Kepala BNPT Paparkan Program Inovatif Terkait Korban Terorisme  

oleh -
Kepala BNPT Boy Rafli Amar. (Foto: Ist)

New York, JENDELANASIONAL.ID – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, MH, mengungkapkan pentingnya perlindungan korban terorisme saat berpidato pada “First United Nations Global Congress of Victims of Terrorism” yang diselenggarakan oleh United Nations POffice of Counter-Terrorism (UNOCT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas PBB, New York, Kamis (8/9/2022) waktu setempat.

“Indonesia percaya bahwa tujuan Kongres ini, dalam memetakan jalan ke depan melalui pendekatan yang berpusat pada korban serta mempromosikan dan melindungi hak-hak korban, dan mendukung kebutuhan mereka,” ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT di Jakarta, Sabtu (10/9).

Dalam kaitan ini, ungkap Boy Rafli, Pemerintah Indonesia sangat mendukung tema Kongres “Memajukan Hak dan Kebutuhan bagi Korban Terorisme”. Menurutnya, melindungi korban dan menghormati hak dan kebutuhan mereka merupakan elemen penting dalam upaya Indonesia melawan terorisme.

Hal ini berprinsip di bawah dua kerangka legislatif penting yaitu: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme; dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Pendampingan Saksi dan Korban.

“Aturan yang pertama berfokus pada sarana untuk perlindungan korban terorisme, sedangkan yang kedua menyediakan sarana untuk dukungan dan bantuan kepada korban terorisme. Tanggung jawab utama ada pada BNPTdan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” jelas Boy Rafli.

Ia memaparkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2022, Pemerintah telah mencatatkan lebih dari 900 korban, di antaranya lebih dari 700 telah menerima santunan. Ini hanya sebagian kecil dari dukungan yang diberikan oleh Pemerintah, terlepas dari bantuan dan dukungan lainnya.

Untuk tujuan ini, lanjutnya, Pemerintah terus memberikan bantuan medis yang diperlukan kepada para korban; rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis; dan bantuan kepada keluarga korban yang meninggal secara tragis. Ini adalah hak korban dan penyintas, kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah.

Selain itu, cara-cara dan program-program baru yang inovatif dapat diadopsi dalam memajukan hak-hak dan kebutuhan para korban. Indonesia telah mencatat adanya kemajuan pada dua program unggulan yang ingin dibagikan dalam Kongres ini, yaitu: Pertama, Silaturahmi Kebangsaan atau biasa disebut program rekonsiliasi nasional.

“Sebuah program yang dirancang untuk memperkuat rekonsiliasi antara korban terorisme dan mantan pelaku teroris. Program ini memberikan hasil positif sebagai kekuatan untuk memaafkan,” terangnya.

Kedua, KTN (Kawasan Terpadu Nusantara), di mana mantan narapidana teroris, korban/penyintas, dan masyarakat setempat diberdayakan untuk mengembangkan komunitas, melalui tiga sektor penting, yaitu pendidikan, ekonomi, dan pariwisata.

“Namun, program-program unggulan tersebut tidak bisa sepihak. Pemerintah tidak bisa bertindak sendiri. Penting, untuk memastikan bahwa sebelum dan selama implementasinya, pendekatan Pentahelix atau pendekatan multi-stakeholder diutamakan,” tutur Boy.

“Kesimpulannya, negara bertanggung jawab dalam memajukan hak dan kebutuhan korban dan penyintas terorisme. Indonesia siap untuk itu,” imbuhnya. ***