Masyarakat Harus Bijak Terhadap Narasi Segregasi, Intoleransi, dan Pemecah Belah

oleh -
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Sulawesi tengah (FKPT Sulteng), Dr.Ir. Muh Nur Sangadji, DEA. (Foto: Ist)

Palu, JENDELANASIONAL.ID – Bagi bangsa Indonesia yang multikultural dan kaya keberagaman, menjadi penting untuk senantiasa menjaga harmoni dan kerukunan bangsa dari segala narasi segregasi, intoleransi dan upaya-upaya pemecah belah kebhinekaan.

Negara harus hadir untuk mencerdaskan masyarakat untuk dapat bijak memilah informasi dari kampanye terselubung pemecah kerukunan dengan dalih kebebasan bersuara.

Hal itu dikatakan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Sulawesi tengah (FKPT Sulteng), Dr.Ir. Muh Nur Sangadji, DEA.

Menurutnya sudah saatnya masyarakat dicerdaskan untuk dapat bijak menanggapi segala situasi dan informasi di era narasi segregasi, intoleransi dan upaya-upaya pemecah belah kebhinekaan dan kerukunan bangsa.

“Masyarakat kita perlu dididik untuk dapat menyelaraskan bersama antara pikiran dengan hati, antara emosi dengan logika jadi sama-sama itu harus disatukan,” ujar Dr.Ir. Muh Nur Sangadji, DEA di Palu, Kamis(26/5/2022).

Tidak hanya itu, pria yang  juga merupakan dosen Fakultas Peternakan Universitas Tadulako Palui ini juga menilai masyarakat harus dapat melek atau tidak tidur terhadap semua informasi. Pasalnya dewasa ini sudah menjadi tabiat yang melekat bahwasanya informasi seringkali dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.

“Masyarakat harus melek informasi, dan informasi itu punya tabiat dikurangi dan ditambahkan, yang kita sebutkan dengan akurasi informasi itu. Oleh karena itu masyarakat kita harus diedukasi untuk menjadi dewasa, untuk menerima dan menanggapi suatu peristiwa yang terjadi,” jelasnya.

Bukan tanpa sebab, dirinya menyampaikan hal demikian sebagai tanggapan terhadap kasus Ustad Abdul Somad atau UAS yang beberapa waktu lalu dilarang memasuki wilayah Singapura terkait pernah menyampaikan ceramah yang bernuansa segregasi, intoleran dan memecah belah.

“Walaupun saya tidak terlalu mengikuti berita tersebut, namun menurut saya kita harus menghormati keputusan yang diambil negara tersebut. Karena setiap negara itu memiliki otoritasnya,” ucap alumni Universite Jean Moulin Lyon 3, Paris, Prancis ini.

Menurutnya narasi yang muncul pasca kasus tersebut seperti narasi islamophobia, kriminalisasi ulama, bukanlah suatu tuduhan yang tetap dan belum cukup berdasar untuk dituduhkan kepada sutau negara yang berdaulat.

“Karena ketika ada orang datang ke rumah saya, lalu saya tidak menerima, itu kan hak yang punya rumah itu. Kalau sudah dijelaskan, tetaplah bukan salah si tuan rumah, tapi poinnya itu adalah terjelaskan, agar tidak terus menjadi salah paham,” ungkapnya.

Untuk itu, pria yang lahir di Tidore, Maluku Utara ini menilai pentingnya peran para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam membangun komunikasi yang baik dan sehat ditengah masyarakat.

“Tokoh-tokoh ini punya peluang yang lebih besar untuk mendewasakan masyarakat. Karena tokoh agama dan tokoh masyarakat ini lebih dekat dengan masyarakat, membangun komunikasi, karena banyak hal itu tidak terselesaikan karena komunikasi. Banyak hal yang menjadi masalah karena tidak dikomunikasikan,” katanya.

Tidak hanya itu, Nur Sangadji juga berharap pemerintah mampu menjadi matchmaker ditengah persoalan maraknya narasi dan kampanye intoleransi. Pemerintah harus mampu mempertemukan berbagai tokoh, pihak dan kalangan untuk duduk bersama dan berdialog.

“Pemerintah harus lebih proaktif, dan harus bisa menjadi agent of matchmaker. Jadi dia yang mempertemukan ini, pemerintah mempertemukan tokoh agama, semua pihak didudukkan jadi satu, untuk berkomunikasi dan menjadi fasilitator,” kata Nur Sangaji. ***