Litani Kekerasan FPI, Rizieq Shihab Bukan Tokoh “Untouchable”

oleh -
Rizieq Shihab

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Tewasnya 6 orang anggota organisasi  Front Pembela Islam  (FPI) saat mengawal pimpinan FPI Muhammad Rizieq Shihab (MRS) di tangan polisi menyisakan serangkaian kontroversi di ranah publik. Pandangan pro dan kontra, dengan rasionalitasnya masing-masing, muncul secara intens di media. Hingga sekarang ruang publik masih diisi perbedaan cara pandang atas tewasnya 6 orang anggota FPI itu.

Pihak polisi mengklaim bahwa peristiwa tersebut muncul karena para pengawal MRS lebih dulu menyerang polisi, sebaliknya  FPI menyatakan bahwa enam anggotanya  yang tewas itu merupakan korban dari apa yang disebut sebagai extra judicial killing yang dilakukan oleh polisi. Ini merupakan dua titik pandang yang saling berseberangan.

“Namun demikian, terlepas dari kasus yang sesungguhnya, Almisbat menyesalkan peristiwa tersebut. Almisbat pun meyatakan berbelasungkawa atas wafatnya keenam anggota FPI itu. Bagaimanapun juga, peristiwa yang merengut 6 orang anggota masyarakat seperti itu, tidak sepatutnya terjadi,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) Hendrik Sirait melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (10/12).

Di sisi lain, kata Hendrik, Almisbat juga setuju sepenuhnya bahwa sebagai bagian  dari masyarakat sipil, pihaknya harus bersikap kritis terhadap polisi terkait tewasnya 6 orang FPI itu. Pengusutan lebih lanjut atau upaya meminta pertanggungjawaban Polri agar kasus ini transparan juga harus dilakukan (apapun hasilnya), termasuk misanlya penyelidikan yang dilakukan PROPAM Mabes Polri atau penyelidikan yang tengah dilakukan Komnas HAM.

Namun, Almisbat memandang dan menggarisbawahi bahwa masyarakat juga harus bersikap kritis terhadap sikap FPI terkait kasus ini. “Untuk itu, Almisbat menyerukan agar masyarakat tidak menerima begitu saja sikap/pernyataan FPI bahwa kasus kematian 6 anggota FPI itu merupakan 100% extra judicial killing. Klaim semacam itu perlu pembuktian lebih lanjut,” ujarnya.

Penting untuk dicatat bahwa sejak kedatangannya kembali ke Jakarta, MRS cenderung membuat resah dan mengusik ketenangan pubik. Alih-alih membuat tenteram masyarakat, sekembalinya MRS, mendengungkan kembali narasi yang menyuarakan ekspresi kebencian.

Lebih dari itu, pernyataannya yang seolah memberi legitimasi bagi pemenggalan kepala dari orang-orang yang mengkritik Islam telah memanaskan situasi sosial dan memperuncing relasi-relasi sosial keagamaan di Tanah Air.

Hendrik mengatakan, masyarakat Indonesia masih menyimpan memori tentang bagaimana rekam jejak tindak kekerasan dan teror MRS dan FPI terhadap kelompok-kelompok rentan termasuk minoritas agama di Indonesia. Masyarakat juga mencatat bahwa berbagai tindakan persekusi yang dilakukan FPI terhadap kelompok-kelompok minoritas agama di Tanah Air terjadi beberapa kali di sejumlah tempat di Indonesia.

Salah satu bentuk aksi kekerasan yang dilakukan FPI, menurut Hendrik, adalah penganiayaan terhadap para aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang melakukna demonstrasi memprotes surat keputusan bersama tentang Ahmadiyah pada 1 Juni 2008 di lapangan Monas, Jakarta.

Di samping itu, FPI juga melakukan tindakan yang mengarah pada upaya menghalangi kebebasan menyatakan pendapat di ruang publik. Sedikitnya selama ini tercatat telah lima kali FPI melakukan aksi pembubaran paksa.

 

Litani Kekerasan FPI Termasuk Jargon NKRI Bersyariah

FPI kemudian membubarkan kegiatan diskusi publik yang di gelar kelompok Sipil, SETARA Institute dengan tema “Menghapus Diskriminasi, Membangun Perlindungan Holistik Jaminan Beragama/Berkeyakinan di Jawa Barat”.

Padahal acara itu diadakan bersama para korban diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, perwakilan organisasi keagamaan dan sejumlah LSM pegiat HAM, di sebuah hotel The Amaroossa, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/1/11).

FPI menggeruduk acara tersebut karena menuding pemberitaan yang dilakukan Setara Institute sering membuat laporan-laporan yang mendiskreditkan umat Islam

Selanjutnya, puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) Surabaya membubarkan rencana diskusi terbatas forum lintas agama di Hotel Inna Simpang, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Kamis (13/1/2013). Mereka menggeruduk hotel dan meminta agar pengelola hotel membatalkan kegiatan tersebut.

Ketua Tanfidziyah FPI Surabaya, Muhammad Mahdi al-Habsyi mengatakan, dia bergerak dengan alasan pertemuan lintas agama itu telah ditunggangi oleh Ahmadiyah dan kelompok gay serta lesbian. Mereka menggunakan momentum kedatangan Presiden SBY untuk menggelar seminar.

Selanjutnya, FPI membubarkan paksa diskusi teologi Islam-Kristen. Sepuluh (10) anggota FPI membubarkan diskusi dan bedah topik teologi Islam Kristen di Surabaya, Jawa Timur, (13/06/2013). Mereka memaksa masuk ke dalam area acara dan menghentikan pembahasan yang ada dalam kitab suci agama Kristen dan Islam itu.

Kemudian, FPI membubarkan diskusi buku di Salihara. Diskusi dan peluncuran buku di Komunitas Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dibubarkan polisi dengan alasan tidak memiliki izin. Pembubaran itu atas desakan ratusan massa Front Pembela Islam yang datang ke lokasi kuliah umum dan peluncuran buku Iman, Cinta dan Kebebasan oleh tokoh feminis asal Kanada, Irshad Manji, Jumat, 4 Mei 2012.

FPI, selanjutnya, membubarkan diskusi buku Tan Malaka di Surabaya. Acara bedah buku Tan Malaka di C20 Library Jalan Dr Cipto, Surabaya, Jawa Timur batal digelar. Sebab, selain sempat dilarang pihak kepolisian, acara itu juga disoroti oleh pihak Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur.

Selain FPI, hadir juga beberapa elemen yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur. Mereka memprotes keras gelar acara tersebut, sebab sosok Tan Malaka adalah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka menyatakan tak peduli, meski Tan Malaka juga salah satu tokoh pejuang.

Selain itu yang lebih mengerikan jargon atau kampanye tentang NKRI bersyariah yang acap disuarakan seperti menjadi upaya Rizieq dan FPI untuk ingin mengubah bentuk dasar negara yang sudah final sehingga berpretensi mengancam kohesi kebangsaan yang direkatkan pada kesatuan yang dilandasi pada keberagaman.

 

Bukan Tokoh Untouchable

Lebih dari itu, posisi MRS saat ini juga penting untuk dinilai secara kritis. Sejak kedatangannya kembali para pengikutnya cenderung memposisikannya sebagai tokoh untouchable (tidak tersentuh). Oleh karenanya, berbagai protokol kesehatan menyangkut Covid 19 dilanggar oleh MRS sejak kedatangannya ke kembali ke tanah air. Kerumunan massa, dalam berbagai event kedatangannya, muncul berkali-kali di ruang publik.

Upaya MRS yang selalu menghindari pemanggilan polisi terkait kerumunan yang bersumber dari dirinya, kata Hendrik, ditambah dengan upaya menghalangi petugas oleh para pengikut MRS, justru memperkuat penilaian publik bahwa dirinya sama sekali tidak patut dijadikan teladan.

Berbeda dengan dengan pejabat publik seperti Gubernur DKI Jakarta, Wagub DKI Jakarta serta Gubernur Jawa Barat yang semuanya bersedia dipangggil pihak kepolisian untuk memberikan klarifikasi terhadap kerumunan massa, MRS justru menolaknya. Sikap MRS ini memperlihatkan bahwa dirinya digdaya di mata hukum dan mau menang sendiri. Belum lagi ketidakterbukaan dan pembangkangannya terhadap upaya pemeriksaan status kesehatannya oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor saat dirawat di salah satu Rumah Sakit Swasta di Bogor, semakin menjadi bukti ketidak patuhannya terhadap aturan.

MRS yang memperlakukan dirinya secara istimewa di publik sesungguhnya secara langsung ataupun tidak langsung menggambarkan bahwa dirinya dapat melakukan apa saja secara semena-mena terhadap siapapun termasuk aparatus negara.

“Terkait soal ini Almisbat menyerukan sekaligus mendukung upaya Polri untuk dapat lebih bersikap tegas terhadap MRS. Polri harus menunjukkan ke publik bahwa tidak seorang pun di negeri ini yang memperoleh perlakukan istimewa dan  tidak tersentuh oleh hukum apapun alasannya,” pungkasnya. (Ryman)