tak bisa melakukan ibadah layaknya umat beragama lainnya.

Rapat pemerintahan Nagari (kelurahan) Sungai Tambang baru-baru ini, yang terdiri dari ninik mamak (penghulu adat), tokoh masyarakat, dan pemuda setempat, menghasilkan kesepakatan untuk tidak mengizinkan kegiatan ibadah dalam bentuk apapun secara bersama-sama termasuk perayaan Natal. Pemerintahan Nagari dan ninik mamak juga meminta agar orang-orang Kristen di Sijunjung membuat surat perjanjian tidak melaksanakan ibadah apapun, termasuk Natal.

Pengamat sosial politik yang juga intelektual Muslim, Muhammad AS Hikam mengatakan, hal itu tentu tak bisa dibenarkan walaupun, konon, kebijakan tersebut memakai alasan otonomi daerah. “Faktanya ada ummat Kristiani di sana dan tentu mereka berhak melaksanakan ibadah dan merayakan Natal tersebut,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/12).

Menurut Hikam, solusi yang bermartabat dan sesuai hak kewarganegaraan RI harus dicarikan. “Pemda Sumbar dengan aparatnya, saya rasa, lebih dari mampu untuk menemukan solusi tersebut. Kita percayakan saja kepada mereka. Namun apabila Pemda Sumbar bergeming, yang harus segera merespon adalah Pemerintah pusat dan aparatnya! Semoga Natal bisa dirayakan oleh umat Kristani di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Seperti dikutip dari Voaindonesia.com, larangan melakukan ibadah dan perayaan Natal wilayah itu sudah berlangsung lama. Setiap tahunnya, umat Nasrani di dua kabupaten tersebut kerap ditolak untuk melakukan ibadah secara berjemaah.

Hal itu diungkapkan oleh salah seorang jemaat dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Sungai Tambang, Andi (bukan nama sebenarnya). Di wilayahnya bermukim terdapat tiga denominasi HKBP dengan umat terdata 120 kartu keluarga (KK). Lalu, Katolik 60 KK, dan Gereja Bethel Indonesia sekitar 30 KK.

“Memang dari awal kami selalu ditolak tapi kami belum mau banyak bicara ke publik karena kami juga mengusahakan bagaimana bernegosiasi. Jemaat sudah terlalu jenuh dengan hal-hal begini,” kata Andi kepada VOA, Selasa malam (17/12).

Lanjutnya, penolakan ibadah umat Nasrani di dua kabupaten tersebut sudah terjadi sejak awal tahun 2000. Menurutnya, sekelompok warga menolak pelaksanaan ibadah dan pernah membakar rumah yang digunakan sebagai tempat kebaktian umat Katolik. Akibat pembakaran rumah tersebut, umat Katolik antara tahun 2004 hingga 2009 di Jorong Kampung Baru tidak dapat melaksanakan kebaktian secara berjamaah. Umat Katolik hanya melaksanakan kebaktian secara pribadi di rumah rumah masing-masing.

“Intinya kemarin itu ya jelas mereka menolak, bukan hanya sebatas ibadah Natal. Tapi semua bentuk ibadah. Mereka izinkan kalau ibadah di rumah masing-masing. Bagaimana mungkin ada izin ibadah di rumah, itu konyol. Mereka tidak pernah izinkan ibadah berjemaah. Kalau kami ingin beribadah jemaah maka harus di tempat ibadah yang resmi. Itu sama saja dengan menolak, bagaimana resmi mereka tidak izinkan,” ujar Andi. (Ryman)