Mahfud MD Bicara Kemajuan Kampung, Pembangunan Daerah Hingga Politik Kebangsaan

oleh -
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD. (Foto: Dokumen Pribadi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD berbicara tentang “Politik Kebangsaan, Pembangunan Daerah dan Kampung Halaman” yang digelar oleh Universitas Paramadina secara online pada Rabu malam (29/9).

Dalam acara selama satu jam itu, Prof Mahfud berbicara panjang lebar mulai dari memajukan kampung halamannya, Madura, KPK hingga persoalan “kriminalisasi ulama” – yang menurutnya tidak tepat.

“Kalau ditanya bagaimana cara memajukan Madura, sebenarnya orang asal Madura yang maju itu tidak kembali ke Madura karena kurangnya fasilitas disana,” ujar Mahfud MD memulai diskusi yang dipandu oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini tersebut.

Karena itu, salah satu upaya yang dilakukan, kata tokoh yang lahir di sebuah desa di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 13 Mei 1957 itu adalah dengan memajukan pendidikan. Karena itu, di Madura didirikan berbagai Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta. Selain itu, pesantren bertebaran di pulau tersebut.

“Jadi salah satu ide yang bisa diberikan adalah memajukan pendidikan terlebih dahulu dengan cara mendirikan banyak sekolah-sekolah disana,” ujar Mahfud MD – yang memiliki nama asali Mohammad Mahfud tersebut.

Selain itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan, Madura dikenal dengan produksi garam. Namun karena biaya distribusi yang mahal maka ada rencana untuk membangun pelabuhan.

Selain itu ada wacana dari pemerintah juga untuk membangun tol di Madura. Namun hingga kini masih banyak yang menolak rencana tersebut.

“Tentu saja akan banyak penolakan karena akan terjadi penggusuran dan juga di pinggir jalan itu akan susah jika ingin berjualan kembali. Cuma (rencana pembangunan jalan tol ini, red.) masih akan didiskusikan hingga mendapatkan kesepakatan,” katanya.

Menteri Pertahanan RI (2000-2001) mengatakan diskusi memang sangat dibutuhkan agar pemerintah dapat mengambil sebuah keputusan sehingga hasilnya bisa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Ya memang inilah zaman demokrasi, semuanya kita diskusikan mana yang baik. Tentu pada saatnya nanti pemerintah memutuskan mana yang terbaik,” ujarnya.

 

Pemerintah Tidak Anti Islam

Prof Mahfud juga menyinggung pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa pemerintahan saat ini anti Islam. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM RI (2001) itu mengatakan pengertian anti Islam adalah membenci Islam, malu terhadap Islam atau takut terhadap Islam (Islam Phobia). Mahfud mengatakan keheranannya karena saat ini hampir semua posisi penting di pemerintahan diisi oleh orang Islam.

“Kalo dilihat sekarang pemerintah itu hampir semuanya Islam seperti NU, Muhammadiyah, HMI, sangat dominan hingga eksekutif, legislatif hampir semuanya Islam,” katanya.

Karena itu, katanya, tidak ada “politik anti Islam” karena hampir semua aspirasi orang Islam diterima dan dilaksanakan pemerintah. Dia menyebutkan misalnya Undang-undang Pesantren, ditetapkannya Hari Santri, hingga adanya Dana Abadi Pesantren – yaitu dana untuk pengembangan pesantren.

“Bagaimana bisa dikatakan anti Islam kalau sudah seperti itu. Bagaimana dikatakan anti Islam jika misalnya ada kekalahan dalam pemilu, sedangkan yang menang juga beragama Islam. Negara Indonesia ini bukan negara Islam tapi negara Islami yang menerapkan budaya dan nilai-nilai keislaman,”  ujarnya.

Karena itu, Mahfud juga menolak anggapan adanya “kriminalisasi ulama”.  ”Kriminalisasi sendiri kan memiliki arti orang yang tidak melakukan kejahatan namun dikriminalisasikan, dia dipidanakan. Sedangkan saat ini ulama bebas berbicara apa saja asalkan tidak memprovokasi, membuat ujaran kebencian, dan lain-lain,” katanya.

 

Buzzer Hama Demokrasi

Ditanya tentang peran buzzer alias pendengung, Prof. Mahfud mengatakan bahwa para buzzer merupakan hama demokrasi. Namun munculnya buzzer tersebut merupakan konsekuensi dari sebuah demokrasi. “Kalau di era dulu kan berbicara jelek mengenai presiden saja bisa hilang. Sedangkan sekarang dapat berbicara apa saja kemudian menyerang beramai-ramai,” katanya.

Terkait menurunnya indeks demokrasi Indonesia – yang menjadi salah satu sasaran kritik kelompok oposisi saat ini – mantan anggota DPR RI ini memiliki jawaban yang cespleng.

Dia mengatakan bahwa indeks demokrasi tersebut bukan hanya ditentukan oleh pemerintah, tapi bergantung pada budaya masyarakat Indonesia. Karena itu, kata Mahfud, indeks demokrasi Indonesia biasanya mengalami kenaikan setelah mengikuti pemilu. Pasalnya, pemilu di Indonesia merupakan salah satu pemilu paling demokratis di dunia.

Indeks demokrasi itu, katanya, juga dilihat dari budaya masyarakat, misalnya seberapa tinggi toleransi yang terdapat dalam masyarakat. Diakuinya, bahwa masyarakat Indonesia memang belum menghargai toleransi.

Salah satu penyebab melorotnya indeks demokrasi Indonesia saat ini, menurut Mahfud, karena adanya penerapan pembatasan selama masa pandemi Virus Corona.

“Indeks demokrasi itu kembali juga kepada masyarakat yang tidak toleran dan juga karena adanya pandemi Covid yang mengharuskan pemerintah bertindak keras sehingga terlihat pemerintah tegas dan seperti menghalangi orang lain,” katanya.

Prof. Dr. Didik J. Rachbini, yang juga kelahiran Madura, tepatnya di Pamekasan, pada 2 September 1960 melontarkan pertanyaan kritis terkait adanya anggapan di tengah masyarakat bahwa pemerintahan saat ini anti Islam dan anti demokrasi. Pada tataran kebijakan, katanya, mungkin tidak ada satu kebijakan yang bersifat anti Islam maupun anti demokrasi. Namun pada tahap implementasi, hal itu terlihat secara kasat mata.

Mahfud MD mengatakan pengimplementasian sebuah kebijakan tergantung pada masing-masing lembaga. Karena itu, sebutan kriminalisasi terhadap ulama adalah sebuah istilah yang tidak tepat. “Yang ada adalah oknum tertentu yang menjadi sasaran tindak kriminal. Atau dalam kasus penangkapan aktivis pro demokrasi, seperti Jumhur Hidayat, dan teman-teman hal tersebut juga sudah ditetapkan oleh pengadilan,” pungkasnya. ***